Selasa, 29 Desember 2009

Agar Anak Senang Belajar Sains


Kabar gembira buat keluarga Indonesia. Sahabat Cahaya tengah mengedarkan Album Lagu Bermain Sains. Sebuah Album musik untuk anak-anak dengan syair-syair materi sains. Dengan album lagu bermain sains ini, anak-anak akan bernyanyi sambil belajar sains. Anak-anak dikenalkan sifat-sifat air, apa itu metamorfosa, kandungan dalam udara, gaya gravitasi, dan beberapa materi sains lainnya.

Album ini sangat cocok buat anak-anak Play groups, Taman kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, bahkan untuk guru dan orang tua.

Lagu-lagu dalam album ini dinyanyikan oleh tiga anak bersuara apik yaitu Nawang, Suci dan Fira. Semua lagu diciptakan oleh Kak Ita, seorang pegiat pembelajaran sains dari Sahabat Cahaya, dengan pendekatan fun. Mendengar lagu-lagu ini akan membuat anak-anak riang gembira dan tanpa sadar pengetahun sains tertanam dalam ingatannya.

Album ini dilengkapi juga dengan buku praktek bermain sains. Orang tua dan guru bisa mempraktekkan beberapa percobaan sains bersama anak-anaknya atau dengan murid-muridnya.

Harga Album Musik + Buku: Rp. 35.000 + ongkos kirim Rp. 6.000 (Jakarta).
Album musik Rp. 17.500 + ongkos kirim Rp. 6.000 (Jakarta).
Buku Rp. 20.000 + ongkos kirim Rp. 6.000 (Jakarta).
Ongkos kirim Bodetabek Rp. 8.500.
Ongkos kirim di luar Jabodetabek, disesuaikan dengan tarif paket kilat khusus PT. Pos Indonesia.

Pemesanan kirimkan melalui email ke wtarsono@yahoo.com atau sms ke 0818 995 214 beserta alamat pengiriman.
Pembayaran melalui transfer ke Bank BCA No. Rek. BCA 0931380990 A/N. Warsa Tarsono atau Bank Mandiri No. Rek.: 126 000 496 9133 A/N. Sahabat Cahaya.
Kirim email/sms setelah mentransfer.

Contact Person:
Warsa Tarsono 021-98946165/0818995214

Baca selengkapnya......

Kamis, 27 Agustus 2009

Ramadhan Ceria Dengan Dongeng


Dongeng merupakan metode pembelajaran yang efektif untuk menanamkan nilai. Kami Rumah Belajar & Kreatifitas Sahabat Cahaya mengembangkan dongeng sebagai sarana pembelajaran sains. Melalui dongeng kami mengajak anak belajar, bergembira, bersenang-senang dengan sains.

Pada bulan puasa ini kami membuat paket acara sebagai pengisi acara buka puasa. Paket acara ini menggabungkan berbagai permainan yang menyenangkan (fun games), bermain sains dan dongeng sains. Pada penutup acara, kami sertakan ceramah agama dengan mengambil hikmah dari cerita dongeng tersebut.

Pengalaman Mendongeng

1. Dongeng Sains Lomba Insinyur Cilik Persatuan Insinyur Indonesia (PII)
2. Fun Science Day Wyeth Gold Club (WGC)
3. Sekolah St. Nicholas Pantai Indah Kapuk
4. Dongeng Sains BEN10 di Grand Indonesia
5. Dongeng Sains di Jakarta Islamic School Ciracas Jakarta Timur
6. Dongeng Sains di Fre-School Fair Mall Kelapa Gading
7. Dongeng Sains di Pejaten Village
8. Dongeng Sains di Dunia Anak TMII, dll

Contact Person: Warsa Tarsono (021) 989 46 165, Rudi Darmawan (021) 910 58 255

Baca selengkapnya......

Semut Merah Untuk Selamatkan Bumi


Saat ini pemanasan global kian menggila, polusi merajalela, cuaca tak beraturan. Akibat semua itu bumi yang kita singgahi, akan tidak aman lagi kita tempati. Diperkirakan akan melahirkan bencana alam sampai konflik sosial yang menakutkan. Tentu kita tidak menginginkannya. Karenanya perlu digerakan kesadaran masyarakat untuk menyelamatkan bumi.

Menyadari itu Kids Science Club (KSC) Sahabat Cahaya menggagas lahirnya program Semut Merah. Semut Merah adalah program penyadaran penyalamatan bumi dengan melakukan berbagai upaya kreatif memanfaatkan barang-barang bekas dan mengurangi bahan-bahan yang akan mencemarkan lingkungan. Program ini terutama diperuntukkan bagi siswa dan siswi sekolah dasar (SD).

Semut Merah merupakan program pengembangan dari Kids Science Club (KSC) Sahabat Cahaya yang telah bekerjasama dengan beberapa sekolah mengadakan program sains klub. Selama ini KSC Sahabat Cahaya telah bermitra dengan 15 Sekolah Dasar dengan jumlah anggota sekitar 2130 siswa.

Dalam program Sains Klub tersebut, KSC Sahabat Cahaya telah melakukan pembelajaran dan kreativitas sains tentang lingkungan. Metode pembelajaran yang digunakan antara lain dongeng (story telling), permainan (game), kerajinan tangan (handy craft) dan bermain peran (role play). Dengan metode tersebut anak-anak menjadi senang dan bergembira menerima pembelajaran tersebut.

Kami telah menetapkan visi, misi dan tujuan dari program Semut Merah, antara lain:

Visi
Melahirkan generasi Indonesia yang cinta lingkungan.

Misi
1. Menggalang dukungan publik untuk bersama-sama peduli terhadap dunia anak dan lingkungan hidup .
2. Memberdayakan masyarakat khususnya anak-anak melalui pendidikan popular untuk pelestarian lingkungan hidup.

Tujuan
1. Menjadikan anak-anak sebagai agen perubahan untuk penyelamatan lingkungan.
2. Menggalang dukungan masyarakat luas baik secara politik maupun Finansial dalam upaya penyelamatan lingkungan.
3. Menggugah kesadaran publik akan pentingnya penyelamatan lingkungan.
4. Merangkul pihak sekolah dasar dan taman kanak-kanak atau yg sederajat untuk bekerja sama dengan program Semut Merah.

Tentu upaya kami tidak akan berdampak maksimal jika tidak didukung oleh pihak lainnya. Oleh karenanya kami membuka keterlibatan dan kerjasama semua kalangan dalam berbagai bentuk.

Semut Merah: Agar bumi kita selamat.

Baca selengkapnya......

Sabtu, 15 Agustus 2009

BAKTERI MAUT TAK MENGALAHKAN DINDA


Perjalanan hidup yang semula menyenangkan buat Titiana Adinda, biasa dipanggil Dinda, tiba-tiba buyar saat dia terkena penyakit Meningitis. Penyakit itu datang tak terduga. Hari itu dia sedang bersiap untuk menonton bioskop bersama kekasihnya. Tiba-tiba ia terserang sakit kepala dan demam yang sangat hebat. Dinda mencoba meredakannya dengan meminum obat, tapi tidak berpengaruh.

Dinda tak kuasa menahan rasa sakit itu, dia merebahkan diri di kasur, sampai akhirnya dia tak sadarkan diri. Kekasihnya merasa curiga saat dia beberapa kali menelepon tidak diangkat. Dia bergegas menuju tempat tinggal Dinda. Dia dapati Dinda sudah tak sadarkan diri, segera dia bawa Dinda ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan, diketahui ternyata Dinda mengidap penyakit Meningitis TB.

Meningitis yang diderita Dinda adalah Meningitis yang diakibatkan oleh bekteri TBC. Bakteri tersebut menyerang selaput otak. Bakteri TBC ternyata tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga organ tubuh vital lain seperti otak, usus, tulang dan ginjal. Pada kasus penyakit Dinda ini, tenyata bakterinya tidak hanya menyerang selaput otak, tapi sudah menyerang jaringan otak. Dinda bukan lagi terkena penyakit Meningitis tetapi Meningoensefalitis.

Titiana Adinda atau lebih sering dipanggil Dinda adalah seorang akitivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Dia bekerja di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Di lembaga itu, dia menjabat sabagai Asisten Koordinator Divisi Pengembangan Sistem Pemulihan bagi Korban.

Hidup Dinda cukup dinamis. Banyak hobinya, dari membaca, menonton, hiking, sampai mendaki gunung. Dua kali Gunung Gede dia taklukkan. Dalam hal pekerjaan dia orang yang sangat menikmati profesinya. Bahkan tidak hanya menempatkannya sebagai profesi, lebih dari itu, sebagai panggilan jiwa.

Dalam rangka tugas, Dinda sering pergi ke berbagai daerah untuk mengadvokasi berbagai peraturan daerah agar berpihak terhadap perempuan korban kekerasan. Banyak daerah di Indonesia yang telah dia kunjungi, dari mulai Papua hingga Aceh. Bukan hanya dalam negeri, beberapa Negara lain pernah dia kunjungi, seperti Singapura dan Thailand. Tidak heran kalau kemudian Dinda pun memunyai banyak teman, yang jadi kebahagiaan tersendiri.


Gangguan Bicara, Amnesia, dll.
Setelah Dinda didiagnosa mengidap penyakit meningitis, dia dirawat di rumah sakit selama sebulan, 13 hari di antaranya dalam keadaan koma. Tapi, pengobatan itu tidak bisa membuatnya sembuh total. Bahkan secara bertahap Dinda mengalami dampak lanjutan dari penyakit tersebut. Dimulai dengan terganggunya kemampuan bicara Dinda. Ucapan Dinda menjadi tidak jelas.

Dengan kondisi itu Dinda mulai minder. Dia sedih sekali menerima kenyataan itu. Dinda menangis, padahal menangis sangat jarang dia lakukan. Dinda mulai sangsi dengan ketabahan menerima derita tersebut. “Ya, Tuhan, kalau begini terus, aku tidak tahan menerima cobaan ini,” keluhnya. Walaupun begitu, Dinda tidak menyerah. Dinda melakukan terapi bicara di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Memulai belajar lagi mengucapkan huruf a, i, u, e, o seperti masa kecilnya dulu.

Derita Dinda tidak berhenti di situ, Dinda juga terkena amnesia, kehilangan memori ingatan. Tidak ada satu peristiwa pun dalam beberapa bulan terakhir dia ingat. Keluarganya melakukan terapi dengan menunjukkan foto-foto dirinya. Tetapi Dinda masih bersyukur amnesia yang dia derita bukan amnesia total. Dia hanya tidak ingat peristiwa-peristiwa dikisaran waktu tiga tahun lalu, sesudah dan sebelumnya Dinda masih mengingatnya.

Penyakit Meningoensefalitis ternyata juga mengakibatkan terganggunya penglihatan Dinda. Setiap benda yang Dinda lihat akan tampak menjadi dua. Tapi, kalau mata kirinya ditutup benda yang dia lihat ternyata hanya satu. Tidak hanya itu, tidak lama setelah Dinda menyadari penglihatannya bermasalah, mata kiri Dinda semakin mengecil dan bola matanya tertarik ke kiri. Dinda memeriksakannya ke rumah sakit mata. Menurut dokter yang memeriksanya, matanya bisa sembuh dengan melakukan operasi sebanyak tiga kali dengan biaya 25 juta sekali operasi. Dinda menyerah, karena tidak mempunyai uang sebanyak itu. Akibatnya Dinda sering merasa pusing akibat pandangan dobel tersebut.

Usaikan cobaan untuk Dinda? Tenyata tidak. Dinda mengalami kelumpuhan tubuh bagian kanan. Kelumpuhan itu dimulai dengan serangan sakit kepala terhadap Dinda. Dinda merasakan pusing yang hebat selama tiga hari berturut-turut. Obat vertigo yang dia minum tidak membantunya. Sampai suatu pagi dia menyadari bagian kanan tubuhnya tidak bisa digerakkan. Dinda menjerit sekeras-kerasnya meratapi deritanya.

Selain mengalami gangguan bicara, gangguan penglihatan, amnesia dan kelumpuhan, Dinda sempat khawatir dengan kondisi badannya yang tidak pernah berkeringat dan menstruasi. Tapi kembali normal setelah selama enam bulan. Dinda merasa lega.


Di-PHK Dari Komnas Perempuan
Setelah setahun lebih dalam perawatan, pada Maret 2005 Dinda memberanikan diri untuk kembali bekerja, walaupun dengan menggunakan kursi roda. Dinda senang dengan sambutan teman-teman kerjanya, mereka memberikan dorongan semangat untuk kesembuhan Dinda. Karena kondisi tubuhnya yang belum pulih Dinda tidak bisa menempati meja kerjanya di lantai dua. Tapi Dinda merasakan ada yang aneh saat menyadari dirinya tidak diberikan fasilitas komputer untuk bekerja. Padahal ada dua komputer yang tidak dipakai di ruangan tempat dia memulai berkantor.

Hari kedua bekerja, Dinda mendapat kabar yang membuatnya shock, dia di PHK dari Komnas Perempuan. Kabar itu dia terima dari Seketaris Jendral (Sekjen) Komnas. Dinda kecewa di PHK sepihak, walaupun menurut Sekjen Komnas dia masih diperbolehkan bekerja, dengan tugas meresensi buku yang diterbitkan Komnas Perempuan. Dengan status bukan lagi sebagai karyawan, tapi sukarelawan.

Dinda menganggap telah diperlakukan tidak adil oleh Komnas Perempuan. Dengan bantuan enam pengacara Dinda mengajukan gugatan atas PHK sepihak oleh Komnas Perempuan. Mendapat gugatan dari Dinda, Komnas Perempuan mencoba mendekati Dinda agar membatalkan gugatannya dan membuat surat pengunduran diri, demi menjaga hubungan baik mereka.

Dinda bergeming, tekadnya melawan ketidakadilan perlakuan Komnas Perempuan tetap dilanjutkan. Menurutnya tawaran yang diajukan oleh Komnas Perempuan tidak menyelesai hak dan keadilan yang dia tuntut. Yang diinginkan Dinda, silahkan dia di PHK dan berikan pesangon, kalau tidak, proses gugatan hukum tetap akan dia lakukan. Lobi kembali dilakukan.

Tujuh bulan kemudian, tim pengacara Dinda mendapat komitmen lisan dari Komnas Perempuan, bahwa mereka akan bersedia membuat surat PHK Dinda dan akan memberikan pesangon. Tapi, baru delapan bulan kemudian janji itu direalisasikan oleh Komnas Perempuan. Dinda menandatangani PHK dan mendapatkan pesangon. Perlakuan yang tidak mencerminkan sebuah lembaga pejuang hak asasi. ”Tapi aku sudah memaafkan mereka, dengan teman-teman karyawan dan mantan karyawan di Komnas Perempuan aku masih berhubungan baik.”

Keputusasaan dan Ketabahan
Kehidupan penuh misteri. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Begitupun yang terjadi dengan Dinda. Dia tidak menyangka akan mendapat ujian hidup yang sangat berat. Kehidupan yang semula begitu menyengkan, tiba-tiba menjadi suram, direnggut oleh penyakit, yang dia tidak kenal, bahkan tidak pernah mendengarnya. Dia sangat terpukul dengan penderitaannya.

Apalagi saat secara bertahap fungsi-fungsi organ vitalnya mulai terganggu, dari mulai penglihatan, bicara, ingatan bahkan kelumpuhan sebagain tubuhnya. Adakalanya karena beratnya penderitaan yang dia derita, muncul keputusasaan, keluh kesah bahkan keinginan agar Tuhan mencabut nyawanya. “Tuhan, tolong ambil nyawaku….aku tak tahan lagi…..Kenapa Engkau berikan ujian seberat ini padaku?”

Pernah juga Dinda menggugat keadilan Tuhan. Dia marah kepada Tuhan: “Tuhan kenapa memilihku untuk mengalami cobaan seperti ini? Kenapa harus aku? Kenapa bukan orang lain yang selama ini sudah cukup kenyang mendapat keberuntungan dalam hidupnya?Aku merasa Tuhan tidak adil padaku.” (Titiana Adinda, Harapan Itu Masih Ada, halaman 29)

Beruntung, Dinda memiliki keluarga yang mendukung dan mendorongnya untuk sembuh. Karena itu Dinda tidak mau menyerah. ”Aku selalu ingat mama, aku sayang dia, aku tidak mau mati mendahului dia, aku ingin selalu bersamanya.”

Selain itu Dinda mempunyai kekasih yang selalu memerhatikan dan memberinya semangat, dan teman-teman yang selalu menemani dan menghiburnya. Harapan itu perlahan mulai tumbuh dan bersemi. Apalagi saat ia mulai merasakan perkembangan positif atas kesembuhan dari penyakitnya.

Dinda bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan hidup dan kekuatan yang diberikan sehingga dia kuat menghadapi serangan penyakit otak yang sangat kompleks. Dinda tidak pernah lelah berdoa untuk kesembuhannya. Dia tidak pernah lupa menjalankan sholat lima waktu dan beberapa sholat sunnah. Itu semakin menguatkannya. Dinda pun sangat yakin akan janji Tuhan dalam firman-Nya dalam surat Al Insyirah: “…karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan………Dan hanya kepada Tuhanmulah, engkau berharap.”

Mulai Bangkit
Setelah Dinda menjalani beberapa terapi, dari mulai terapi bicara, terapi tangan dan terapi berjalan, fungsi-fungsi organnya mulai bisa digunakan, walaupun tidak normal seperti semula. Tapi itu cukup membangkitkan kembali gairahnya untuk kembali berkarya. Dia mulai banyak menulis baik untuk blog maupun untuk di kirm ke media massa. Tulisan Dinda ada yang berupa artikel, ada juga yang berupa puisi ataupun cerpen.

Aktivitas lain yang dilakukan Dinda, dia bersama teman-temannya menggagas dibentuknya Indonesia Media Watch. Sebuah lembaga yang bertujuan untuk memantau media massa agar sajiannya, baik berita maupun hiburannya berpihak kepada Hak Asasi Manusia khususnya hak perempuan, kelompok minoritas dan lingkungan. Untuk membiayai aktivitas Inonesia Media Watch, Dinda swadaya bersama pengursus lainnya.

Tidak berhenti di situ, Dinda pun menggagas beladiri Self Defense for Women (SDFW). Ini bermula saat Dinda mengirim e-mail ke Forum Pembaca Kompas, artikel Dinda yang berjudul “Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat.” Tulisan tersebut direspon oleh pelatih karate di Amerika Serikat yang bernama Sensei Deddy Mansyur, seorang warga Negara Indonesia yang tinggal di Texas. Deddy Mansyur yang memberikan ide agar Dinda menggagas beladiri Self Defense for Women di Jakarta. Bersama Sensei Fahmy Syarif yang merupakan Sensei Deddy Mansyur gagasan itu diwujudkan.

Dari aktivitas itu, Dinda bersama Sensei Fahmy Syarif menerbitkan buku panduan Self Defense for Women. Setelah itu buku-buku Dinda yang lain diterbitkan. Hal itu menegaskan bahwa Dinda tidak menyerah oleh serangan penyakit yang membuat kebanyakan penderitanya meninggal dunia.

Dalam waktu kurang lebih setahun, empat buku telah tulis oleh Titiana Adinda. Buku-buku itu berjudul Self Defense for Women, Harapan itu Masih Ada, Kekerasan Itu Berulang Padaku, dan buku terakhirnya, Biarkan Aku Memilih. Hal itu menunjukkan produktivitas yang patut diacungi jempol.

Benar, memang, setelah kesusahan ada kemudahan. Sesudah penderitaan, ada produktivitas. Dinda seakan membuktikan, penyakit, semaut apa pun, tak harus membuat seseorang selamanya merasa sakit, dan berhenti hidup.***

Disadur dari Buku Harapan Itu Masih Ada, Penulis Titiana Adinda

Baca selengkapnya......

Senin, 10 Agustus 2009

Tafsir Buya Hamka-pun Terpinggirkan


Sepuluh tahun bahkan lebih beraktiivitas di YISC Al Azhar, saya akui telah banyak merubah cara pandang saya terhadap berbagai hal. Dari seorang yang tidak banyak berinteraksi dengan berbagai wacana Islam, menjadi ngeh dan bahkan saat ini bekerja sebagai wartawan di majalah Islam. Saya yakin saya tidak sendiri, ada banyak teman-teman yang lain yang mempunyai latarbelakang yang sama, dan kemudian mendapat pencerahan di YISC Al Azhar.

Bukan hanya wawasan keislaman yang saya dapat, juga tentang bagaimana berorganisasi. Pengalaman yang paling berkesan saat tahun pertama di YISC adalah saat Musyawarah Lengkap (Musleng). Pengalaman baru buat saya mengikuti perdebatan untuk merumuskan kaidah-kaidah dan arah perjuangan organisasi. Banyak perdebatan, banyak interupsi diselingi lontaran-lontaran lucu dari para peserta.

Tentu saja, sebagai anak baru yang tidak banyak tahu tentang organisasi dan dinamikanya, saya hanya jadi pendengar, sambil sesekali mengacungkan tangan ketika keputusan harus dilakukan dengan voting.

Saya menikmati dinamika itu dan saya bangga menjadi peserta Musleng. Saking bangganya materi-materi (rumusan KD/KRT) Musleng saya bawa-bawa terus saat istirahat dan name tage tanda peserta musleng saya pakai terus. Saya copot saat pulang ke rumah.

Suasana yang sangat saya nikmati tentu saja adalah atmosfir perdebatan dalam Musleng tersebut. Sering kali perbedaan itu menajam dan masing-masing pendukung gagasan mempunyai argumen untuk mempertahankannya. Sesekali diantara mereka ada yang ngotot, tetapi kengototan mereka ternyata hanya di forum. Dan tentu saja tidak ada intimidasi, apalagi intimidasi ideologis. Tidak ada teriakan-teriakan Allahu Akbar saat berbeda pendapat. Tidak ada klaim bahwa rumusan saya lebih Islami, sementara yang lainnya tidak. Walaupun ada seorang peserta yang tiba-tiba interupsi dan mengajak semua beristigfar.

Saya rasakan suasana seperti itu sampai Musleng 2004. Berbeda dengan dua Musleng terakhir yang saya ikuti. Ada calon ketua umum yang menyatakan bahwa pencalonannya dalam rangka untuk membersihkan YISC dari musuh-musuh Islam. Ada kelompok yang bersujud syukur saat calonnya terpilih menjadi ketua. Ada teriakan Allahu Akbar saat berbeda pendapat, seolah yang berbeda itu musuh Islam. Suasananya seperti ada "pertarungan", suasananya seperti ada persaingan ideologis.

Di Musleng terakhir (2007) yang saya ikuti, ada kesedihan yang sampai saat ini masih membekas. Yaitu teranulirnya Tafsir Buya Hamka sebagai rujukan utama dalam arah kebijakan program pendidikan. Saya tidak bisa menerka alasan lebih jauh mengapa tafsir Buya Hamka dianulir. Tapi memang menjadikan tafsir Buya Hamka sebagai rujukan utama sangatlah "berisiko".

Itu berarti kita akan menerima pernikahan beda agama yang direstui oleh Buya Hamka. Berarti juga kita akan mengharamkan poligami, padahal Buya Hamka pasti tahu bahwa poligami adalah "syariat" Islam. Menerima gagasan menjadi Indonesia adalah menjadi Islam, tanpa harus memaksakan "bersyariat" atau bernegara Islam. Sebuah cara pandang yang dianggap sekuler oleh kalangan tertentu.

Keterbukaan pemikirannya membuat Buya Hamka menganggap Soekarno tetap sebagai muslim, dan berkenan menjadi imam shalat jenazahnya, walaupun Hamka tahu bahwa Soekarno adalah penggagas Nasakom. Bersedia menikahkan anaknya Pramudya Ananta Toer (Pram), walau tahu Pram adalah tokoh PKI.

Masihkah gagasan-gagasan ini akan dilestarikan oleh sivitas dan pengurus YISC saat ini? Atau tetap meminggirkannya. Dipinggirkan oleh Organisasi yang direstui, dibina dan dibanggakan oleh Buya Hamka.

Salam,

wtarsono

Baca selengkapnya......

Kamis, 06 Agustus 2009

Sepakat Untuk Tidak Sepakat

Sebuah Refleksi Pengalaman Keberagamaan dan Keberagaman di Youth Islamic Study Club (YISC) Al Azhar

Tahun 1995 adalah awal perjalanan baru untuk kehidupanku, terutama berkaitan dengan pengalaman keberagamaanku. Bermula dari keinginan untuk mencari tempat berkomunitas yang baru. Ya, komunitas keagamaan yang tidak doktriner, juga terbuka dengan aktivitas yang bukan hanya melulu agama.


Baca selengkapnya......

Derita yang Tak Jadi Derita


Spontan terdengar standing applause dari penonton Kick Andy, saat Eko Ramaditya Adikara yang biasa dipanggil Rama menunjukkan keahliannya membuat aransemen musik game yang berasal dari suara suling dan diolah dengan sebuah laptop kecil miliknya. Rama mempertunjukkan keahliannya ketika diundang sebagai tamu pada program Kick Andy di Metro TV. Rama seorang tunanetra, tapi mahir menggunakan laptop, sebagaimana orang normal menggunakannya.

Sejak lahir, Rama menderita tunanetra. Tapi, dia mengetahui sebagai penderita tunanetra baru pada usia 7. Itu pun bukan dari keluarganya, tapi dari teman bermainnya. Temannya mengatakan bahwa dirinya buta. Saat diberitahu pun Rama tidak mengerti apa itu buta. Setelah dijelaskan, baru Rama mengerti.

Tunanetra ke Sekolah Umum

Rama tumbuh sebagaimana anak lainnya. Setelah memasuki usia sekolah, orang tuanya mendaftarkannya untuk sekolah. Semula Rama bersekolah Taman Kanak-kanak (TK) SLB di Kota Semarang. Tapi kemudian ia pindah ke Jakarta mengikuti orang tuanya. Di Jakarta orang tua Rama memasukkan Rama di Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina Tingkat Nasional (PTN) di bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Rama sekolah di SLB PTN dari TK Sampai Sekolah Dasar (SD).

Selama sekolah di sana, prestasi Rama selalu baik, menempati peringkat tiga besar. Selain itu Rama sering mewakili sekolahnya untuk mengkuti beberapa lomba, seperti lomba puisi, abang none, dan lain-lain. Karena prestasinya Rama mendapatkan piala Brama Jaya. Sebuah penghargaan yang diberikan kepada murid yang berprestasi dan sering mengharumkan SLB, dan terutama sering menjadi juara kelas. Rama lulus dari SD dengan nilai yang cukup memuaskan.

Memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) Rama menginginkan untuk sekolah di sekolah umum. Agar prosesnya dipermudah, ayahnya meminta Departeman Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) mengeluarkan Surat Kaputusan (SK) bahwa seorang tunanetra mampu bersekolah di sekolah umum. Berbekal SK itu, orang tua Rama mendaftarkan anaknya di SMP 226 Jakarta. Semula, memang ada kesulitan. Tapi, setelah diyakinkan, sekolah itu bersedia menerimanya. Walaupun tidak mudah orang tua Rama meyakinkan pihak sekolah.

Memasuki jenjang pendidikan menengah atas Rama tidak mengalami hambatan berarti. Rama masuk ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 11. Di sekolah tersebut sudah ada beberapa seniornya yang juga cacat penglihatan, karenanya sekolah juga tidak memasalahkannya. Di tingkat perguruan tinggi, Rama mendaftarkan diri di Universitas Darma Persada (UDP) Jurusan Sastra Inggris. UDP semula mereka tidak mau menerimanya. Mereka beralasan di univrsitas tersebut tidak mempunyai sarana penunjang untuk mahasiswa tunanetra. Rama dan Bapaknya berusaha meyakinkan. “Kalau nilai ujian saya tidak dapat memperolah nilai di atas 80, silahkan saya keluarkan,” Rama meyakinkan. Rama akhirnya diterima, dan nilai ujian dia 80,2!

Menjadi Komposer Musik Game

Seorang tunanetra bisa memainkan game, banyak orang mungkin tidak percaya. Akan lebih banyak lagi orang tidak percaya kalau ada seorang tunanetra mengaku bisa membuat aransemen musik game. Tapi itulah kenyataannya. Rama bisa melakukan itu semua. Walaupun memang game yang dimainkan adalah game yang berbasis audio, tapi tetap saja itu mempunyai kesulitan tersendiri.

Rama tertarik terhadap game bermula saat ia diajak ke kantor bapaknya. Di kantor ayahnya, ia dikenalkan dengan game komputer. Sejak itu Rama mulai senang dengan game, bahkan kemudian dia bisa memainkan game arcade yang ada di mal-mal. Karena gemar bermain game, bapaknya membelikan console (mesin game) Atari. Selanjutnya Rama mulai mengenal console game Nintendo. Di Nintendo Rama gemar memainkan game Donkey Kong Country, Final Fantasy, Super Mario World, dan beberapa game Jepang lainnya. Rama benar-benar menggemari game, karena dengan game dia bisa berimajinasi dan berkreasi dengan kreatif.

Setelah sekian lama menggemari game, Rama kemudian tertarik dengan musiknya. Dia merekam musik-musik game tersebut. Semasa kuliah, dia mengetahui bahwa video game juga mempunyai soundtrack musiknya. Mengetahui hal itu, Rama mulai berburu soundtrack game untuk dikoleksi. Dia mencari di toko-toko game atau download di internet. Rama kaget saat mengetahui ada komunitas penggemar musik game. Kemudian dia pun bergabung. Di komunitas tersebut, Rama saling bertukar koleksi musik game dengan sesama penggila game lain.

Ketertarikan Rama terhadap musik game tidak ingin sebatas sebagai penikmat. Dia menginginkan lebih dari sekedar itu. Dia pun kemudian berinisiatif untuk membuat musik-musik game. Semua musik game yang dia ciptakan ditampilkan di blog miliknya. Rama mempersilahkan pengunjung untuk mengunduh hasil karyanya. Seratus lebih musik game berhasil dia ciptakan.

Kemahiran Rama membuat musik game diketahui oleh Koji Kondo, komposer musik Mario Bros Galaxy dari Nintendo. Tanpa dinyana Rama ditawari untuk ikut menata musik game Nintendo untuk video game Super Smash Brother Brawl. Rama senang. Kerjasama pun berlanjut. Beberapa musik game ciptaan Rama, dipakai untuk tema lagu permainan Final Fantasy VII, sebuah permainan buatan Jepang yang sangat terkenal di kalangan pencinta game komputer. Sejak kerjasama itu, kemahiran Rama mengaransemen musik game mulai dikenal lebih luas lagi.

Komputer, Nge-blog dan Menjadi Jurnalis

Buat kebanyakan orang, tunanetra identik dengan huruf Braille. Saat seorang tunanetra terlihat sedang membaca, dalam pikiran banyak orang buku tersebut merupakan buku dengan deretan huruf-huruf Braille. Tapi yang dupertunjukkan Rama tidak demikian. Rama terlihat mahir menggunakan laptop. Karenanya, penonton Kick Andy dibuatnya terkagung-kagum. Kok, bisa? Bukankah informasi yang disajikan komputer dalam bentuk visual. Artinya, dibutuhkan kemampuan indra penglihatan untuk bisa menggunakannya.

Seiring dengan kemjuan teknologi komputer, saat ini berkembang pula teknologi komputer yang bisa digunakan oleh para tunanetra. Salah satu teknologi yang digunakan adalah screen reader, yaitu sebuah aplikasi yang akan mengolah teks atau objek dalam komputer diubah menjadi suara. Aplikasi ini memungkinkan seorang tunanetra bekerja menggunakan aplikasi office, berinternet bahkan chatting dengan Yahoo Messenger. Teknologi itulah yang digunakan Rama. Karenanya dia bisa membuat aransemen musik game dan berselancar di internet. Dengan teknologi tersebut Rama juga bisa membuat, blog bahkan mendesainnya.

Ketertarikan Rama membuat blog berawal dari hobinya membuat catatan harian. Sebelum mengenal teknologi digital pada komputer, Rama membuat catatan harian dengan huruf-huruf braille. Kemudian setalah dia mempunyai komputer, catatan hariannya dituangkan dalam komputer dengan format dokumen word.

Sekitar 2003, Rama dikenalkan oleh sahabatnya kepada website. Bahkan sahabatnya menawarkan untuk mengajarinya membuat website. Rama antusias menerima tawaran itu. Tak lama setelah Rama belajar membuat website, dia meluncurkan website-nya. Masih sederhana, hanya berisi catatan hariannya. Website pertama yang diluncurkan Rama beralamat di http://www.ramaditya.netfirm.com. Pada 2005, Rama membeli domain dengan alamat www.ramaditya.com, alamat inilah yang sampai saat ini masih digunakan.

Petualangan Rama tidak berhenti di komputer. Rama juga tertantang memasuki dunia yang lain, dunia yang kecil kemungkinannya mau dijamah oleh seorang tunanetra. Dunia jurnalis. Ya, Rama menjadi jurnalis. Rama sadar, menjadi jurnalis diperlukan bukan hanya sekedar kemampuan menulis, lebih dari itu, kesigapan mencari narasumber juga hal penting. Sekali lagi, Rama mampu membuktikan ketunanetraannya bukan menjadi penghalang.

Keterlibatannya dalam dunia kewartawanan dimulai saat dia menerima tawaran untuk mengikuti pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh LKBN Antara dan Detik.com, bekerjasama dengan Samsung Digital Hope. Pelatihan ini dikhususkan untuk para penyandang cacat. Diharapkan dari pelatihan tersebut, para peserta bisa membuat dan mengelola media online.

Selesai pelatihan Rama langsung diterjunkan sebagai reporter media Mitra Netra News Online. Tugas pertamanya adalah meliput acara pelatihan Internet Center. Setelah itu Rama ditugaskan untuk meliput bazaar sosial yang diadakan oleh organisasi-organisasi penyandang cacat di Gereja Katedral.

Hampir setahun Rama menjadi reporter Mitra Netra News Online. Ia berhenti sebagai reporter karena dia harus melanjutkan kuliahnya. Tapi, bukan berarti ia lantas berhenti dari kegiatan lain. Ternyata ia ”tergoda” juga mencoba kegiatan yang agaknya cocok dengan sifatnya yang optimis dan gemar berbagi.

Setelah Rama tampil di Kick Andy, ada gairah yang muncul. Terbersit dalam pikirannya, ia ingin menjadi motivator. Rama merasa seolah telah ditunjukkan jalannya oleh Allah, dia dipertemukan dengan Ibu Aisah. Ibu Aisah adalah ketua penanganan eks-pengguna narkoba di beberapa rumah sakit di Jakarta. Dalam sebuah pelatihan, Ibu Aisah meminta Rama untuk menceritakan pengalaman hidupnya, ternyata respon dari peserta antusias. Banyak dari mereka termotivasi setelah mendengar pengalaman hidup Rama.

Dari situ kemudian Rama memulai menjalani profesi sebagai motivator. Dia masuk menjadi tim Bu Aisah menjadi trainer dari pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh lembaga yang dipimpin Bu Aisah. Sebagai motivator, ia pernah ikut serta program penyembuhan ketergantungan narkoba sebagai motivator untuk para slankers. Program antinarkoba ini memang bekerja sama dengan Bunda Ifet.

Lima Bidadari Rama

Selain sebagai seorang tunanetra yang selalu gigih dalam mewujudkan cita-citanya, ada sisi lain dari sosok Rama, yang unik dibanding sesama penyandang tunanetra maupun tidak. Salah satu keunikan Rama adalah, dia mencoba mendeskripsikan sifat atau karakter yang ada dalam dirinya. Setiap karakter yang dia temukan dia beri nama. Rama menyebut karakternya dengan bidadari, karena memang penamaan terhadap karakternya menggunakan nama-nama perempuan.

Ada lima karakter, yang pertama bernama Wahitha. Wahitha adalah perwujudan kecerdasan spiritual yang dia miliki. Sifat yang melekat dari sosok Wahitha adalah pengendalian diri, kedewasaan, kebijaksanaan, dan kepemimpinan. Karakter kedua bernama Tiara. Tiara merupakan simbolisasi dari kecerdasan emosional yang dimiliki Rama. Sifat yang melekat pada Tiara adalah lapar, haus, bahagia, sedih, menikmati alam, kesakitan, rangsangan seksual, dan cinta.

Karakter ketiga adalah Aurora. Nama ini melambangkan kecerdasan intelektual Rama. Ini berkaitan dengan kecerdasan Rama dalam hal matematika, mendefinisikan kata-kata, menciptakan rancangan-rancangan, mengulang kata-kata dari ingatan, dan mengerjakan tugas-tugas lain. Karakter yang keempat diberi nama Darth Aurora, merupakan simbolisasi dari sifat fisik Rama. Rama menyebutnya sebagai sifat-sifat negatif dari raganya. Lucunya Rama meminta kepada pembaca untuk mengidentifikasi sendiri sifat-sifat itu. “Di sini yang dimaksud adalah sifat-sifat raga yang negatif, tentunya dapat Anda tuliskan atau sebutkan sendiri,” tulisnya.

Karakter kelima dia beri nama Lala. Lala adalah simbolisasi dari karakter Rama sebagai sosok penggembira dan presentatif. Sifat yang melekat pada Lala adalah cerewet, pelupa, usil, dan gemar bersenda gurau.

Keunikan Rama ini berlaku juga ke benda-benda yang ia miliki. Ia selalu memberi nama pada benda-benda yang dia miliki: suling dia berinama Tiara, laptop kecilnya dia berinama Via, dan sebagainya.

Ketabahan Orang Tua Rama

Menjadi orang cacat siapapun pasti tidak mau. Tapi, siapa yang bisa menolaknya, ketika Tuhan berkehendak maka tak ada yang mampu menghalangi. Ikhlas dan syukur menjadi kunci untuk menerima kehendak Tuhan. Itu yang diperlihatkan oleh orang tua Rama. Walaupun diawal mereka bersedih. Tapi kesedihan itu tidak berlarut-larut. Mereka secepatnya tersadar bahwa bayi yang dilahirkannya adalah darah daging mereka. Mereka membesarkan Rama dengan kasih sayang, tanpa pernah merasa itu sebagai aib.

Rama diberikannya kesempatan mengenyam pendidikan sebagaimana layaknya anak-anak normal. Saat Rama menginginkan bersekolah di sekolah umum, orang tuanya berusaha keras mewujudkannya. Penolakan mereka terima, tapi mereka tetap berusaha. Berbagai upaya mereka lakukan. Dan berhasil. Rama sekolah di sekolah umum, walaupun konsekwensinya mereka harus merekam buku-buku pelajaran Rama. Mereka tidak bosan melakukannya.

Dalam membesarkan Rama, orang tuanya tidak melakukan perlakuan yang spesial kepada Rama karena ketunanetraannya, tidak juga melakukan deskriminasi. Orang tua Rama membiarkan Rama tumbuh secara normal.

Perlakuan seperti itu membuat Rama tumbuh dengan pribadi yang kuat. Pribadi yang selalu bersyukur, penuh percaya diri dan pantang menyerah. Rama tidak pernah menjadikan ketunanetraannya sebagai alasan untuk minta dikasihani, bahkan untuk melakukan pembenaran terhadap kegagalannya. “Kesempurnaan itu bukan semata-mata tergantung dari fisik, tapi juga tergantung dari kemampuan dan niat kita sendiri. Banyak kita melihat taman-teman yang fisiknya sempurna, tapi mereka ada di penjara, berarti sebenarnya mereka tidak bahagia. Saya yang secara fisik tidak sempurna, tetap bisa bahagia,” tegas Rama.

Salam

wtarsono

Baca selengkapnya......

Senin, 03 Agustus 2009

Gemas (Geram) Dengan Mubahalah Irena Vs Diki Candra


2 Juli lalu, Irena Handono pimpinan (Ireno Handono Center) dan Diki Candra (Arimatea) melakukan mubahalah di Masjid Al fajr Buah Batu Bandung. Kedua orang itu adalah aktivits gerakan anti pemurtadan. Sejak 2007 mereka berdua bersiteru dipicu oleh kesaksian Imam Safari yang melihat Irena Handono mengenakan pakaian biarawati di sebuah Geraja di Singapura. Kesaksiannya kemudian dilaporkan ke Arimatea. Dengan bekal kesaksian itu Arimatea melakukan penyelidikan terhadap Irena Handono.

Pertanyaannya kenapa harus melakukan penyelidikan? bukan konfirmasi? Tentu hal tersebut dilatar belakangi oleh pola pikir Arimatea. Selama ini salah satu kegiatan mereka adalah melakukan aktivitas spionase untuk mendeteksi berbagai kegiatan kalangan kristiani dalam melakukan strategi kristenisasi. Arimatea mengaku dia telah menangkap 30 agen kristen yang menyusup ke kalangan Islam. Tentu dengan reputasi Irena Handono mantan seorang biarawati, kemudian ada informasi bahwa ada seseorang melihat Irena mengenakan baju biarawati, maka pola pikir yang dikedepankan tentunya mencurigai Irena sebagai penyusup. Maka yang mereka lakukan adalah penyelidikan bukan konfirmasi. Walaupun Arimatea tidak secara verbal menuduhnya.

Tentu saat Irena mengetahui dia sedang diselidiki oleh Arimatea, Irena langsung melakukan klarifikasi dengan menyatakan bahwa ada kalangan yang sedang memfitnahnya. Dan kalangan itu adalah Arimatea, dengan person Diki Candra. Irena melakukan klarifikasi dibeberapa forum. Dan puncaknya dia melakukan konfrensi pers, dengan menyatakan bahwa Arimatea dalam hal ini Diki Candra memfitnahnya. Tidak itu saja, Irena mengadukan Diki Candra ke polisi.

Sementara dalam kesempatan lain, Irena juga menuduh Diki Candra menyusupkan orang ke dalam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Orang tersebut akan melakukan pencitraan negatif terhadap MMI.

Pola pikir konspiratif seperti itu memang dilakukan oleh mereka berdua. Itu yang menutup mereka untuk berdamai.

Irena Memaksakan, Arimatea/Diki Naif

Konflik terus memanas, apalagi saat Arimetea mempublikasikan kesaksian Imam Safari dan hasil penyelidikan mereka terhadap Irena di blog, Dengan alasan untuk memberikan kejelasan informasi kepada Arimatea daerah. Mereka menyebutkan informasi itu hanya untuk kalangan terbatas, tetapi memuatnya dalam blog.Tentu saja kemudian informasi itu bocor ke masyarakat umum. Di sinilah naifnya Arimatea/Diki Candra. Dan seolah mereka lepas tangan dengan mengatakan itu sebuah ketidaksengajaan.

Menghadapi "serangan" itu Irena kemudian mengadakan konfrensi pers dengan dihadiri oleh Cholil Ridwan dan beberapa tokoh. Di konfrensi pers itulah kemudian Irena mencetuskan mengajak Diki Candra untuk mubahalah. Gagasan mubahalah tersebut mendapat dukungan Chalil Ridwan, "Itu salah satu sunnah rasul" demikian Chalil Ridwan mengatakan. Merasa dapat dukungan dari Chalil Ridwan, Irena keukeuh untuk melakukan mubahalah. Sebenarnya ada upaya yang dilakukann FUUI untuk berdamai, tapi Irena tetap bersikeras.

Sementara Diki Candra tidak terlihat untuk mengendorkan keyakinan atas kebenaran kesaksian dari Imam Safari. Jalan damai akhirnya semakin membatu.

Mubahalah = Saling Mengutuk

Dalam sejarah Islam, mubahalah hampir terjadi antara Nabi Muhammad melawan kaum nasrani Najran. Waktu itu yang dipertaruhkan adalah kebenaran ajaran Islam. Mubahalah itu akhirnya tidak terjadi karena kaum nasrani najran tidak datang pada hari yang telah disepakati.

Dalam kasus Irena Vs Diki Candra persoalan yang dipertaruhkan adalah integritas pribadi. Irena merasa dia difitnah oleh Diki Candra, sementara Diki Candra tidak merasa melakukan fitnah, dia hanya melakukan penyelidikan. (Jangan-jangan Irena penyusup, maka dia lakukan investigasi)

Di mubahalah mereka berdua saling mengutuk, untuk membuktikan bahwa siapa yang memfitnah, bukan siapa yang memegang kebenaran Allah.

Kutukan itu sudah ada korbannya? Saya tidak berharap. Saya lebih berharap mereka menyadari bahwa beragama dengan saling mencurigai itu tidak tidaklah baik. Hanya akan menghadirkan mubahalah-mubahalah berikutnya.


NB: Mubahalah adalah memohon kutukan kepada Allah untuk dijatuhkan kepada orang yang salah/dusta,
Wassalam,

wtarsono

Baca selengkapnya......

Menyambut Kematian dengan Senyum


Hidup adalah perjuangan. Pameo tersebut benar-benar berlaku untuk Asa Putri Utami. Bukan saja berjuang mewujudkan cita-citanya. Lebih dari itu, Asa berjuang untuk hidup, melawan penyakit Lupus yang dia derita. Asa Putri Utami adalah gadis belia asal Solo, putri dari pasangan Astuti dan Joko Syahban.

Kisah perjuangan Asa tertuang dalam buku yang berjudul Asa, Malaikat Kecilku. Buku ini ditulis oleh Astuti J. Syahban, yang tidak lain adalah ibu Asa sendiri. Karena itu Astuti bisa menghadirkan kisah ini dengan cukup detail mengenai sisi kehidupan Asa dan keluarga mereka.

Hal ini menjadi keunggulan tersendiri dari novel ini. Kita akan hanyut terbawa dalam kisahnya. Ada kalanya kita ikut terharu, ada kalanya kita pun kagum terhadap keberanian Joko Syahban, bapak Asa, saat memutuskan keluar dari pekerjaannya. Joko Syahban keluar kerja sebagai wartawan di majalah Gatra hanya karena ingin memenuhi permintaan seorang Kyai di daerahnya, Solo. Abah Syarif mereka memanggilnya, meminta Joko Syahban untuk membangun sebuah musala di dekat rumah mereka dan menjaganya. “Sudahlah Pak Joko, sekarang kerja dengan juragan Allah saja. Kalau tidak sekarang, maka izin trayek sampean dicabut oleh Allah,” demikian ucap Abah Syarif terhadap Joko Syahban.

Buat kebanyakan orang, keputusan itu dianggap aneh. Tapi itulah kenyataannya, dan Astuti sebagai istri menerima itu dengan lapang.

Daya pikat utama dari novel ini adalah kisah tentang Asa. Asa masih sekolah dasar kelas lima ketika diketahui mengidap penyakit Lupus. Dia anak yang periang dan aktif di berbagai kegiatan sekolahnya. Asa mempunyai banyak teman, dan dia sangat perduli terhadap teman-temannya. Kelebihan lain dari Asa adalah kegemarannya menulis, yang dia tuangkan dalam buku hariannya. Asa mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang dokter dan penghafal Al-Qur’an. “Sebelum menjadi dokter, Asa harus hafal Al-Quran! Seperti yang didambakan dan selalu diimpikan oleh Mama,” demikian salah satu catatan dalam buku hariannya.

Asa dari kecil memang sering sakit-sakitan. Tetapi itu tidak menghalanginya untuk selalu aktif di sekolahnya. Ketika mengetahui dia mengidap penyakit yang mematikan, Asa benar-benar berjuang untuk mengalahkannya. Asa tidak suka mengeluh, semua konsekuensi pengobatan dia terima. Yang penting buatnya, dia bisa sembuh. Asa selalu optimis untuk sembuh, karenanya dia yakin bisa mewujudkan cita-citanya, menjadi dokter dan penghafal Al-Quran. ”Mama, aku benar-benar ingin sembuh. Aku masih ingin sekolah, ingin menghafal Al-Quran. Aku berdoa terus, Aku minta terus sama Allah, Ma.” suatu kali Asa bicara kepada mamanya.

Optimisme Asa membuat kedua orang tuanya selalu terdorong untuk bekerja keras membiayai pengobatannya. “Kalaupun Asa akhirnya meninggal, papa ingin dia meninggal di rumah sakit, kerena dengan itu kita telah membuktikan, kita sungguh-sungguh mengobatinya,” tekad bapaknya.

Keluarga Asa bukan berasal dari keluarga mampu. Biaya pengobatan Asa banyak diperoleh dari kemampuan si ayah membuat tulisan, baik untuk company profile maupun penulisan biografi pengusaha-pengusaha di Solo. Satu hal keajaiban yang dirasakan keluarga itu, saat mereka membutuhkan dana besar untuk menebus obat atau biaya perawatan, Joko sering mendapat kemudahan mendapat order-order penulisan. Sering Joko mengerjakan order tulisannya di lobi rumah sakit tempat Asa dirawat.

Ibu Asa tak pernah lelah mendampingi Asa menjalani pengobatan. Setiap hari dia di samping Asa dan tak pernah bisa tertidur dengan lelap. Ada kalanya kedua orang tua Asa putus asa, tapi tidak dengan Asa. Asa menghadapinya dengan tenang. Suatu kali Asa berkata kepada Bapaknya, “Pak, bagi Asa, penyakit ini tetap saja nikmat dari Allah.” Joko terdiam, tak mampu berkata menanggapi, matanya berlinang air mata.

Buku ini penuh inspirasi dan pesan kebaikan. Kita akan belajar kesabaran, keikhlasan dan ketulusan dari keluarga ini dalam menghadapi cobaan hidup mereka. Dan tentu saja kita akan belajar ketabahan dari seorang anak kecil yang selalu berpikir positif. Seorang anak kecil yang masih bisa menyempatkan diri untuk peduli terhadap orang lain, walaupun hidupnya sendiri menderita karena penyakit yang dia idap. Suatu kali Asa mendapati teman sekamarnya di rumah sakit yang terlihat kesakitan. Asa meminta kepada ibunya untuk menanyakan nama pasien disampingnya. ”Namanya Ainun,” ujar ibunya. ”Ooo Ainun. Kasihan sekali dia. Ya sudah, aku beri hadiah Al-Fatihah saja,” ucapnya kepada ibunya.

Cerita di novel ini dimulai dengan saat persemayaman, sampai kemudian disalatkan dan dimakamkannya jenazah Asa. Hal ini membuat pembaca langsung terbangun rasa harunya. Kita akan disuguhkan kisah keajaiban dan kekaguman terhadap akhir hidup Asa. Kematian yang diakhiri oleh sebuah senyum manis Asa. Sebuah senyum yang menyiratkan kemuliaan hidup Asa, membuat orang-orang yang melihatnya tidak mampu membendung air matanya.

”Kamu tidak mati, Asa. Kamu itu hanya tidur,” seru beberapa teman-temannya, di tengah ledakan tangis mereka.


Wassalam,

Warsa Tarsono
Development Program
Rumah Belajar dan Kreatifitas Sahabat Cahaya

Baca selengkapnya......

Kamis, 23 Juli 2009

Siswandi: Anak Nelayan yang Peduli Nasib Anak Jalanan


Siswandi berhasil memberdayakan anak-anak jalanan dan kaum miskin di Plumpang. Pemerintah sering sinis, tak sadar cerdasnya anak-anak jalanan.

Gema takbir berkumandang. Ada perasaan trenyuh dalam hati Siswandi saat mendengarnya. Terbayang orang tua di kampungnya, ada perasaan rindu kepada mereka. Ingin sekali dia pulang kampung sebagaimana orang-orang kebanyakan. Tapi kerinduan itu dia kesampingkan. Siswandi menganggap ada yang lebih penting dari sekadar melampiaskan kerinduan kepada kampung halaman atau orang tuanya. Siswandi lebih memilih mendampingi anak-anak jalanan yang selama ini dia bina.

”Saya memilih menjadi pengganti orang tua anak-anak itu,” ujarnya lirih. Siswandi adalah seorang pegiat sosial yang peduli terhadap nasib anak-anak jalanan. Ia mulai menangani anak-anak jalanan sejak 1993.

Tidak sekali itu saja Siswandi melakukannya. Pada lebaran-lebaran berikutnya, Siswandi sering melakukannya. Pada suatu malam lebaran, Siswandi dibuat trenyuh oleh pertanyaan dari salah satu anak binaannya. ”Kak, kapan ya kita punya rumah sendiri?”

Siswandi terdiam mendapat pertanyaan tersebut. Dalam diamnya, Siswandi berdoa kepada Tuhan untuk mengabulkan keinginan anak tersebut. Sebuah keajaiban terjadi, beberapa hari kemudian ia ditelepon oleh seorang temannya yang mau mendonasikan uang untuk mengontrak rumah bagi anak-anak jalanan binaannya. ”Ini menambah keyakinan saya, kalau kita beritikad baik,Allah akan menolong kita,” ucapnya.

Siswandi bukanlah seorang yang berasal dari keluarga mampu. Dia terlahir di Lamongan dari keluarga sederhana. Ibunya seorang pedagang kecil, sedang bapaknya seorang nelayan. Sebuah prestasi bagi keluarga tersebut saat dua anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan di Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tapi karena ketidakmampuan keluarga tersebut, anak terakhir dari keluarga tersebut hanya sekolah sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Buat Siswandi, ibu dan bapaknya adalah teladannya. Menurutnya, kedua orang tuanya memunyai tingkat survival yang sangat tinggi. ”Ibu saya setiap pagi jualan nasi, siangnya jualan rujak, dan malam hari jualan kue-kue kering. Tidak pernah berhenti. Sementara saat bapak saya datang membawa ikan-ikan tangkapan, ibu saya membelah ikan-ikan itu. Luar biasa semangat untuk menghidupi anak-anaknya. Bagi saya, dia ibu yang luar biasa, dahsyat,” lanjutnya.

Saat lulus SMA Siswandi ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, tapi karena orang tuanya tidak mampu membiayai, Siswandi mengurungkan niatnya. Di daerah asalnya, Siswandi melamar pekerjaan dan akhirnya dia diterima bekerja di sebuah studio foto. Siswandi senang bekerja di studio foto tersebut.

Selama bekerja di studio foto tersebut Siswandi merasa mendapat pelajaran hidup tentang kemandirian. ”Tanpa saya sadari, itu merupakan salah satu proses hidup yang akhir-akhir ini saya lihat sangat bermanfaat,” ujarnya.

Keinginan kuliah Siswandi demikian besar, karena itu Siswandi memutuskan keluar kerja dan merantau ke Jakarta. ”Pada 1993, saya ke Yakarta. Tanggal 23 Juli, saya masih ingat,” lanjutnya.

Di Jakarta, Siswandi kuliah di lembaga dakwah Al Qalam. Sambil kuliah, ia bekerja di lembaga tersebut. Selain itu Siswandi juga mengajar les privat.

Siswandi tinggal di Jatibaru, berdekatan dengan rel kereta. Setiap ia pulang kuliah atau mengajar privat, ia mendapati anak-anak di sekitar rumah kontrakannya tidak ada yang memberikan pembinaan keagamaan. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak pemulung, tukang sampah, anak-anak pengasong, penyemir sepatu, dan lain-lain.

Siswandi tergerak untuk mengajar mengaji anak-anak tersebut. Kemudian dia mengumpulkan anak-anak itu.

”Saya ajak anak-anak tetangga kontrakan saya, sekitar 5-6 anak terkumpul, tapi setelah berjalan beberapa lama, 50 anak, bahkan lebih, ikut belajar ngaji bersama saya. Kegiatan yang kami adakan adalah belajar membaca Al Quran, belajar tentang agama dan nasyid,” jelasnya.

Pada 1997 Siswandi pindah tempat tinggal, dan meninggalkan anak-anak binaannya.

Krisis Ekonomi Menambah Anak Jalanan
Krisis ekonomi Indonesia yang dimulai 1997, mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat kecil. Di jalanan semakin banyak ditemui para pengemis dan pengamen, baik orang tua maupun anak-anak. Kondisi tersebut menggugah rasa kemanusiaan Siswandi.

Ia tergerak untuk membantu mereka. Bersama teman-temannya dari Himpunan Mahasiwa Muslim Antar Kampus (HAMMAS), ia mengumpulkan anak-anak jalanan. Mereka mengontrak rumah di Cipinang Campedak, di belakang Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Nusantara, sebagai tempat singgah anak-anak jalanan. Ada sekitar 15 anak yang dibina oleh Siswandi dan teman-temannya.

Tapi beberapa bulan berjalan, terjadi perbedaan visi antara Siswandi dan beberapa temannya. Hal ini membuat Siswandi diusir oleh teman-teman yang lainnya. Situasi tersebut terasa menyakitkan buat Siswandi.

”Semula saya ingin pulang ke kampung karena kesulitan-kesulitan itu, tapi kemudian saya urungkan,” jelasnya. ”Ada miskomunikasi, saya dianggap membuat keputusan di luar musyawarah. Padahal tujuan saya improvisasi. Dalam hidup ini kan perlu improvisasi,” jelasnya menerangkan penyebab perpecahan dia dan teman-temannya.

Siswandi kemudian mengontrak rumah lain dan membawa beberapa anak jalanan yang setia kepadanya.

Mendirikan HIMMATA
Sesudah perpecahan itu, Siswandi tetap melanjutkan kepeduliannya terhadap anak-anak jalanan. Siswandi dan istrinya, Nurida, bertemu dengan AM. Muthada dan Sarkono. Pertemuan berlanjut pada kesepakatan untuk membuat lembaga yang akan melakukan pembinaan terhadap anak-anak jalanan. Pada Agustus 2000, dibentuklah Himmata.

Mereka mengontrak rumah di daerah Plumpang, dengan modal uang pinjaman. Rumah tersebut dijadikan sebagai base camp aktivitas dan tempat tinggal dan tempat singgah anak-anak jalanan. Tidak ada peralatan masak yang mereka miliki, demikian juga alas untuk tidur, hanya beberapa tikar. Pakaian mereka disimpan di kardus, karena mereka tidak memunyai lemari pakaian.

Siswandi saat itu tidak bekerja, sementara kebutuhan makan anak-anak jalanan yang mereka bina juga menjadi tanggungjawabnya. Untuk itu ia berusaha mendapatkan pinjaman. Siswandi sedih saat ia tidak mendapatkan pinjaman itu, tapi Siswandi sekali lagi tidak menyerah. Dia yakin itikad baik akan mendapat pertolongan dari Allah.

Perjalanan berat ia lalui selama setahun. Setelah itu, semakin banyak orang yang bersedia menjadi donatur untuk Himmata. Walaupun kemudian, dia mendapat ujian lain. Rumah yang selama ini dikontrak untuk aktivitas Himmata akan dijual oleh pemiliknya, dengan harga 300 juta. Pilihannya, mereka beli rumah itu atau pindah ke tempat lain.

Karena tidak punya dana, akhirnya mereka mengontrak rumah di tempat lain, tidak jauh dari rumah lama.

Pada Ramadhan 2001, anak-anak binaan Himmata mulai mendapat undangan untuk tampil mengisi acara buka puasa. Sejak saat itu, Himmata mulai dikenal oleh banyak orang. Taman Pendidikan Al Quran (TPA) yang mereka kelola semakin bertambah muridnya, bukan saja anak-anak jalanan tapi juga anak-anak dari masyarakat di sekitar sekretariat Himmata.

Pada 2005, Himmata kembali ke rumah lama, bahkan dengan bangunan yang lebih baik. Himmata mampu membeli rumah lama yang dari awal memang mau dijual, dengan harga yang lebih murah, 150 juta. Setelah dibeli, rumah itu kemudian direnovasi.

Selain itu, dalam waktu yang tidak lama Himmata mulai membangun gubug-gubug yang selama ini menjadi sekolah mereka, dengan bangunan yang lebih baik dan permanen. ”Sebelum dibangun, sekolah Himmata lebih jelek dari sekolah anak-anak Laskar Pelangi,” jelas Siswandi.

Anak Jalanan Anak Cerdas
Menangani anak-anak jalanan tidaklah mudah, terutama karena mobilitas mereka dan uang yang mereka dapatkan dari mengamen atau meminta-minta. Sementara, tinggal berada di rumah singgah, khususnya di Himmata, mereka tidak akan mendapatkan itu. Karenanya Siswandi sering mendapati anak-anak yang keluar masuk ke rumah singgahnya. Bahkan Siswandi sering mendapati anak-anak yang terlihat sudah menikmati berada di Himmata, dan sudah ikut sekolah, tiba-tiba menghilang, dan kembali ke jalanan.

Untuk mengurangi keluar masuknya anak-anak jalanan dari rumah singgahnya, Siswandi secara berkala mengadakan training. ”Kami coba ubah pola pikirnya, bahwa kalau mereka ingin mengubah hidupnya, jalanan bukan tempatnya,” ujar Siswandi.

Setelah hampir sepuluh tahun Himmata berdiri, saat ini Himmata tidak hanya mengkhususkan pembinaan kepada anak-anak jalanan, tapi juga anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu di sekitar Plumpang, Jakarta Utara. Salah satu program yanng cukup berhasil diselenggarakan adalah sekolah non formal kejar Paket A, B dan C. Saat ini, muridnya mencapai 600 anak lebih.

Untuk program anak-anak jalanan, selain memfasilitasi tempat tinggal, sandang, pangan dan papan, Himmata memberikan pendidikan baik formal maupun nonformal. Untuk mengisi waktu luang agar anak-anak tidak kembali ke jalanan, Himmata melengkapi dengan pendidikan seni musik dan kreatifitas. Hal ini dimaksudkan untuk menyalurkan bakat kesenian dan kreatifitas anak-anak. Dalam pandangan Siswandi, seni adalah jembatan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak.

Program seni musik yang diadakan: pelatihan olah vokal, teknik bermain musik, biola, perkusi, angklung, bahkan membentuk group band Himmata. Saat ini, anak-anak binaan Himmata sering diminta mengisi acara, terutama saat bulan ramadhan. Sesekali, mereka juga mengadakan pentas dengan melakukan kerjasama dengan lembaga lain. Beberapa kali pestival sudah diadakan, termasuk pentas berkolaborasi dengan penyanyi terkenal Ita Purnamasari, dan lain-lain.

Langkah Siswandi saat ini semakin ringan, walaupun itu tidak membuat Siswandi merasa sah untuk mengendorkan tenaganya. Siswandi merasa tugasnya belum selesai, karena masih banyak orang yang memandang sinis anak-anak jalanan, bahkan pemerintah yang seharusnya melindungi. ”Mereka hanya tidak tahu, bahwa sebenarnya anak-anak ini, adalah anak-anak cerdas,” ucapnya lirih. *** (Warsa Tarsono)

Baca selengkapnya......

Jumat, 19 Juni 2009

CAHAYA DARI LEBAK WANGI


Ketika tahun lalu Perpustakaan Nasional memberikan penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka  kepada Kiswanti, ada sesuatu yang penting terjadi di sana.

Penghargaan itu ditujukan kepada mereka yang berjasa mengembangkan perpustakaan dan minat baca di Indonesia. Sedangkan Kiswanti? Dia adalah seorang ibu rumah tangga lulusan Sekolah dasar yang bersuamikan kuli bangunan. Ia dihargai karena kegigihannya mengembangkan perpustakaan rakyat di daerahnya, Kampung Lebak Wangi, Parung, Jawa Barat.

Kiswanti adalah bukti bagaimana yang menyelamatkan Indonesia sebenarnya adalah rakyat kecil yang selama ini justru sering diabaikan saja dalam retorika pembangunan.

Wanita 48 tahun ini datang dari keluarga miskin dengan ayah seorang penarik becak yang tak cukup punya uang untuk membayar iuran sekolah anaknya. Di masa kecilnya, Kiswanti belajar membaca di bawah bimbingan ayahnya dengan menggunakan huruf-huruf yang digunting dari koran bekas. Salah seorang gurunya pernah meminta ia berhenti sekolah saja, karena ia miskin.

Kini, sang guru nyinyir itu sebaiknya bertemu lagi dengan Kiswanti. Si anak miskin itu tidak kaya. Ketika ditemui Madina, Kiswanti bercerita bahwa suaminya sedang bekerja membersihkan kolam renang di Jakarta. Tapi Kiswanti sendiri memiliki perpustakaan yang setiap hari dipenuhi anak dan remaja dari daerah sekitar yang lahap membaca dan belajar dengan menggunakan komputer. Lebih dari itu, itu bukan sekadar perpustakaan, melainkan semacam pusat aktivitas sosial dan ekonomi bagi para orangtua anak-anak itu.

Keterbatasan ekonomi tidak pernah menghalangi keperdulian Kiswanti terhadap pendidikan. Cita-citanya sederhana dan mulia: Dia ingin anak-anak Indonesia menjadi anak-anak yang pintar, anak-anak yang gemar membaca.

Bermain di Kuburan

Kiswanti terlahir dari keluarga miskin di Bantul, Jogjakarta. Karena kondisi ekonominya dia tidak bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi dari Sekolah Dasar (SD). Itupun dia bisa selesaikan karena sekolah membebaskan uang SPPnya mengingat nilai-nilainya yang sangat memuaskan dan seringnya dia mewakili sekolah untuk berbagai lomba.

Tetapi prestasi tersebut tidak datang begitu saja. Di tahun-tahun pertama ia justru sering menjadi sasaran hinaan dan cibiran teman-teman, bahkan gurunya. Pernah dia mendapatkan perlakuan yang sangat menyakitkan dari gurunya. Di kelas dua SD, ketika dia belum bayar SPP, wali kelasnya berkata: “Sudahlah kalau miskin, miskin saja jangan bermimpi untuk sekolah.”

Kiswanti selalu ingat dengan kata-kata gurunya, tetapi itu tidak meruntuhkan keinginannya untuk terus bersekolah. Bagaimanapun, peristiwa itu menjadikan Kiswanti merasa semakin terkucil dan karena itu ia memilih lebih banyak menghabiskan waktu istirahatnya di kuburan dekat sekolah.

Itu rutin dilakukannya sehingga menarik perhatian penilik yang datang ke sekolahnya. Ketika tahu bahwa Kiswanti adalah anak cerdas, sang penilik mengajukan usulan menarik: bagaimana kalau Kiswanti bermain di perpustakaan saja di masa istirahat? Tentu saja, tawaran itu langsung ia terima.

Akibatnya, kegemaran membaca Kiswanti tersalurkan yang, pada gilirannya, membuat nilai-nilai pelajara Kiswanti sangat baik. Dia lulus dengan nilai tertinggi. Merasa perduli dengan kecerdasan Kiswanti, salah satu guru di sekolahnya meminta kepada orang tuanya agar Kiswanti tinggal di rumahnya dan akan di sekolahkan.

Tetapi orang tua Kiswanti menolaknya. Kiswanti kecewa, dia menangis. Bapaknya berkata kepada Kiswanti. “Bapak minta maaf tidak bisa menyekolahkan kamu, tapi kalau kamu mau pintar, kamu lebih banyak baca saja, dan Bapak berjanji akan membawakan kamu koran setiap hari.” Janji itu ditepati, setiap pulang menarik becak Bapaknya membawakan koran untuk Kiswanti.

Kiswanti tidak puas dengan koran-koran yang dibawakan bapaknya. Dia berinisiatif untuk membeli buku-buku yang dia ingin baca. Untuk itu dia rela bangun pagi-pagi, saat kebanyakan orang masih terlelap tidur. Dia keluar rumah dengan membawa obor dan kemudian mencari dan mengumpulkan biji-biji melinjo. Biji melinjo yang terkumpul dia jual. Selain itu dia juga membantu mengelupas biji kacang. Upah mengelupas biji kacang dan hasil penjualan melinjo tersebut dia gunakan untuk membeli buku.

Pikirannya bergerak terus. Dia tahu, dia tidak mungkin hidup terus di kampung kelahirannya. Dia mendapati teman-teman seusianya bekerja di Jakarta. Saat mereka pulang dari Jakarta, Kiswanti melihat teman-temannya membawa banyak uang. Diapun tertarik dan memutuskan untuk ikut bekerja di Jakarta. “Tekad saya kalau mendapatkan uang akan saya pergunakan untuk membeli buku.”


Minta Gaji Berbentuk Buku

Di Jakarta Kiswanti bekerja sebagai pembantu rumah tangga seorang warga Filipina, di daerah elit Menteng. Kiswanti senang bukan kepalang ketika mengetahui majikannya mempunyai banyak buku. Bahkan sebagian buku yang dipajang sang majikan juga ia miliki.

Muncul gagasan Kiswanti untuk meminta kepada majikannya agar dia tidak digaji dengan uang, tapi dengan buku. “Bu tolong, saya gak usah digaji dengan uang, saya minta digaji dengan buku saja” Kiswanti menyampaikan dengan penuh harap kepada majikannya.

Ketika majikannya bertanya mengapa, Kiswanti menjawab mantap, “Saya ingin menambah koleksi buku saya.” Majikannya tidak setuju. Dia tetap menggaji Kiswanti dengan uang. Tapi kemudian Kiswanti diantar ke pusat buku bekas di Kwitang, Jakarta Pusat, untuk belanja buku. Sayangnya, Kiswanti hanya bekerja tiga bulan di rumah tersebut. Majikannya pulang ke negara asalnya. Kiswanti pun berniat pulang.

Ketika itu Kiswanti sudah mempunyai banyak buku hasil belanja di Kwitang. Dalam perjalanan pulang dia bertemu dengan Ngatmin, pemuda yang saat ini menjadi suaminya. Dia menawarkan kepada Kiswanti untuk menjadi pembantu rumah tangga orang Korea. Beberapa minggu setelah Kiswanti bekerja, Ngatmin melamarnya. Kiswanti menerimanya dengan beberapa syarat.

“Ada beberapa syarat yang saya ajukan ke Mas Ngatmin. Salah satunya, berapapun penghasilan yang saya dapat, tidak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tapi buat menambah koleksi buku. Mas Ngatmin setuju. Kami pun menikah pada bulan Agustus tahun 1987. ”

Membangun Perpustakaan

Tujuh tahu tinggal di desa asal, Kiswanti dan Ngatmin pindah ke kampung Lebakwangi. Parung, Jawa Barat tahun 1994. Saat itu kondisi daerah itu masih memprihatinkan belum ada listrik, belum ada telepon dan jalannya masih sangat rusak. Apalagi tak jauh dari sana ada lokasi ”warung remang-remang”.

Dengan segera hasrat Kiswanti untuk menyumbangkan apa yang dia punya pada masyarakat di sana tumbuh. Yang menjadi pusat perhatiannya pertama adalah anak-anak. Dia percaya harus ada yang diperbuat untuk menjaga pertumbuhan mereka. Apalagi menurut pengamatannya, anak-anak di sana kerap bertengkar dan kalau itu terjadi, lazim keluar kata-kata tak pantas dari mulut mereka.

Ia pun berinisiatif mengumpulkan beberapa anak di rumahnya. Agar anak-anak tertarik dia membuat beberapa permainan dengan menggunakan pelepah daun pisang, pelepah kelapa dan botol-botol bekas. ”Walau bagaimanapun dunia anak adalah dunia bermain, maka saya buatkan alat-alat bermain”.

Tapi lama-kelamaan anak-anak bosan dengan permainan-permainan itu. Kiswanti mengubah gaya – ia mulai mendongeng, bercerita. ”Tapi ceritanya tidak saya selesaikan, saya berharap itu akan mengundang penasaran dan mereka akan datang kembali”.

Benar saja, hari berikutnya mereka datang lagi, dan mereka memintanya melanjutkan cerita sebelumnya. Kesempatan itu Kiswanti gunakan untuk mendorong mereka mau membaca. “Bagi yang ingin membaca ceritanya, Bude pinjamkan buku, silahkan baca bukunya di rumah. Kalau sudah selesai kembalikan lagi, nanti Bude pinjamkan lagi buku yang lain”.

Pada awalnya tidak banyak anak yang terlibat, hanya sekitar lima anak. Tetapi dari lima anak tersebut berita soal aktivitasnya mulai tersebar ke anak-anak dan warga yang lain. Semakin lama anak-anak yang meminjam buku semakin banyak. “Dari situ saya menyimpulkan bahwa anak-anak sebenarnya minat bacanya tinggi. Yang membuat rendah adalah karena mereka tidak tahu dimana bisa mengakses buku, dimana meminjam buku.”

Dengan bertahap Kiswanti membuat peraturan tambahan. Peraturan pertama yang dia buat adalah agar anak-anak tidak boleh mengucapkan kata-kata kasar seperti ”bego, tolol, gua, elu, dan semacamnya”. Peraturan berikutnya: anak-anak yang datang kerumahnya untuk terlebih dahulu mandi. ”Kalau mereka tidak melaksanakan ketentuan itu, mereka akan diberi sanksi tidak boleh pinjam buku lagi.”

Kesuksesannya berdampak. Karena karena anak-anak yang meminjam buku semakin banyak, koleksi bukunya harus ditambah. Untuk itu Kiswanti memutuskan untuk berjualan jamu serta membuka toko kelontong, dengan modal pinjaman dari mejelis taklim yang dia ikuti. Hasil dari jualan jamu dan toko kelontongnya dia belikan buku. Dia pun menyisihkan 3000 rupiah dari uang belanjanya setiap hari. “Saya rela melaparkan diri agar saya dapat menambah koleksi buku.”

Nyatanya, itu pun belum cukup. Kiswanti ingin memperkenalkan buku lebih luas lagi kepada anak-anak di desanya. Untuk itu dia membeli sepeda dengan cara mencicil. Dengan sepeda itu, ia menyelenggarakan semacam “perpustakaan keliling”.

Dia bawa koleksi bukunya dalam keranjang yang dia ikat di sepeda sambil berjualan jamu. Setiap ada kerumunan anak, ia akan menghampiri dan menawarkan buku-bukunya untuk dibaca. Dia lakukan setiap hari selama sembilan bulan di tahun 2003. Aktivitas itu dia lakukan di sekitar tempat tinggalnya di kampung Lebakwangi, Parung, Bogor.

Tawarannya tidak selalu mendapat sambutan yang positif. Banyak anak yang tak acuh. Tapi kegigihan Kiswanti tidak surut. Lama-kelamaan usahanya membuahkan hasil. Kesadaran masyarakat sekitar terhadap pentingnya membaca perlahan tumbuh, sampai akhirnya Kiswanti memutuskan berhenti berkeliling dan membuka Warung Baca Lebakwangi (Warabal) di rumahnya.

Warabal

Saat ini Warabal yang dipimpinnya telah menjelma menjadi semacam pusat pemberdayaan rakyat di desanya. Dukungan datang dari mana-mana. Bantuan pemerintah sempat datang, begitu juga dukungan dari mereka yang bersimpati.

Anak-anak mulai dari usia 3 tahun sampai remaja SMA di Lebak Wangi menjadikan Warabal sebagai sarana mengembangkan pengetahuan dan wawasannya. Ada hampir 200 anak dan remaja terlibat dalam komunitas tersebut, dengan melibatkan 14 relawan diluar Kuswanti dan anaknya. Tidak itu saja Kiswanti juga membina orangtua mereka, dengan memberi pelatihan menjahit dan menyulam. Ada 175 ibu-ibu yang tergabung dalam kegiatan ini.

Cita-cita Kiswanti belum berhenti. Dia sudah membeli tanah di samping rumahnya, juga dengan cara dicicil. Tanah itulah yang ingin ia gunakan untuk membangun lokasi perpustakaan selanjutnya. “Saya merencanakan membuat bangunan dua lantai. Nanti akan dibedakan mana buku-buku untuk anak-anak, remaja dan orang tua. Saya rasa buku-buku untuk orang tua juga penting,” ujar sang ibu teladan.

Kiswanti seorang istri kuli bangunan. Tapi apa yang dilakukannya mungkin lebih bermakna dari seorang Menteri Pendidikan.

(wtarsono)

Tulisan ini pernah di muat di Majalah Madina edisi Maret 2009, dengan judul Pejuang Aksara dari Lebakwangi.

Baca selengkapnya......

Kamis, 18 Juni 2009

Masih Berlanjut Mengenai KCB


Saya ucapkan terima kasih buat teman-teman yang telah menanggapi atau hanya membaca catatan saya tentang KCB, baik filmnya maupun novelnya. Catatan saya tentang filmnya sebenarnya lebih pada penggarapan film tersebut. Saya akui, bahwa film itu juga menghibur. Tapi bukan karena tidak menaroh hormat kepada Mas Mamang (Chaerul Umam) dan Imam Tantowi, saya menganggap penggarapannya tidak maksimal. Mungkin disebabkan oleh beberapa hal. Bisa karena hal-hal yang sifatnya teknis, campur tangan kang abik atau memang ketidakcermatan Mas Mamang. Sehingga adegan yang sebenarnya penonton bisa terharu, tapi (minimal saya) tidak terharu.

Dalam hal ini, saya berpendapat, karena tuntutannya harus sesuai novelnya, banyak plot yang tidak masalah kalau ditiadakan, dipaksakan ada. Dialog yang bisa dengan singkat, tapi dibuat panjang. Informasi yang bisa dibuat dengan dialog dua arah yang atraktif, tapi dibuat cenderung monolog.

Tapi tetap aja, dalam konteks bahwa film ini sebagai dakwah itu bukan hal prinsip. Mungkin ini hanya masalah RASA aja. Walaupun sebagain menganggap RASA ini juga penting, ini untuk menarik orang-orang yang semula hanya untuk mencari hiburan, tapi tercerahkan atau tersadarkan setelah menontonnya. Bukankan itu substansi dakwah. Kalau dakwah hanya diperuntukkan buat orang-orang yang sudah sadar-menjadi berkurang manfaatnya.

Dan karena penilaian, atau kritik saya banyak orang malah penasaran, itu bukan masalah. Yang mengeluarkan uang bukan saya, yang merasa terhibur bukan saya, yang merasa kecewa juga bukan saya. Yang untung juga bukan saya. Jadi saya fine aja. Saya sekedar sharing.

Untuk postingan kedua, saya menganggap serius. Karena ini masalah nilai yang didakwahkan oleh Kang Abik, apalagi setelah membaca novelnya. Menurut saya ada cara pandang yang salah, bahkan menurut saya "jahat".

Beberapa hal itu antara lain:
1. Generalisasi yang gegabah terhadap perempuan yang tertawa ngakak, yang disebutnya sebagai perempuan murahan, bahkan pelacur.

2. Ketidaksensitifan terhadap keluarga yang mempunyai anak dengan persoalan mental,dan lebih parah dilakukan oleh tokoh utama-sebagai sosok yang soleh.

4. Seorang solehah (istri-Anna, tokoh solehah) menyebut jahanam suaminya hanya karena sisuami tidak mau melayani hubungan seks. Padahal si suami melakukan dalam rangka melindungi istrinya-karena menganggap dirinya terkena aids.

5. Tidak ada keperdulian seorang istri solehah terhadap penderita HIV Aids, bahkan kepada suami.
Sementara di Amerika Serikat, istri Magic Jhonson tidak mau menceraikan dan tetap bersedia melakukan hubungan seks dengan Magic Jhonson, dan mereka mempunyai anak setelah itu. Dan istrinya tahu sebab Aids-nya karena gaya hidup Jhonson. (kira-kira lebih membangun jiwa mana?!). dr. Anna Silviana banyak menangani orang-orang yang terkena Aids dan istrinya tetap tidak mau bercerai, bahkan men-support suaminya untuk menjalani hidup secara normal.

6. Mengeneralisasi bahwa kemiskinan yang ada di Indonesia ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang malas dan bermental kambing.

7. Masalah besar yang dituangkan di novel ini adalah masalah pencarian cinta, masalah hubungan laki-laki dan perempuan. Novel ini bukan bercerita tentang perjuangan seseorang yang tidak mempu menjadi sukses, bukan! happy ending novel ini adalah kepuasan malam pertama.

Dll, mudah-mudahan lain kali saya masih kuat menuliskannya

Nah karena penjelasan saya teman-teman menjadi penasaran juga? Buat saya tidak masalah. Saya hanya menyampaikan sesuatu yang saya anggap bermasalah dan itu kesalahan yang fatal buat saya. Bisa jadi tidak buat teman-teman.

Bahwa ada orang yang merasa tercerahkan, dengan mengetahui bahwa perempuan punya hak mahar, bahkan mahar tersebut berupa janji untuk tidak dipoligami, itu sah-sah saja.

Oh iya, teman saya seorang wartawan, sedang kebingungan mengembalikan amplop yang berisi uang yang diselipkan panitia KCB-MEGA FILM PEMBANGUN JIWA, saat mereka mengadakan konfrensi pers menjelang diputarnya film ini. Dia mengetahui setelah sampai rumah, dan dia menyesal tidak memeriksanya. Ada usul bagaimana mengembalikannya?

Wassalam,

wtarsono

Catatan: Sebelum dimuat di sini, tulisan ini diterbitkan di facebook-ku dan mendapat berbagai tanggapan.

Baca selengkapnya......

Masalah yang Ditemukan di Novel KCB


(Berikut kutipan dari Buku Ketika Cinta Bertasbih edisi cover film (2 edisi dijadikan satu).

Ini adalah 2 masalah yang saya temukan dari isi novelnya. Saya ambil dari Bab Ikhtiar Mencari Cinta (hal 585-586). Deskripsi Ini adalah generalisasi yang jahat terhadap perempuan. Dan pasti orang yang tertawanya seperti di gambarkan oleh novel ini akan sakit hati.)

"Begini lho Zam, alasan Bue berdasarkan ilmu titen kenapa ibu tidak setuju dengan dua gadis itu begini. Pertama Rina, gadis temannya adikmu itu memang baik. Bue akui itu. Sopan santunnya baik. Cuma ada satu hal yang ibu amati, dan Bue tidak cocok adalah ketika dia dulu menginap di sini, bisa-bisanya habis shalat Subuh tidur lagi. Padahal kita bertiga tidak tidur. Dia lalu bangun jam tujuh pagi. Ini yang membuat ibu tidak cocok. Bagaimana kalau dia nanti jadi ibu bakda Subuh tidur. Di rumah orang saja nekat begitu apalagi nanti di rumah sendiri."
"Tapi Bue, Rina pada waktu itu memang terlalu letih. Sehari sebelumnya dia ada acara full di kampus." Husna berusaha membela Rina, meskipun dia juga tahu kebiasaan tidur setelah shalat Subuh itu masih dilanggengkan temannya itu sampai saat itu.
"Ah apapun alasannya. Ibu tak peduli. Kata ayahmu dulu kalau orang tidur habis Subuh rezekinya dipatuk sama ayam, jadi hilang! Terus itu Si Tika atau Kartika Sari yang jadi penjaga kios Sumber Rejeki di Pasar Klewer. Memang dia cantik dan anggun. Saat kita dolan ke rumahnya juga baik tutur bahasanya. Tapi Bue tidak suka caranya dia tertawa. Tertawanya ngakak-ngakak seperti itu. Dia itu seorang gadis masak tertawanya ngakak begitu. Kalau laki-laki masih agak mending, mungkin masih agak bisa dimaklumi. Ini gadis. Rasulullah saja kalau tertava tidak ngakak-ngakak begitu. Setelah mendengar dia tertawa seperti itu Bue langsung kehilangan selera. Maaf, yang biasa tertawa begitu itu biasanya perempuan murahan, pelacur.

(Sementar cuplikan tulisan ini saya ambilkan dari Bab Dari Mila Hingga Seila (hal 604-605). Bahkan ini lebih tidak manusiawi. Bagaimana perasaan orang yang mempunyai anak seperti itu kalau diperlakukan seperti cerita di bawah ini. Dan itu dilakukan oleh sosok yang digambarkan Abik sebagai sosok malaikat.)

Gagal mendapatkan putri Pak Jazuli tidak membuat Azzam putus asa dalam berikhtiar mencari jodohnya. Setiap ada informasi yang ia rasa menarik ia kejar informasi itu. Sampai pun ia mendapat informasi dari Kang Paimo.

Saat ronda malam Kang Paimo cerita bahwa di Singopuran ada juragan beras kaya namanya Pak Haji Darmanto. Biasa dipanggil Haji Dar. Kang Paimo cerita Haji Dar punya anak putri yang cantik, dan pernah bilang padanya bahwa siapa yang mau menikahi anaknya dengan cepat akan dinaikkan haji seluruh keluarganya.

Azzam tertarik. Suatu sore, saat langit terang benderang, matahari masih bersinar cerah, Azzam mencari rumah Haji Dar. Dan ketemu. Rumahnya agak dekat dengan pabrik tembakau. Haji Dar agak kaget ketika Azzam datang. Tanpa basa-basi Azzam mengutarakan niatnya menyunting putri Haji Dar itu. Haji Dar luar biasa senangnya. Seketika Haji Dar ke belakang mencari isterinya. Saat Haji Dar kebelakang ia melihat ada anak gadis berkulit putih muncul dari samping rumah. Ia perkirakan gadis itu mahasiswi semester tiga atau empat.
Ia kaget, tiba gadis itu duduk begitu saja di halaman seperti anak kecil. Lalu ia main karet yang ia bawa dengan plastik hitamnya. Belum bilang kagetnya isteri Haji Dar muncul.
"Ini Bu namanya Nak Azzam. Dia yang melamar akan menikahi Eva." Terang Pak Dar pada ibunya.
"Kau sudah mantap Nak?"
"Insya Allah Bu."
Tiba-tiba ia dikagetkan oleh gadis itu yang menangis meraung¬raung di halaman sendirian. Gadis itu lalu berdiri dan masuk rumah. Lalu menangis di pangkuan ibunya.
"Ibu Eva man mimik susu! " Kata gadis itu.
Seketika seluruh badannya gemetar. Gadis itu memang cantik tapi ternyata gadis itu punya kelainan. Yaitu keterlambatan perkembangan pikirannya. Ia mau pingsan rasanya saat itu. Ia langsung buru-buru minta diri. Dan minta maaf pada Pak Haji Dar. Ia bilang bahwa dirinya salah alamat. Ingin rasanya ia menjitak Kang Paimo.

Catatan tambahan:
Beberapa waktu yang lalu ada gup lawak tampil di TV yang menceritakan sebuah joks. Joks nya begini:
Seorang perempuan di perkosa oleh 5 orang pemuda. Saat diperkosa oleh pemuda pertama perempuan itu berontak dan menjerit-jerit, tapi saat giliran pemuda ke dua dan selanjutnya, perempuan itu malah ketagihan.

Group lawak itu mendapat protes dari banyak kalangan. Karena mencerminkan ketidaksensitifan mereka terhadap korban-korban pemerkosaan. Nah dua ciplikan di atas juga menunjukkan betapa tidak sensitifnya penulis novel ini terhadap perasaan orang yang tertawa seperti digambarkan di novel dan keluarga yang mempunyai anak seperti itu. Kebetulan saya mempunyai teman yang anaknya autis. Dan dia merasa sakit hati, teriris dengan cerita itu.

Itulah perlakuan sosok pahlawan/malaikat dalam novel KCB!
(Mudah-mudahan adegan seperti ini tidak ada dalam film KCB 2, walaupun ketidaksensitifan (diskriminasi terhadap bule) telah ditunjukkan dalam film KCB, yang saat ini sedang beredar)

Baca selengkapnya......

KCB yang Mengecewakan


Film ini bercerita tantang perjalanan cinta Azam, seorang mahasiswa Al Azhar Kairo yang berasal dari Indonesia. Untuk membiayai kuliahnya Azam berjualan tempe, dengan salah satu pelangganya keluarga Dubes. Selain untuk biaya kuliahnya hasil jualan tempenya digunakan juga untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya, karena bapak Azam sudah meninggal. Azam sudah 9 tahun kuliah, tapi belum lulus juga.

Ada beberapa tokoh utama dalam film ini, selain Azam ada Furqon mahasiswa yang berasal dari keluarga kaya dan sedang menyelesaikan kuliah S2. Ana, anak seorang kiai dari solo sedang mengajukan proposal untuk mendapatkan beasiswa S2. Elina adalah anak Dubes, cantik tapi tidak mengenakan jilbab. Ada juga tokoh Tiara, Fadil, Komala dan lain-lain.

Sebagai film dakwah?

Film ini digadang-gadang sebagai film dakwah, tapi apa yang di dakwahkan? Inti film ini tentang perjalanan cinta Azam dan tokoh-tokoh lainnya dalam film ini. Gak ada adegan yang membuat penonton tergugah atau terinspirasi oleh perilaku dari tokoh-tokoh dlm film ini. Kecuali pesan-pesan verbal yang terasa kering dan mendakwahi penonton.

Seperti saat Elina diberi penjelasan mengapa french kiss musibah buat Azam, Azam menjelaskan dengan mengutip kitab dsb. Karena penjelasan Azam Elina menjadi sadar maka menangislah Elina. Tapi plot itu benar-benar tidak menggugah emosi penonton. Sekali lagi terkesan hanya dakwah verbal seperti di majelis taklim.

Tangisan yang tidak membuat haru
Film ini banyak tangisan, tapi tak membuat meneteskan air mata. Tangisan-tangisan itu terlalu mengada-ngada dan bahkan pada hal-hal yang sepele. Contoh: Tiara dan Fadhil sama-sama jatuh cinta, tapi Fadhil tidak berani mengutarakan cintanya. Tiara curhat ke adiknya Fadhil agar Fadhil mengutarakan isi hatinya karena kalau nggak akan ada yang melamar dia, saat curhat itu mereka berdua sama sama harus menangis. Begitupun saat Fadhil curhat kepada Azam tentang perasaan cintanya terhadap Tiara, Fadhil harus menangis.

Film ini juga dipenuhi dialog yang panjang-panjang dan cenderng satu arah untuk menerangkan sesuatu. Saat Din Syamsudin datang dan dia menjelaskan alasan kedatangannya, hampir saja Din kehabisan nafas karena harus menyampaikan kalimat yang begitu panjang. Begitupun pada dialog-dialog lainnya.

Pengambaran sosok Azam

Saat menggambarkan sosok Azam, harus ada sekian plot yang melibatkan Azam. Kita ingat di film Ayat-ayat Cinta, cukup dengan peristiwa di bus kota, sudah tertanam seperti apa karakter Fahry, plot-plot lainnya ttg Fahri dibuat cepat saja. Nah di KCB dibuat beberapa dan lambat, pokoknya terasa jemu dan membosankan.

Aneh
Furqon anak orang kaya. Furqon mau menghadapi ujian S2-nya. Agar bisa konsentrasi untuk belajar Furqon menyewa kamar di hotel. Saat di hotel di telp oleh seorang perempuan dan mengajaknya makan-makan. Furqon menolak. Dua kali perempuan itu menelpon tapi tetap Furqon menolaknya dengan alasan mau belajar. Setelah itu Furqon tidur. Dipagi harinya saat dia terbangun mendapati dirinya telanjang. Di dalam laptopnya ada foto-foto porno dia dengan perempuan yang menelaponnya disertai pesan untuk mengirimkan sejumlah uang ke sebuah rekening, kalau tidak foto-fotonya akan disebarkan.

Selanjutnya Furqon diketahui disuntik virus HIV oleh perempuan tadi, sehingga dia mengidap penyakit AIDS, karena itu dia harus meninggalkan mesir. Furqon mahasiswa kaya yang baik, menjadi qorban fitnah dan penyuntikan virus AIDS menjadi sosok antagonis, karena dia menjadi penghalang bersatunya cinta Ana dan Azam, padahal Furqon melamar Ana dengan baik-baik dan tidak ada pemaksaan.

Furqon hanya diuntungkan karena dia menjadi anak dari keluarga kaya dan kenal lebih dulu kepada Ana dibanding Azam.

Tentang sosok Ana
Ana digambarkan sebagai perempuan cantik dan soleh sehingga menjadi "rebutan" Azam dan Furqon. Tapi (maaf bukan bermaksud melakukan penilaian secara fisik-hanya mengikuti logika film ini) secara fisik sosok Ana tidak lebih cantik dari pemeran-pemeran lainnya. Jadi selama nonton film itu kami selalu membandingkan tokoh ana dan tokoh wanita lainnya: "Ini lebih cantik kenapa bukan yang ini menjadi pemeran Ana?

Penggambaran kemiskinan
Azam berasal dari keluarga miskin, tapi perilaku dan setting keluarga Azam tidak terlihat sebagai keluarga miskin. Sekedar membandingkan dengan film Ayat-ayat Cinta. Penggambaran sebagai keluarga miskin dalam AAC dengan menampilkan cara berpakaian ibunya. Yang hanya memakai kerudung, dengan lengan pendek dan pakaian sederhana.

Tapi dalam film ini, ibunya, anak-anaknya semua mengenakan pakaian full jilbab. Dikampung saya orang-orang seperti itu adalah orang-orang kaya, mereka mampu menguliahkan anak-anaknya ke kota. Saat mereka pulang kampung, pakain seperti itulah yang mereka kenakan. Hasilnya film ini tidak berhasil menggambarkan kemiskinan keluarga Azam.

Tentang Ke Indonesiaan

Tiara menikah dengan Zulkifli. Saat pesta pernikahan itu banyak undangan yang datang, mereka duduk berderet di kursi-kursi yang disediakan. Semua perempuan di pesta pernikahan itu mengenakan jilbab. Tidak ada yang salah, tapi saya bertanya, apakah seperti itu Indonesia? Menurut saya penggambaran itu jauh dari realitas masyarakat Indonesia.

Banyak di kampung saya orang-orang yang berjuang untuk agama, tapi tidak semua anggota keluarganya mengenakan jilbab, apakah mereka akan dikesampingkan sebagai orang Islam? Sehingga realitas itu tidak boleh muncul dalam film islami ini?

Bukan hanya di kampung saya, tapi banyak disekitar kita.

Saat festival masakan Indonesia yang yang diadakan oleh mahasiswa Indonesia di mesir, yang terlihat tidak mengenakan jilbab hanya orang-orang Mesir, tapi kecuali Elina (anak dubes), semua perempuan bertampang Indonesia mengenakan jilbab.

Saya tidak dalam rangka menyuruh tidak menonton film ini, tapi merasa khawatir apabila film dakwah-film dakwah yang dibuat, menjauhkan masyarakat dari realitasnya. Selanjutnya dakwah melalui film hanya akan direspon sesaat.

Baca selengkapnya......

Sabtu, 11 April 2009

Pertolongan Sederhana di Jalan Raya


“Hakekat kehidupan bukanlah pada peristiwa-peristiwa besar, tetapi pada saat–saat keseharian” (Rosse Kennedy)

Beberapa waktu yang lalu, saat bermotor menuju tempat kerja, di underpass Pasar Senen saya mendapati seorang bapak sedang memberhentikan motornya. Saya rasa, ada masalah dengan kendaraannya. Sekadar catatan, underpass Pasar Senen itu panjangnya lumayan jauh dan kendaraan yang melewatinya sangat ramai. Jadi, mogok dan berada di tengahnya pastilah pengalaman yang jauh dari menyenangkan.

Terbersit di hati keinginan untuk menolong bapak itu. Tapi tangan saya ternyata tak kunjung bergerak mengurangi tarikan gas. Saya tetap melaju dengan kecepatan tinggi. Baru kemudian, setelah saya berlalu, ada perasaaan menyesal. "Ini kesempatan kamu berbuat baik, kenapa kamu lewatkan?", mungkin begitu bunyi batin saya mengeluh.

Saya menyesal, ingin kembali ke bapak tersebut. Tetapi kondisinya tidak memungkinkan. Jaraknya semakin jauh dan saya tidak bisa berputar karena jalan yang saya lewati satu arah. Meninggalkan motor, sesuatu yang tidak terpikir oleh saya saat itu. ”Apa gunanya belajar agama selama ini?” lagi-lagi hati nurani saya usil mengganggu.

Tapi para malaikat rupanya tidak begitu saja meninggalkan saya. Beberapa saat saya melaju, di depan saya, dari kejauhan saya melihat seseorang yang sedang membetulkan bawaan di atas motornya. Sulit betul nampaknya dia membetulkan bawaaannya, karena besar dan beratnya barang yang dia bawa. Kalau dia tidak hati-hati motornya bisa jatuh dan bisa membahayakan kendaraan lain yang lewat dengan kecepatan tinggi.

Kali ini, saya tidak ingin melewati kesempatan tersebut. Saya melambatkan laju kendaraan saya, dan kemudian berhenti di depannya. Saya hampiri orang tersebut. "Perlu bantuan, Pak?" tanya saya.

"Oh iya, tolong pegang motornya, Mas," jawab dia. Terlihat ada kegembiraan dalam raut wajahnya saat saya menghampiri dia dan menawarkan bantuan.

Tidak lebih dari lima menit saya membantu membetulkan bawaan orang tersebut sampai kemudian dia siap melaju kembali. Ucapan terima kasih yang tulus terdengar dari orang tersebut. "Terima kasih banyak, Pak" ucapnya. Sayapun melaju kembali, melanjutkan perjalanan menuju kantor.

Ada rasa bahagia dalam hati saya. Saya merasa hari itu menjadi hari yang indah, walaupun mendung tetap menggayut.

***

Hidup ini menjadi indah karena hal-hal kecil. Sekitar setahun yang lalu. Dalam suatu perjalalan pulang dari kunjungan teman, rantai motor saya copot dan terselip diantara gear dan shock breaker di sebuah jalan raya. Akibatnya, roda motor saya tidak bisa berputar dan motor saya tidak bisa bergerak bahkan hanya untuk dipindahkan ke pinggir jalan. Terpaksalah, motor itu saya angkat dengan perlahan.

Waktu menunjukkan pukul 1.30 dini hari. Saya lihat kondisi motor, satu-satunya cara agar motor itu jalan adalah dengan membuka asnya. Sialnya peralatan untuk membuka baut as tidak saya bawa. Beberapa saat saya termangu sendiri. Terpikir oleh saya untuk meminta tolong orang-orang bermotor yang lewat. Dengan harapan, mereka mungkin membawa peralatan motornya.

Di tengah malam begitu, tentu tidak banyak yang lewat. Saya harus menunggu beberapa waktu. Ada dua orang yang menggunakan motor saya berhentikan, dan dua-duanya sama-sama tidak membawa peralatan motornya. Mereka berhenti sejenak, mencoba memecahkan masalah motor saya. Saat mereka berkesimpulan tidak bisa membantu, mereka meminta maaf dan melanjutkan perjalanannya. Saya tetap berterima kasih.

Saat saya masih mengotak-ngatik motor saya, tiba-tiba dari arah berlawanan ada motor mendekat membawa dua orang berboncengan. Saat melihat saya, mereka meghentikan motor dan langsung bertanya. "Kenapa motornya Mas?”

Saya kembali menjelaskan masalah motor saya. Kedua orang asing itu juga tak membawa peralatan. Tapi, dengan baiknya salah satu di antaranya berinisiatif melaju kembali untuk menghubungi temannya.

Tak lama kemudian dia kembali, dengan membawa peralatan. Memang bukan kunci baut as yang dia bawa, tetapi sebuah kunci tang. Saya pikir, apa salahnya dicoba?

Kami bertiga kemudian mencoba mambuka baut as dengan tang tersebut. Dengan agak susah akhirnya terbuka juga, rantai terlepas. Tetapi kondisi rantainya sudah tidak mungkin bisa digunakan untuk melajukan motor. Padahal jarak tempat kejadian sampai rumah saya mungkin sekitar 4 kilometer.

Nyatanya, si manusia baik hati itu kemudian berinisiatif lagi mencarikan saya ojek untuk menarik motor saya. Sayapun akhirnya bisa pulang dengan cara motor ditarik oleh motor tukang ojek. Tak habis-habisnya saya mengucapkan terimakasih pada mereka. Kedua orang itu tidak meminta apa-apa. Mereka nampak senang saja bisa membantu saya.

Di rumah, saya merenung: apa yang akan terjadi kalau tidak ada dua orang tersebut?

Selain kejadian itu saya juga mengalami beberapa kali kempes ban. Saat saya menuntun motor banyak orang yang tidak acuh, tapi ada juga yang bertanya ada apa dengan motor saya, dan ada yang berinisiatif menunjukkan tempat tambal ban.

Tentu saya berterimakasih sekali terhadap mereka yang membantu menunjukkan lokasi tempat tambal ban. Tetapi sekadar menunjukkan perhatian saja sudah cukup membahagiakan saya. Rasanya terhibur juga di saat menghadapi kesulitan, ada orang yang bertanya. Sekadar, ”Kenapa dengan motornya, Mas?” sudah cukup membuat hati saya senang.

Tak jarang pula saya bertemu dengan mereka yang ketika tak tahu di mana tempat tambal ban, berinisiatif utuk bertanya pada orang lain yang mungkin dianggapnya puya informasi lebih baik. Itu pun membuat hati saya senang.

Mungkin karena saya pernah mengalami kejadian-kejadian itu saya merasa wajib pula membantu mereka yang menghadapi masalah di jalan raya. Tak setiap kali juga saya konsisten melakukannya. Kadang luput. Tapi sebisa mungkin saya meluangkan waktu.

Salah satu pengalaman yang paling ’berkesan’ adalah saat saya membantu mendorong mikrolet yang mogok. Masalahnya, di dalam mikrolet itu sebenarnya ada sejumlah penumpang pria tapi mereka memilih untuk tetap berada di atas mobil dan membiarkan kami mengerahkan tenaga mendorong.

Di kesempatan lain, saya pernah menunjukkan tempat tambal ban, menarik motor yang mogok kerena rantainya putus, atau sekadar membantu memuat kembali bawaan yang jatuh dari motor.

Saya bukan sedang memamerkan amal saya. Yang ingin saya katakan adalah ini: Semua bentuk pertolongan sederhana tersebut ternyata telah membuat saya berbahagia dalam kelanjutan perjalanan saya. Saya merasa ternyata saya berarti buat orang lain. Mungkin kecil, mungkin sederhana, tetapi saya merasa bahagia karena itulah yang saya bisa lakukan.

Nabi Muhammad sendiri pernah berkata: “Ketika seorang laki-laki berjalan, ia mendapati ranting berduri di jalan, maka ia menyingkirkannya lalu Allah berterima kasih dan mengampuninya.”

Saya rasa, begitulah cara Tuhan menyatakan terimakasihnya: dengan menimbulkan rasa nyaman dan tenteram dalam hati kita.

Januari 2009
Warsa Tarsono

Baca selengkapnya......

Belajar Cinta, Setia dan Menjadi Pemenang


Lance Armstrong mengerem sepedanya dan langsung turun. Lance tidak pedulikan apa pun di sekelilingnya. Dia berlari mencari ibunya yang ikut kehujanan selama tujuh jam di bangku penonton menyaksikannya. Tidak lama dia menemukannya. Mereka berdiri dan langsung berpelukan. Guyuran hujan deras masih menimpa mereka. “Kita berhasil! Kita berhasil,” seru Lance. Mereka berdua menangis bersama. Adegan itu dilakukan Lance saat dia memenangi kejuaraan dunia balap sepeda di Oslo, Norwegia.

Lantas karena kemenangannya, Lance diundang oleh Raja Harald dari Norwegia. Raja tersebut ingin memberikan selamat kepadanya. Lance dan ibunya menemui raja tersebut. Saat sampai di sebuah pintu, seorang penjaga menghentikan mereka. “Dia harus berhenti di sini,” kata utusan kerajaan, “Raja akan menemuimu sendiri.” Lance menjawab. “Aku tak akan meninggalkan ibuku di pintu,” katanya. Ia meraih tangan ibunya, lalu berbalik untuk pergi. “Ayo, kita pergi, aku tak akan pergi ke mana pun tanpa ibuku.”

Lance sangat mencintai ibunya. Adegan menghampiri ibunya tidak sekali dia lakukan. Ia melakukannya di beberapa kali kejuaraan saat menjadi pemenang. ”Ibuku telah memberiku lebih dari yang bisa diberikan guru atau sosok ayah yang pernah kumiliki, dan dia melakukannya selama bertahun-tahun yang berat, tahun-tahun yang pasti baginya sehampa tanah kosong cokelat di Texas.”

Selain itu, buat Lance Ibunya adalah sumber motivatornya. Dia selalu menanamkan keberhasilan hasil dari kerja keras. ”Jika kau tak bisa memberikan 110 persen, kau takkan berhasil,” begitu petuahnya kepada Lance.

Lance diketahui terkena kanker testis saat dia sedang menuju puncak prestasinya. Saat itu dia terobsesi untuk menjadi juara Tour de France, sebuah lomba sepeda bergengsi yang menjadi ukuran prestasi seorang pembalap sepeda. Setelah sebelumnya dia gagal meraihnya. Selain itu Lance sedang berlatih keras agar bisa memenangi Olimpiade Atalanta.

Serangan kanker tersebut meruntuhkan semangatnya. Apalagi setelah diketahui kanker yang dia derita sudah mencapai stadium lanjut. Kankernya bukan hanya menyebar, tetapi juga tumbuh dengan cepat. Bahkan telah menyerang otaknya. Keputusan dokter yang menanganinya Lance harus secepatnya menjalani operasi dan dilanjutkan dengan kemoterapi.

Tetapi Lance menyadari, tidak ada waktu buat Lance untuk meratapi penyakitnya. Dia ikuti semua saran dokter yang menanganinya. Di samping itu dia pun berusaha mencari informasi sebanyak mungkin alternatif pengobatan yang bisa membuatnya cepat sembuh. ”Aku mengalahkannya, apa pun itu,” tekad Lance.

Selama proses penyembuhan Lance selalu didampingi ibu yang sangat mencintainya. Ibunya membuatkan jadwal kemoterapi, membuat daftar obat-obat yang harus diminum dan jam berapa Lance harus meminumnya. Bagi ibunya menangani Lance bak menangani sebuah proyek. Baginya pengorganisasian dan pengetahuan akan mempermudah penyembuhan anaknya.

Selain itu ibunya sangat memahami apa yang dirasakan Lance. Akibat kemoterapi, selera makan Lance menjadi bermasalah. Tapi ibunya tetap menyiapkannya. ”Nak jika kau tak lapar dan kau tak mau makan ini, ibu tak akan sakit hati,” ibunya berkata. Tapi ucapan itu selalu membuat Lance mampu menghabiskan makanan yang disediakan ibunya.

Hubungan ibu dan anak menjadi salah satu daya pikat buku dari ini. Sejumlah peristiwa yang melibatkan Lance dan ibunya bisa membuat pembaca terharu. Kutipan pesan ibunya dan ungkapan cinta Lance menambah haru persitiwa-peristiwa yang dituturkan. Tak sadar, bisa membuat tergenang air mata.
Daya pikat lain tentu saja kegigihan Lance untuk meraih impiannya kembali. Di sinilah kita akan merasakan ketegangan. Buku ini ditulis oleh Lance Armstrong sendiri dan Sally Jenkins. Sally Jenkins adalah mantan reporter olah raga. Buku lain yang dia tulis berjudul Man Will Be Boy.

Drama ketegangan masa pemulihan dan awal kebangkitan Lance dengan baik dituturkan di sini. Kita pun bisa terbawa emosi membacanya.

Lance sudah sembuh, dia bahkan sudah berlatih untuk kembali menjadi pesepeda. Tetapi ternyata kesembuhan fisik tidak dibarengi kesembuhan mental. Mental Lance menjadi drop saat di beberapa kejuaraan dia tidak bisa menunjukkan prestasinya. Lance yang semula bermental baja, kini menjadi lemah. Bahkan berulang kali ingin menyatakan mundur sebagai atlet sepeda. Dia tidak ingat lagi kata-kata ibunya yang selalu bisa membiusnya. “Buatlah hambatan menjadi kesempatan, buatlah negatif menjadi positif.” Kesabaran manajernya yang bisa membuat Lance untuk beberapa waktu menunda pengumuman mundur sebagai pesepeda.

Di masa penundaan Lance sibuk dengan hobi barunya, bermain golf. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk itu. Sampai suatu waktu Kik, yang kelak menjadi istrinya berkata kepada Lance. “Kau harus memutuskan sesuatu. Kau harus memutuskan jika kau akan pensiun selamanya, dan menjadi pengangguran yang bermain golf, minum bir dan makan makanan Meksiko. Jika memang begitu, tak apa. Aku mencintaimu, dan tetap akan menikahimu.”

Rupanya Lance tergugah oleh sindiran kekasihnya. Walaupun bukan berarti benar-benar bisa memulihkan mental Lance. Dia tetap berkeinginan untuk pensiun. Kik dan manajernya hanya mampu membujuk Lance untuk mengikuti sebuah lomba bersepeda sebagai ajang perpisahan, setelah itu Lance akan mengumumkan pensiun. Lance berlatih, semata agar dia bugar saat mengikuti tersebut. Tapi semangatnya benar-benar pulih karena latihan itu. Lance merasakan kembali masa awal dia berlatih dan aroma lomba, kemudian memenanginya. Dan memang kemenangan yang dia raih, di lomba yang semula akan dijadikan sebagai pengumuman pensiunnya.

Lance tidak jadi mengumumkan pensiunnya, justru dia mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba-lomba sepeda lainnya. Mental Lance benar-benar pulih, dia mulai menatap Tour De France. Kejuaraan yang benar-benar dia impikan untuk dimenanginya. Kejuaraan yang menjadi simbol kekuatan dan simbol prestasi pembalap sepeda.

Lance menjuarai Tour De France, bukan hanya sekali, tujuh kali dia memenanginya. Setelah dia terkena kanker yang diprediksi akan menamatkan kariernya. Setelah dia mengalami depresi yang hampir membuatnya pensiun.

Buku ini best seller menurut The New York Time selain itu mendapat pujian dari media lain, diantaranya: Publishers Weekly, People, The Danver Post, dan San Antonio Express-News. The New York Time menulis kata singkat memuji buku ini. “Mengagumkan.”

Cinta, kesetiaan dan kegigihan sesuatu yang bisa kita ambil dari buku ini.

Baca selengkapnya......