Sabtu, 11 April 2009

Pertolongan Sederhana di Jalan Raya


“Hakekat kehidupan bukanlah pada peristiwa-peristiwa besar, tetapi pada saat–saat keseharian” (Rosse Kennedy)

Beberapa waktu yang lalu, saat bermotor menuju tempat kerja, di underpass Pasar Senen saya mendapati seorang bapak sedang memberhentikan motornya. Saya rasa, ada masalah dengan kendaraannya. Sekadar catatan, underpass Pasar Senen itu panjangnya lumayan jauh dan kendaraan yang melewatinya sangat ramai. Jadi, mogok dan berada di tengahnya pastilah pengalaman yang jauh dari menyenangkan.

Terbersit di hati keinginan untuk menolong bapak itu. Tapi tangan saya ternyata tak kunjung bergerak mengurangi tarikan gas. Saya tetap melaju dengan kecepatan tinggi. Baru kemudian, setelah saya berlalu, ada perasaaan menyesal. "Ini kesempatan kamu berbuat baik, kenapa kamu lewatkan?", mungkin begitu bunyi batin saya mengeluh.

Saya menyesal, ingin kembali ke bapak tersebut. Tetapi kondisinya tidak memungkinkan. Jaraknya semakin jauh dan saya tidak bisa berputar karena jalan yang saya lewati satu arah. Meninggalkan motor, sesuatu yang tidak terpikir oleh saya saat itu. ”Apa gunanya belajar agama selama ini?” lagi-lagi hati nurani saya usil mengganggu.

Tapi para malaikat rupanya tidak begitu saja meninggalkan saya. Beberapa saat saya melaju, di depan saya, dari kejauhan saya melihat seseorang yang sedang membetulkan bawaan di atas motornya. Sulit betul nampaknya dia membetulkan bawaaannya, karena besar dan beratnya barang yang dia bawa. Kalau dia tidak hati-hati motornya bisa jatuh dan bisa membahayakan kendaraan lain yang lewat dengan kecepatan tinggi.

Kali ini, saya tidak ingin melewati kesempatan tersebut. Saya melambatkan laju kendaraan saya, dan kemudian berhenti di depannya. Saya hampiri orang tersebut. "Perlu bantuan, Pak?" tanya saya.

"Oh iya, tolong pegang motornya, Mas," jawab dia. Terlihat ada kegembiraan dalam raut wajahnya saat saya menghampiri dia dan menawarkan bantuan.

Tidak lebih dari lima menit saya membantu membetulkan bawaan orang tersebut sampai kemudian dia siap melaju kembali. Ucapan terima kasih yang tulus terdengar dari orang tersebut. "Terima kasih banyak, Pak" ucapnya. Sayapun melaju kembali, melanjutkan perjalanan menuju kantor.

Ada rasa bahagia dalam hati saya. Saya merasa hari itu menjadi hari yang indah, walaupun mendung tetap menggayut.

***

Hidup ini menjadi indah karena hal-hal kecil. Sekitar setahun yang lalu. Dalam suatu perjalalan pulang dari kunjungan teman, rantai motor saya copot dan terselip diantara gear dan shock breaker di sebuah jalan raya. Akibatnya, roda motor saya tidak bisa berputar dan motor saya tidak bisa bergerak bahkan hanya untuk dipindahkan ke pinggir jalan. Terpaksalah, motor itu saya angkat dengan perlahan.

Waktu menunjukkan pukul 1.30 dini hari. Saya lihat kondisi motor, satu-satunya cara agar motor itu jalan adalah dengan membuka asnya. Sialnya peralatan untuk membuka baut as tidak saya bawa. Beberapa saat saya termangu sendiri. Terpikir oleh saya untuk meminta tolong orang-orang bermotor yang lewat. Dengan harapan, mereka mungkin membawa peralatan motornya.

Di tengah malam begitu, tentu tidak banyak yang lewat. Saya harus menunggu beberapa waktu. Ada dua orang yang menggunakan motor saya berhentikan, dan dua-duanya sama-sama tidak membawa peralatan motornya. Mereka berhenti sejenak, mencoba memecahkan masalah motor saya. Saat mereka berkesimpulan tidak bisa membantu, mereka meminta maaf dan melanjutkan perjalanannya. Saya tetap berterima kasih.

Saat saya masih mengotak-ngatik motor saya, tiba-tiba dari arah berlawanan ada motor mendekat membawa dua orang berboncengan. Saat melihat saya, mereka meghentikan motor dan langsung bertanya. "Kenapa motornya Mas?”

Saya kembali menjelaskan masalah motor saya. Kedua orang asing itu juga tak membawa peralatan. Tapi, dengan baiknya salah satu di antaranya berinisiatif melaju kembali untuk menghubungi temannya.

Tak lama kemudian dia kembali, dengan membawa peralatan. Memang bukan kunci baut as yang dia bawa, tetapi sebuah kunci tang. Saya pikir, apa salahnya dicoba?

Kami bertiga kemudian mencoba mambuka baut as dengan tang tersebut. Dengan agak susah akhirnya terbuka juga, rantai terlepas. Tetapi kondisi rantainya sudah tidak mungkin bisa digunakan untuk melajukan motor. Padahal jarak tempat kejadian sampai rumah saya mungkin sekitar 4 kilometer.

Nyatanya, si manusia baik hati itu kemudian berinisiatif lagi mencarikan saya ojek untuk menarik motor saya. Sayapun akhirnya bisa pulang dengan cara motor ditarik oleh motor tukang ojek. Tak habis-habisnya saya mengucapkan terimakasih pada mereka. Kedua orang itu tidak meminta apa-apa. Mereka nampak senang saja bisa membantu saya.

Di rumah, saya merenung: apa yang akan terjadi kalau tidak ada dua orang tersebut?

Selain kejadian itu saya juga mengalami beberapa kali kempes ban. Saat saya menuntun motor banyak orang yang tidak acuh, tapi ada juga yang bertanya ada apa dengan motor saya, dan ada yang berinisiatif menunjukkan tempat tambal ban.

Tentu saya berterimakasih sekali terhadap mereka yang membantu menunjukkan lokasi tempat tambal ban. Tetapi sekadar menunjukkan perhatian saja sudah cukup membahagiakan saya. Rasanya terhibur juga di saat menghadapi kesulitan, ada orang yang bertanya. Sekadar, ”Kenapa dengan motornya, Mas?” sudah cukup membuat hati saya senang.

Tak jarang pula saya bertemu dengan mereka yang ketika tak tahu di mana tempat tambal ban, berinisiatif utuk bertanya pada orang lain yang mungkin dianggapnya puya informasi lebih baik. Itu pun membuat hati saya senang.

Mungkin karena saya pernah mengalami kejadian-kejadian itu saya merasa wajib pula membantu mereka yang menghadapi masalah di jalan raya. Tak setiap kali juga saya konsisten melakukannya. Kadang luput. Tapi sebisa mungkin saya meluangkan waktu.

Salah satu pengalaman yang paling ’berkesan’ adalah saat saya membantu mendorong mikrolet yang mogok. Masalahnya, di dalam mikrolet itu sebenarnya ada sejumlah penumpang pria tapi mereka memilih untuk tetap berada di atas mobil dan membiarkan kami mengerahkan tenaga mendorong.

Di kesempatan lain, saya pernah menunjukkan tempat tambal ban, menarik motor yang mogok kerena rantainya putus, atau sekadar membantu memuat kembali bawaan yang jatuh dari motor.

Saya bukan sedang memamerkan amal saya. Yang ingin saya katakan adalah ini: Semua bentuk pertolongan sederhana tersebut ternyata telah membuat saya berbahagia dalam kelanjutan perjalanan saya. Saya merasa ternyata saya berarti buat orang lain. Mungkin kecil, mungkin sederhana, tetapi saya merasa bahagia karena itulah yang saya bisa lakukan.

Nabi Muhammad sendiri pernah berkata: “Ketika seorang laki-laki berjalan, ia mendapati ranting berduri di jalan, maka ia menyingkirkannya lalu Allah berterima kasih dan mengampuninya.”

Saya rasa, begitulah cara Tuhan menyatakan terimakasihnya: dengan menimbulkan rasa nyaman dan tenteram dalam hati kita.

Januari 2009
Warsa Tarsono

Baca selengkapnya......

Belajar Cinta, Setia dan Menjadi Pemenang


Lance Armstrong mengerem sepedanya dan langsung turun. Lance tidak pedulikan apa pun di sekelilingnya. Dia berlari mencari ibunya yang ikut kehujanan selama tujuh jam di bangku penonton menyaksikannya. Tidak lama dia menemukannya. Mereka berdiri dan langsung berpelukan. Guyuran hujan deras masih menimpa mereka. “Kita berhasil! Kita berhasil,” seru Lance. Mereka berdua menangis bersama. Adegan itu dilakukan Lance saat dia memenangi kejuaraan dunia balap sepeda di Oslo, Norwegia.

Lantas karena kemenangannya, Lance diundang oleh Raja Harald dari Norwegia. Raja tersebut ingin memberikan selamat kepadanya. Lance dan ibunya menemui raja tersebut. Saat sampai di sebuah pintu, seorang penjaga menghentikan mereka. “Dia harus berhenti di sini,” kata utusan kerajaan, “Raja akan menemuimu sendiri.” Lance menjawab. “Aku tak akan meninggalkan ibuku di pintu,” katanya. Ia meraih tangan ibunya, lalu berbalik untuk pergi. “Ayo, kita pergi, aku tak akan pergi ke mana pun tanpa ibuku.”

Lance sangat mencintai ibunya. Adegan menghampiri ibunya tidak sekali dia lakukan. Ia melakukannya di beberapa kali kejuaraan saat menjadi pemenang. ”Ibuku telah memberiku lebih dari yang bisa diberikan guru atau sosok ayah yang pernah kumiliki, dan dia melakukannya selama bertahun-tahun yang berat, tahun-tahun yang pasti baginya sehampa tanah kosong cokelat di Texas.”

Selain itu, buat Lance Ibunya adalah sumber motivatornya. Dia selalu menanamkan keberhasilan hasil dari kerja keras. ”Jika kau tak bisa memberikan 110 persen, kau takkan berhasil,” begitu petuahnya kepada Lance.

Lance diketahui terkena kanker testis saat dia sedang menuju puncak prestasinya. Saat itu dia terobsesi untuk menjadi juara Tour de France, sebuah lomba sepeda bergengsi yang menjadi ukuran prestasi seorang pembalap sepeda. Setelah sebelumnya dia gagal meraihnya. Selain itu Lance sedang berlatih keras agar bisa memenangi Olimpiade Atalanta.

Serangan kanker tersebut meruntuhkan semangatnya. Apalagi setelah diketahui kanker yang dia derita sudah mencapai stadium lanjut. Kankernya bukan hanya menyebar, tetapi juga tumbuh dengan cepat. Bahkan telah menyerang otaknya. Keputusan dokter yang menanganinya Lance harus secepatnya menjalani operasi dan dilanjutkan dengan kemoterapi.

Tetapi Lance menyadari, tidak ada waktu buat Lance untuk meratapi penyakitnya. Dia ikuti semua saran dokter yang menanganinya. Di samping itu dia pun berusaha mencari informasi sebanyak mungkin alternatif pengobatan yang bisa membuatnya cepat sembuh. ”Aku mengalahkannya, apa pun itu,” tekad Lance.

Selama proses penyembuhan Lance selalu didampingi ibu yang sangat mencintainya. Ibunya membuatkan jadwal kemoterapi, membuat daftar obat-obat yang harus diminum dan jam berapa Lance harus meminumnya. Bagi ibunya menangani Lance bak menangani sebuah proyek. Baginya pengorganisasian dan pengetahuan akan mempermudah penyembuhan anaknya.

Selain itu ibunya sangat memahami apa yang dirasakan Lance. Akibat kemoterapi, selera makan Lance menjadi bermasalah. Tapi ibunya tetap menyiapkannya. ”Nak jika kau tak lapar dan kau tak mau makan ini, ibu tak akan sakit hati,” ibunya berkata. Tapi ucapan itu selalu membuat Lance mampu menghabiskan makanan yang disediakan ibunya.

Hubungan ibu dan anak menjadi salah satu daya pikat buku dari ini. Sejumlah peristiwa yang melibatkan Lance dan ibunya bisa membuat pembaca terharu. Kutipan pesan ibunya dan ungkapan cinta Lance menambah haru persitiwa-peristiwa yang dituturkan. Tak sadar, bisa membuat tergenang air mata.
Daya pikat lain tentu saja kegigihan Lance untuk meraih impiannya kembali. Di sinilah kita akan merasakan ketegangan. Buku ini ditulis oleh Lance Armstrong sendiri dan Sally Jenkins. Sally Jenkins adalah mantan reporter olah raga. Buku lain yang dia tulis berjudul Man Will Be Boy.

Drama ketegangan masa pemulihan dan awal kebangkitan Lance dengan baik dituturkan di sini. Kita pun bisa terbawa emosi membacanya.

Lance sudah sembuh, dia bahkan sudah berlatih untuk kembali menjadi pesepeda. Tetapi ternyata kesembuhan fisik tidak dibarengi kesembuhan mental. Mental Lance menjadi drop saat di beberapa kejuaraan dia tidak bisa menunjukkan prestasinya. Lance yang semula bermental baja, kini menjadi lemah. Bahkan berulang kali ingin menyatakan mundur sebagai atlet sepeda. Dia tidak ingat lagi kata-kata ibunya yang selalu bisa membiusnya. “Buatlah hambatan menjadi kesempatan, buatlah negatif menjadi positif.” Kesabaran manajernya yang bisa membuat Lance untuk beberapa waktu menunda pengumuman mundur sebagai pesepeda.

Di masa penundaan Lance sibuk dengan hobi barunya, bermain golf. Hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk itu. Sampai suatu waktu Kik, yang kelak menjadi istrinya berkata kepada Lance. “Kau harus memutuskan sesuatu. Kau harus memutuskan jika kau akan pensiun selamanya, dan menjadi pengangguran yang bermain golf, minum bir dan makan makanan Meksiko. Jika memang begitu, tak apa. Aku mencintaimu, dan tetap akan menikahimu.”

Rupanya Lance tergugah oleh sindiran kekasihnya. Walaupun bukan berarti benar-benar bisa memulihkan mental Lance. Dia tetap berkeinginan untuk pensiun. Kik dan manajernya hanya mampu membujuk Lance untuk mengikuti sebuah lomba bersepeda sebagai ajang perpisahan, setelah itu Lance akan mengumumkan pensiun. Lance berlatih, semata agar dia bugar saat mengikuti tersebut. Tapi semangatnya benar-benar pulih karena latihan itu. Lance merasakan kembali masa awal dia berlatih dan aroma lomba, kemudian memenanginya. Dan memang kemenangan yang dia raih, di lomba yang semula akan dijadikan sebagai pengumuman pensiunnya.

Lance tidak jadi mengumumkan pensiunnya, justru dia mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba-lomba sepeda lainnya. Mental Lance benar-benar pulih, dia mulai menatap Tour De France. Kejuaraan yang benar-benar dia impikan untuk dimenanginya. Kejuaraan yang menjadi simbol kekuatan dan simbol prestasi pembalap sepeda.

Lance menjuarai Tour De France, bukan hanya sekali, tujuh kali dia memenanginya. Setelah dia terkena kanker yang diprediksi akan menamatkan kariernya. Setelah dia mengalami depresi yang hampir membuatnya pensiun.

Buku ini best seller menurut The New York Time selain itu mendapat pujian dari media lain, diantaranya: Publishers Weekly, People, The Danver Post, dan San Antonio Express-News. The New York Time menulis kata singkat memuji buku ini. “Mengagumkan.”

Cinta, kesetiaan dan kegigihan sesuatu yang bisa kita ambil dari buku ini.

Baca selengkapnya......