Kamis, 06 Agustus 2009

Sepakat Untuk Tidak Sepakat

Sebuah Refleksi Pengalaman Keberagamaan dan Keberagaman di Youth Islamic Study Club (YISC) Al Azhar

Tahun 1995 adalah awal perjalanan baru untuk kehidupanku, terutama berkaitan dengan pengalaman keberagamaanku. Bermula dari keinginan untuk mencari tempat berkomunitas yang baru. Ya, komunitas keagamaan yang tidak doktriner, juga terbuka dengan aktivitas yang bukan hanya melulu agama.




Saya dibesarkan dari kampung dengan pengetahuan terbatas mengenai agama. Yang saya pahami sekitar berbuat baik dan melaksanakan ibadah-ibadah ritual, yang disebutkan dalam rukun Islam, ditambah kemampuan untuk membaca al qur'an, membaca berjanji dan menghafal sholawat. "Sa, kalau kamu dalam setiap perjalanan mendendangkan sholawat, Insya Allah kamu akan selamat", pesan ustad saya. Seputar itulah pemahaman saya tantang islam.

Kalaupun ada wacana keislaman yang saya ketahui adalah rivalitas antara NU dan Muhammadiyah, antara kunut dan tidak kunut dan antara tahlilan dan tidak tahlilan. Karena rivalitas tersebut saya pernah bersumpah kepada teman ngaji saya di mushola untuk tidak masuk sekolah muhammadiyah, karena mereka bukan sunnah wal jamaah, alasannya waktu itu.

Diluar itu, tidak saya ketahui. Tidak tahu adanya kewajiban menerapkan syariat agama, tidak tahu bahwa orang islam harus menegakkan hukum rajam. Yang saya tahu hukum rajam hanya buat orang-orang arab sana. Tidak tahu ada kewajiban mengenakan jilbab buat semua perempuan islam. Saya hanya tahu jilbab hanya untuk orang-orang pesantren, bahkan bukan buat istri-istri ustad, karena hampir semua imam musholah bahkan ustad di kampung saya tidak mengenakan jilbab. Kecuali istri ustad tersebut juga keluaran pesantren, dan itupun biasanya hanya sebatas menutupi kepalanya.

Menjadi lucu mungkin kalau perempuan-perempuan di kampung saya mengenakan jilbab (Jilbab dalam arti jilbab yang selalu diwacanakan sebagai pakaian yang serba harus longgar, menutup semuan aurat dll seperti gamis dan kerudung panjang). sementara mereka berjibaku dengan lumpur saat mereka turun ke sawah, saat menanam atau menuai padi. Atau terlihat repot saat para perempuan itu menaikkan roknya yang panjang ketika menyebrang sungai atau melewati jalan dipesawahan yang kecil, becek, dan licin. Tambah kasihan kalau mereka sambil menggendong barang bawaan mereka yang berat.

Sampai kemudian saya memasuki bangku sekolah SMA dan saya sekolah di tempat yang lebih ngota dan punya akses informasi yang lebih mudah. Kemudian sayapun berinteraksi dengan orang-orang yang pernah kuliah di kota besar, Jakarta ataupun Jogja. Selain itu sayapun mendapati bacaan-bacaan dari Majalah Sabili dan Hidayatullah.

Dari bacaan-bacaan itu dan interaksi dengan orang-orang kota tersebut saya mendapati pemahaman agama dengan cara pandang tertentu, yang mengedepankan teks-teks ayat atau hadits seperti apa adanya secara tekstual. Bahwa apa yang termaktub dalam Al Qur'an dan Hadits adalah sebagai sebuah nilai yang harus dilaksanakan sebagai orang Islam. Suatu waktu saya diajak mengikuti forum dengan orang-orang yang ingin menegakkan syariah Islam di Indonesia. Orang-orang yang ingin mendirikan negara Islam. Saya beberapa kali mengikuti forum tersebut, bahkan sampai saya di Jakarta.

Sekian waktu mengikuti forum-forum tersebut, tertanam dalam pikiran saya, bahwa orang-orang di luar sana, para pemuka dan para kyai menjadi orang-orang yang sesat, kafir kerena tidak berusaha menegakkan syariat Islam. "Orang-orang yang meneggakkan agama Allah jumlahnya selalu sedikit, seperti juga saat Nabi Muhammad memulai dakwahnya" begitu doktrinnya.

Tahap berikutnya sayapun berinteraksi dengan orang-orang yang ingin menegakkan syariah Islam, walaupun tidak terungkap ingin mendirikan negara Islam.

Sejak awal, saat saya mulai berinteraksi dengan orang-orang yang mempunyai pendekatan tertentu tersebut, saya merasa tidak nyaman dengan penghakiman-penghakiman terhadap mereka yang bukan golongannya atau jamaahnya. Dikatakan sesatlah, munafik, murtad, amal mereka seperti buih, seperti debu yang berterbangan dan lain sebagainya. Saya sering merasa terposisikan orang tua saya dalam katagori itu menjadi orang sesat atau minimal dikatagorikan jahiliyah. Dalam hati saya protes.

Waktu berjalan, perlahan saya mulai meninggalkan komuitas tersebut dan mulai mencari komunitas lainnya.

Sampai suatu saat saya melakukan perjalanan dari Pasar Senen ke Blok M. Mendekati Blok M, secara tidak sengaja saya menengok ke kiri dan terlihat di lapangan ada banyak anak-anak remaja sedang melakukan latihan silat. Kelompok lainnya sedang bermain bola, tidak jauh dari aktivitas mereka saya melihat sebuah masjid besar. Dalam hati saya, mungkin ini komunitas yang saya cari.

Berselang beberapa bulan, saya mampir ke masjid di komplek Bintaro Jaya, di madingnya menempel pengumuman penerimaan anggota baru YISC Al Azhar. Saya mencatat alamatnya, tetapi tidak mencatat nama organisasinya. Ketika mau mendaftar, saya beberapa kali muter-mutr mengelilingi Masjid Al Azhar. Sampai kemudian ada seseorang yang menunjukkan. "YISC kali, coba ke sebelah utara sana" ucap orang tersebut. Selanjutnya sayapun mendaftar, dengan uang yang setengahnya merupakan pinjaman dari adik. Saya senang waktu datang ke sekretariat melihat ada dua orang yang sedang main catur, "Ini cocok dengan keinginanku" gumamku dalam hati.

Di hari yang sudah ditentukan saya datang untuk mengikuti Maperaba. Saya kaget, bener-bener kaget, saat tahu masjid Al Azhar adalah "sarangnya" Muhammadiyah, "Mati aku, bagaimana kalau temanku tahu" ucapku dalam hati. Tapi di lain sisi saya measa senang menemukan komunitas yang mengedepankan keberagaman. Ada yang pakai jilbab, ada yang hanya sebatas kerudung bahkan ada yang sama sekali mengenakan identitas keislamannya. Saya juga menemukan keberagaman latar belakang pendidikan dan ekonomi. Ada yang datangnya pakai mobil pribadi, ada yang pakai mobil umum bahkan saya menemukan teman yang sama-sama harus "berjuang" untuk melunasi pembayaran biaya kuliah dan pendaftarannya. Selain itu saya juga menemukan beragam latar belakang keagamaan, ada dari NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya.

Minggu berikutnya saya mulai mengikuti perkuliahan dan dikagetkan dengan sebuah pertanyaan dari pengajar, Mangapa kita harus beragama? Mengapa kita harus menyembah Allah? Perdebatan panjang dimulai. Saya hanya diam mengikuti semua perdebatan tersebut. Dalam hati bergumam, ada ya pertanyaan seperti itu? Dan pengajar dengan lihai membantah argumen-argumen yang dilontarkan teman-teman sekelas yang berpendapat kita memang harus beragama dan bertuhan. Ada kehebohan, ada kegundahan, ada kegelisahan saya lihat dari ekspresi teman-teman sekelas. Sampai kemudian diakhir pengajaran, pengajar memberikan konklusi dan jawaban mengapa memang kita perlu beragama dan bertuhan. Ada kelegaan, ada kegembiraan dan ada kekaguman terhadap pengajar, kemampuan mengusai materi dan metode pengajaraannya. Tidak ada doktriner, tidak ada pemaksaan berpendapat dan tidak ada pendikriminasian terhadap orang yang berbeda paham.

Saya seperti menemukan dunia baru. Saya tertantang untuk membaca buku, saya tertantang untuk mengemukakan pendapat saya dan saya tertantang untuk membuka wawasan lebih luas lagi. Selanjutnya hampir semua kegiatan di YISC Al Azhar yang sifatnya dialog selalu saya ikuti. Ada Forum CInta Ilmu, Forum Dialog, Bedah Buku dan lain-lain. Sayapun ikut forum-forum diskusi diluar bersama para pengurus. Satu hal yang saya temukan dari para pengurus YISC waktu itu, kemanapun mereka pergi, mereka selalu membawa buku. Saat sendirian di sekretariat mereka membaca buku, saat berdua atau lebih mereka terlihat sedang berdiskusi atau bahkan berdebat seru. Tetapi saat berikutnya mereka akan tertawa haha hihi seolah tidak pernah ada perbedaan.

Saya pernah mendapati suatu perdebatan begitu seru, sampai-sampai kedua orang yang sedang berdebat itu sama-sama ambil Al Qur'an dan sama-sama menunjukkan ayat rujukannya untuk memperkuat pendapat mereka masing-masing. Sesaat berikutnya mereka bersantai menuju ketempat minum, sambil tertawa-tawa.

Sebuah keindahan tersendiri. Mereka saling berdebat, berargumen, ngotot mempertahan kan pendapatnya tetapi tidak pernah melakukan penghakiman, seperti kamu kafir, kamu sesat, kamu liberal, kamu agen barat, kamu agen zionis, kamu tradisoinalis dan lain-lainnya.

Saya menikmati keindahan interaksi itu selama 8 tahun beraktifitas, sejak masuk YISC tahun 1995. Ada sebuah kultur yang terbangun di sana bahwa berbeda itu biasa, berbeda itu rahmat. Kesepakatan tidak tertulis yang selalu kami pegang adalah SEPAKAT UNTUK TIDAK SEPAKAT.

Memasuki tahun 2004, saya mulai merasakan sesuatu yang lain. Ketika berbeda dianggap sebuah pengingkaran, ketika berbeda itu disebut liberal, ketika berpikir rasional itu disebut sekuler, ketika pluralism itu menjadi sesat. Satu paket disebutnya menjadi SEPILIS. Selalu dihubungkan merupakan bagian dari Jaringan Islam Liberal (JIL) yang berarti 'sesat', yang berarti 'murtad'.

Sayapun mengambil jarak dengan itu.

Salam,

Warsa Tarsono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar