Kamis, 23 Juli 2009

Siswandi: Anak Nelayan yang Peduli Nasib Anak Jalanan


Siswandi berhasil memberdayakan anak-anak jalanan dan kaum miskin di Plumpang. Pemerintah sering sinis, tak sadar cerdasnya anak-anak jalanan.

Gema takbir berkumandang. Ada perasaan trenyuh dalam hati Siswandi saat mendengarnya. Terbayang orang tua di kampungnya, ada perasaan rindu kepada mereka. Ingin sekali dia pulang kampung sebagaimana orang-orang kebanyakan. Tapi kerinduan itu dia kesampingkan. Siswandi menganggap ada yang lebih penting dari sekadar melampiaskan kerinduan kepada kampung halaman atau orang tuanya. Siswandi lebih memilih mendampingi anak-anak jalanan yang selama ini dia bina.

”Saya memilih menjadi pengganti orang tua anak-anak itu,” ujarnya lirih. Siswandi adalah seorang pegiat sosial yang peduli terhadap nasib anak-anak jalanan. Ia mulai menangani anak-anak jalanan sejak 1993.

Tidak sekali itu saja Siswandi melakukannya. Pada lebaran-lebaran berikutnya, Siswandi sering melakukannya. Pada suatu malam lebaran, Siswandi dibuat trenyuh oleh pertanyaan dari salah satu anak binaannya. ”Kak, kapan ya kita punya rumah sendiri?”

Siswandi terdiam mendapat pertanyaan tersebut. Dalam diamnya, Siswandi berdoa kepada Tuhan untuk mengabulkan keinginan anak tersebut. Sebuah keajaiban terjadi, beberapa hari kemudian ia ditelepon oleh seorang temannya yang mau mendonasikan uang untuk mengontrak rumah bagi anak-anak jalanan binaannya. ”Ini menambah keyakinan saya, kalau kita beritikad baik,Allah akan menolong kita,” ucapnya.

Siswandi bukanlah seorang yang berasal dari keluarga mampu. Dia terlahir di Lamongan dari keluarga sederhana. Ibunya seorang pedagang kecil, sedang bapaknya seorang nelayan. Sebuah prestasi bagi keluarga tersebut saat dua anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan di Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tapi karena ketidakmampuan keluarga tersebut, anak terakhir dari keluarga tersebut hanya sekolah sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Buat Siswandi, ibu dan bapaknya adalah teladannya. Menurutnya, kedua orang tuanya memunyai tingkat survival yang sangat tinggi. ”Ibu saya setiap pagi jualan nasi, siangnya jualan rujak, dan malam hari jualan kue-kue kering. Tidak pernah berhenti. Sementara saat bapak saya datang membawa ikan-ikan tangkapan, ibu saya membelah ikan-ikan itu. Luar biasa semangat untuk menghidupi anak-anaknya. Bagi saya, dia ibu yang luar biasa, dahsyat,” lanjutnya.

Saat lulus SMA Siswandi ingin melanjutkan ke perguruan tinggi, tapi karena orang tuanya tidak mampu membiayai, Siswandi mengurungkan niatnya. Di daerah asalnya, Siswandi melamar pekerjaan dan akhirnya dia diterima bekerja di sebuah studio foto. Siswandi senang bekerja di studio foto tersebut.

Selama bekerja di studio foto tersebut Siswandi merasa mendapat pelajaran hidup tentang kemandirian. ”Tanpa saya sadari, itu merupakan salah satu proses hidup yang akhir-akhir ini saya lihat sangat bermanfaat,” ujarnya.

Keinginan kuliah Siswandi demikian besar, karena itu Siswandi memutuskan keluar kerja dan merantau ke Jakarta. ”Pada 1993, saya ke Yakarta. Tanggal 23 Juli, saya masih ingat,” lanjutnya.

Di Jakarta, Siswandi kuliah di lembaga dakwah Al Qalam. Sambil kuliah, ia bekerja di lembaga tersebut. Selain itu Siswandi juga mengajar les privat.

Siswandi tinggal di Jatibaru, berdekatan dengan rel kereta. Setiap ia pulang kuliah atau mengajar privat, ia mendapati anak-anak di sekitar rumah kontrakannya tidak ada yang memberikan pembinaan keagamaan. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak pemulung, tukang sampah, anak-anak pengasong, penyemir sepatu, dan lain-lain.

Siswandi tergerak untuk mengajar mengaji anak-anak tersebut. Kemudian dia mengumpulkan anak-anak itu.

”Saya ajak anak-anak tetangga kontrakan saya, sekitar 5-6 anak terkumpul, tapi setelah berjalan beberapa lama, 50 anak, bahkan lebih, ikut belajar ngaji bersama saya. Kegiatan yang kami adakan adalah belajar membaca Al Quran, belajar tentang agama dan nasyid,” jelasnya.

Pada 1997 Siswandi pindah tempat tinggal, dan meninggalkan anak-anak binaannya.

Krisis Ekonomi Menambah Anak Jalanan
Krisis ekonomi Indonesia yang dimulai 1997, mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyat kecil. Di jalanan semakin banyak ditemui para pengemis dan pengamen, baik orang tua maupun anak-anak. Kondisi tersebut menggugah rasa kemanusiaan Siswandi.

Ia tergerak untuk membantu mereka. Bersama teman-temannya dari Himpunan Mahasiwa Muslim Antar Kampus (HAMMAS), ia mengumpulkan anak-anak jalanan. Mereka mengontrak rumah di Cipinang Campedak, di belakang Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Nusantara, sebagai tempat singgah anak-anak jalanan. Ada sekitar 15 anak yang dibina oleh Siswandi dan teman-temannya.

Tapi beberapa bulan berjalan, terjadi perbedaan visi antara Siswandi dan beberapa temannya. Hal ini membuat Siswandi diusir oleh teman-teman yang lainnya. Situasi tersebut terasa menyakitkan buat Siswandi.

”Semula saya ingin pulang ke kampung karena kesulitan-kesulitan itu, tapi kemudian saya urungkan,” jelasnya. ”Ada miskomunikasi, saya dianggap membuat keputusan di luar musyawarah. Padahal tujuan saya improvisasi. Dalam hidup ini kan perlu improvisasi,” jelasnya menerangkan penyebab perpecahan dia dan teman-temannya.

Siswandi kemudian mengontrak rumah lain dan membawa beberapa anak jalanan yang setia kepadanya.

Mendirikan HIMMATA
Sesudah perpecahan itu, Siswandi tetap melanjutkan kepeduliannya terhadap anak-anak jalanan. Siswandi dan istrinya, Nurida, bertemu dengan AM. Muthada dan Sarkono. Pertemuan berlanjut pada kesepakatan untuk membuat lembaga yang akan melakukan pembinaan terhadap anak-anak jalanan. Pada Agustus 2000, dibentuklah Himmata.

Mereka mengontrak rumah di daerah Plumpang, dengan modal uang pinjaman. Rumah tersebut dijadikan sebagai base camp aktivitas dan tempat tinggal dan tempat singgah anak-anak jalanan. Tidak ada peralatan masak yang mereka miliki, demikian juga alas untuk tidur, hanya beberapa tikar. Pakaian mereka disimpan di kardus, karena mereka tidak memunyai lemari pakaian.

Siswandi saat itu tidak bekerja, sementara kebutuhan makan anak-anak jalanan yang mereka bina juga menjadi tanggungjawabnya. Untuk itu ia berusaha mendapatkan pinjaman. Siswandi sedih saat ia tidak mendapatkan pinjaman itu, tapi Siswandi sekali lagi tidak menyerah. Dia yakin itikad baik akan mendapat pertolongan dari Allah.

Perjalanan berat ia lalui selama setahun. Setelah itu, semakin banyak orang yang bersedia menjadi donatur untuk Himmata. Walaupun kemudian, dia mendapat ujian lain. Rumah yang selama ini dikontrak untuk aktivitas Himmata akan dijual oleh pemiliknya, dengan harga 300 juta. Pilihannya, mereka beli rumah itu atau pindah ke tempat lain.

Karena tidak punya dana, akhirnya mereka mengontrak rumah di tempat lain, tidak jauh dari rumah lama.

Pada Ramadhan 2001, anak-anak binaan Himmata mulai mendapat undangan untuk tampil mengisi acara buka puasa. Sejak saat itu, Himmata mulai dikenal oleh banyak orang. Taman Pendidikan Al Quran (TPA) yang mereka kelola semakin bertambah muridnya, bukan saja anak-anak jalanan tapi juga anak-anak dari masyarakat di sekitar sekretariat Himmata.

Pada 2005, Himmata kembali ke rumah lama, bahkan dengan bangunan yang lebih baik. Himmata mampu membeli rumah lama yang dari awal memang mau dijual, dengan harga yang lebih murah, 150 juta. Setelah dibeli, rumah itu kemudian direnovasi.

Selain itu, dalam waktu yang tidak lama Himmata mulai membangun gubug-gubug yang selama ini menjadi sekolah mereka, dengan bangunan yang lebih baik dan permanen. ”Sebelum dibangun, sekolah Himmata lebih jelek dari sekolah anak-anak Laskar Pelangi,” jelas Siswandi.

Anak Jalanan Anak Cerdas
Menangani anak-anak jalanan tidaklah mudah, terutama karena mobilitas mereka dan uang yang mereka dapatkan dari mengamen atau meminta-minta. Sementara, tinggal berada di rumah singgah, khususnya di Himmata, mereka tidak akan mendapatkan itu. Karenanya Siswandi sering mendapati anak-anak yang keluar masuk ke rumah singgahnya. Bahkan Siswandi sering mendapati anak-anak yang terlihat sudah menikmati berada di Himmata, dan sudah ikut sekolah, tiba-tiba menghilang, dan kembali ke jalanan.

Untuk mengurangi keluar masuknya anak-anak jalanan dari rumah singgahnya, Siswandi secara berkala mengadakan training. ”Kami coba ubah pola pikirnya, bahwa kalau mereka ingin mengubah hidupnya, jalanan bukan tempatnya,” ujar Siswandi.

Setelah hampir sepuluh tahun Himmata berdiri, saat ini Himmata tidak hanya mengkhususkan pembinaan kepada anak-anak jalanan, tapi juga anak-anak yang berasal dari keluarga tidak mampu di sekitar Plumpang, Jakarta Utara. Salah satu program yanng cukup berhasil diselenggarakan adalah sekolah non formal kejar Paket A, B dan C. Saat ini, muridnya mencapai 600 anak lebih.

Untuk program anak-anak jalanan, selain memfasilitasi tempat tinggal, sandang, pangan dan papan, Himmata memberikan pendidikan baik formal maupun nonformal. Untuk mengisi waktu luang agar anak-anak tidak kembali ke jalanan, Himmata melengkapi dengan pendidikan seni musik dan kreatifitas. Hal ini dimaksudkan untuk menyalurkan bakat kesenian dan kreatifitas anak-anak. Dalam pandangan Siswandi, seni adalah jembatan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak.

Program seni musik yang diadakan: pelatihan olah vokal, teknik bermain musik, biola, perkusi, angklung, bahkan membentuk group band Himmata. Saat ini, anak-anak binaan Himmata sering diminta mengisi acara, terutama saat bulan ramadhan. Sesekali, mereka juga mengadakan pentas dengan melakukan kerjasama dengan lembaga lain. Beberapa kali pestival sudah diadakan, termasuk pentas berkolaborasi dengan penyanyi terkenal Ita Purnamasari, dan lain-lain.

Langkah Siswandi saat ini semakin ringan, walaupun itu tidak membuat Siswandi merasa sah untuk mengendorkan tenaganya. Siswandi merasa tugasnya belum selesai, karena masih banyak orang yang memandang sinis anak-anak jalanan, bahkan pemerintah yang seharusnya melindungi. ”Mereka hanya tidak tahu, bahwa sebenarnya anak-anak ini, adalah anak-anak cerdas,” ucapnya lirih. *** (Warsa Tarsono)

Baca selengkapnya......