Selasa, 02 November 2010

Pengamen dan Simpati Masyarakat

Beberapa waktu lalu Indonesian Idol sebuah ajang pencarian bakat menyanyi yang diadakan oleh stasiun televisi RCTI memenangkan Aries, seorang pengamen jalanan. Di samping mempunyai suara yang bagus, simpati penonton juga terbangun oleh latar belakang dia sebagai pengemen yang ingin mengubah hidupnya.

Belum lama ini kembali kita menyaksikan sebuah kelompok pengemen jalanan memenangkan kontes Indonesia Mencari Bakat, ajang pencarian bakat yang diadakan oleh Trans TV. Klantink kelompok pengamen tersebut. Kembali orang menduga salah satu dukungan mengalir kepada kelompok tersebut karena simpati terhadap latar belakang mereka sebagai pengamen.

Sebagian orang menganggap kemenangan tersebut bukan karena talenta, tapi karena simpati terhadap nasib mereka, sehingga sebagian menganggap ajang-ajang tersebut bukan ajang pencarian bakat, tapi belas kasihan orang. Seorang Facebookers memplesetkan Indonesia Mencari Bakat menjadi Indonesia Mencari Belaskasihan.

Buat saya kemenangan-kemenangan yang diraih oleh orang-orang dengan latar belakang pengamen tersebut disambut dengan positif. Ada beberapa alasan, pertama, saya sedari awal menganggap ajang-ajang tersebut bukan sebagai ajang yang sempurna sebagai ajang pencarian bakat, lebih sebagai show. Walaupun begitu saya suka dengan acara tersebut. Selagi waktu luang saya sering menontonnya. Kedua, ajang tersebut bisa menjadi alternatif sebagai jalan mengubah hidup seseorang, terutama orang-orang dari kelas bawah yang jarang menemukan kesempatan.

Alasan lain saya menyambut gembira kemenangan-kemenangan tersebut adalah karena kemenangan itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai keperdulian yang besar terhadap orang-orang bawah. Hal ini menjadi modal besar untuk membangun masyarakat bawah. Tinggal bagaimana pegiat-pegiat sosial mengemas program pemberdayaan bagi orang-orang bawah tersebut.

Mari kita wujudkan!

Baca selengkapnya......

Senin, 01 November 2010

Anak Jalanan dan Keperdulian Kita

Sengatan panas sinar matahari yang membakar kulit tidak mereka perdulikan. Saat lampu lalu lintas berwarna merah mereka segera saja menghampiri mobil-mobil yang berhenti. Dengan modal tepukan tangan, kecrekan atau gitar yang sering kali sudah usang, mulai bernyanyi. Lambaian tangan dari orang yang berada di dalam mobil, yang menandakan menolak memberikan uang sering mereka terima. Tapi itu tak menyurutkan mereka. Mereka pindah ke mobil lain, pindah lagi ke mobil lain, sampai kemudian lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, mereka berjalan ke pinggir jalan.

Sebagian anak-anak menghitung uang yang mereka peroleh, sebagian yang lain hanya menarohnya di kantong. Setelah itu mereka kembali menunggu lampu menjadi merah. Sambil menunggu, mereka mengobrol, sesekali mereka terlihat tertawa. Pemandangan tersebut sering kita saksikan di banyak lokasi lampu lintas di Jakarta.

Anak-anak seperti mereka sering kita lihat juga di kendaraan umum, memainkan alat musik seadanya dan bernyanyi. Mereka kadang sendiri, kadang berdua dan kadang lebih dari dua anak. Mereka adalah anak-anak jalanan yang mencari uang dengan berharap kepada orang-orang yang murah hati memberikan uang recehnya. Uang-uang receh tersebut menjadi modal bagi hidup mereka, baik untuk makan, beli pakaian ataupun biaya sekolah.

Anak Jalanan, Sebab dan Persoalannya

Hidup menjadi anak jalanan bukanlah pilihan mereka, melainkan keterpaksaan yang harus mereka terima karena beberapa sebab. Tidak semua disebabkan karena kemiskinan, sebagian dikarenakan pergaulan, pelarian, tekanan orang tua, atau ada juga atas pilihannya sendiri. Walaupun sebagian besar tentu karena kemiskinan.

Apapun sebabnya, persoalan anak jalanan harus segera diselesaikan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Karena membiarkan anak-anak jalanan, selain akan berpotansi merusak kehidupan mereka sendiri, juga bisa menjadi ancaman buat masyarakat umum.

Anak-anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan nilai-nilai jalanan. Kekerasan dan penganiayaan sering mereka saksikan dan rasakan. Karena kondisi seperti itu terus-menerus mereka dihadapi dalam perjalanan hidupnya, maka pelajaran itulah yang melekat dalam diri anak jalanan dan membentuk kepribadian mereka. Ketika mereka dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah berperan serta menjadikan anak-anak jalanan sebagai korban tak berkesudahan.

Rindu Purnama, Upaya Membangun Kesadaran Masyarakat

Seperti anak-anak pada umumnya, anak-anak jalanan juga memiliki potensi dan bakat menjadi orang-orang berprestasi. Tidak sedikit anak-anak jalanan yang masih sekolah. Mereka berada di jalanan sesudah atau sebelum sekolah. Pada dasarnya mereka ingin mengubah hdupnya, atau ingin hidup sebagaimana orang lain.

Membiarkan mereka berjuang sendiri membangun dirinya, tentu sama saja dengan membiarkan mereka tetap di jalanan. Oleh karenanya itu, diperlukan keterlibatan dari masyarakat umum untuk membantu mereka. Beberapa kalangan sudah melakukan bantuan terhadap mereka, dengan mendirikan rumah singgah. Diantaranya adalah Yayasan Himmata di Semper Tanjung Priok dan Sanggar Akar di Jl. Kalimalang Bekasi, juga beberapa lembaga lainnya. Di rumah singgah tersebut anak-anak jalanan mendapat pembinaan juga diberikan keterampilan.

Terinspirasi untuk membantu anak-anak jalanan, Mizan Productions sedang memproduksi film yang berlatar belakang cerita anak-anak jalanan berjudul Rindu Purnama. Diharapkan penonton film tersebut akan tergerak untuk membantu anak-anak jalanan. Keterlibatan banyak kalangan membantu anak-anak jalanan, diharapkan akan memutus korban tak berkesudahan anak-anak jalanan.

Semoga.

Baca selengkapnya......

Jumat, 26 Februari 2010

Musala di Margo City


Hari ini (Sabtu, 26/2/10) saya janjian ketemu dengan Endah, Nanin, Faisal dan Risma di Margo City, sebuah Mal mewah di kawasan Depok. Sekedar untuk sharing pengalaman. "Sekalian belanja di Giant," alasan Endah waktu mengusulkan pindah dari Point Square di Lebak Bulus. Di samping karena teman yang tinggal di Ciputat membatalkan untuk ketemu, karena harus ke Jogja.

Dibanding dengan mal lainnya di Depok, Margo City merupakan mal paling mewah. Kalau melihat Margo City di malam hari dan dari jarak jauh, kilauan cahaya putih terpancar dari 'menara' yang merupakan barisan besi, menghiasi dan menjadi pemandangan yang indah.

Memasuki mal tersebut langsung kita akan terasa kemewahan mal tersebut. Berbagai barang dagangan mahal akan terlihat dipajang di toko-toko. Berbagai restoran terkenal ada di mal itu. Orang-orang yang memasuki mal itupun terlihat bersih, klimis dan terlihat mereka orang-orang yang mempunyai cukup banyak uang. Banyak diantara mereka anak-anak remaja dan ibu-ibu mengenakan jilbab. Di depok, hal itu mungkin bukan pemandangan aneh.

Kami berada di mal itu antara pukul 15.00 sampai 18.30. Sehingga tentu waktu tersebut ada waktu-waktu kami harus menunaikan shalat.

Sekitar pukul 16.30an saya menuju musala yang ada di mal itu. "Deket kok Sa, belok kiri dan di sebelah kanan ada petunjuk menuju musala," kata Nanin kepada saya. Sayapun bergegas menuju ke sana. Saya kaget melihat begitu banyak orang yang duduk-duduk di lantai jalan menuju ke Musala. Lebih ke dalam saya melihat antrian orang, baik laki-laki maupun perempuan menunggu wudhu dan salat.

Sesampai di depan musala saya berguman dalam hati, "Pantesan saja, musalanya kecil," gumam saya. Saya ikut antri baik untuk wudhu maupun untuk salat. Saat memasuki musala ada aroma yang kurang sedap yang muncul dari karpet yang lembab. Sayapun tidak melihat tempat penitipan sepatu ataupun sandal, apalagi petugas untuk menjaga sepatu dan sandal tersebut.

Saya kembali ke tempat saya berkumpul dengan teman-teman. Saya mengeluhkan kecilnya musala, kemudian Faisal memberi tahu kalau di lantai satu musalanya lebih besar. Waktu maghrib saya solat di sana. Memang lebih besar, tapi kondisinya sama saja, tidak ada pengelolaan lebih serius, sehingga karpet aromanya kurang sedap.

Mal merupakan tempat berkumpulnya banyak orang. Di Indonesia masyarakatnya sebagain besar adalah penganut agama Islam. Wajar kalau kemudian pengelola mal menyediakan tempat solat yang layak untuk para pengunjung. Sebanding dengan kemewahan barang-barang yang dia tawarkan kepada para pengunjung. Di Margo City itu tidak terlihat!

Kesadaran menyediakan musala yang layak sebenarnya dibanyak mal sudah mulai terlihat. Mal-mal baru seperti Pacific Place, Senayan City, Grand Indonesia, Plaza Indonesia, Pasaraya, Blok M Square, Mal Artha Gading, Mall of Indonesia dan beberapa tempat lainnya menyediakan tempat yang layak. Bersih, ada petugas yang menajaga kebersihan, menyediakan penitipan sepatu dan sandal, merapikan alat-alat solat dan lain-lain. Di Facific Place malah menyediakan minum. Saat pengunjung datang ke musala petugas menyapa dengan ramah dan mempersilahkan.

Kami pernah melakukan penelitian terhadap musala-musala yang ada di mal. Setelah kami melakukan penelitian itu, kami mengatagorikan empat penilaian, yaitu: Istimewa, baik, sedang dan buruk.

Dalam katagori tersebut, musala yang ada di Margo City buat saya termasuk katagori keempat, BURUK!

Sayapun berpikir ulang untuk bertemu, membuat janji atau berbelanja di Margo City, yang kemungkinannya saya harus salat di sana.

Wassalam,
Wars Tarsono

Baca selengkapnya......

Kamis, 04 Februari 2010

Stigma, Sebuah Politik Bahasa


Stigma dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ciri negatif yg menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. anak itu menjadi betul-betul nakal karena diberi -- nakal oleh orang sekelilingnya

Stigma berasal dari bahasa Yunani (στιγμα: "tanda" or "bercak”). Mengandung beberapa arti. Istilah ini berasal dari tanda-tanda yang dimiliki seseorang pada tubuhnya (bekas bakaran atau torehan) yang antara lain menandakan bahwa orang itu adalah budak, penjahat, atau pengkhianat. Ia adalah orang yang catat moralnya dan karena itu harus dihindari, khususnya di tempat umum.

Kata "stigma" juga dipergunakan dalam istilah "stigma sosial", yaitu tanda bahwa seseorang dianggap ternoda dan karenanya mempunyai watak yang tercela, misalnya seorang bekas narapidana yang dianggap tidak layak dipercayai.

Pada perkembangannya stigma menjadi politik bahasa untuk melekatkan hal-hal negatif kepada seseorang, kelompok atau organisasi tertentu maupun kepada masa tertentu. Pelaku stigmatisasi bisa seseorang, kelompok atau organisasi, negara juga masa tertentu. Contoh masa tertentu misalnya adalah orde baru atau orde lama.

Stigmatisasi menjadi politik bahasa yang sering digunakan untuk menjatuhkan seseorang, kelompok atau masa tertentu. Berikut adalah beberapa contoh perilaku stigmatisasi.

Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan stigmatisasi untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Bahasa yang sering mereka gunakan adalah kontra revolusi atau borjuis. Kisaran 1960an PKI menggunakan kata itu. Istilah kontra revolusi mereka gunakan kepada lawan-lawan politik mereka. Dengan istilah itu PKI mempersempit gerak orang-orang yang bukan di kelompok mereka. Bahkan menyingkirkannya.

Sementara istilah borjuis mereka alamatkan kepada orang-orang kaya zaman itu yang tidak berada di pihak mereka. Dengan istilah itu PKI merasa mempunyai hak untuk melakukan perempasan tanah terhadap tuan-tuan tanah atau orang-orang yang bukan menjadi bagian dari mereka.

Soekarno juga melakukan itu terhadap lawan-lawan politiknya. Bahasa yang dia gunakan adalah kontra revolusi. Banyak orang-orang yang menjadi korban, salah satunya adalah Buya Hamka. Buya Hamka dipenjarakan Soekarno karena Hamka tidak mendukung konfrontasi dengan Malaysia. Buya Hamka dianggap tidak mendukung gerakan revolusi yang dilakukan Soekarno.

Soeharto melakukan hal yang sama. Alat paling ampuh yang dia gunakan adalah istilah PKI dan Orde Lama. Salah satu contoh peristiwa yang masih bisa kita ingat adalah peristiwa penggusuran warga kedung ombo. Waktu itu pemerintah akan membangun waduk kedung ombo, tapi mendapat ”perlawanan” dari masyrakatnya. Banyak kalangan juga yang menentang pembangunan waduk kedung ombo tersebut. Dengan kalimat "tempat itu basis PKI” maka banyak orang kemudian diam. Ada kekuatan besar seolah kalau dia PKI itu adalah orang-orang yang tidak mesti dibela.

Istilah lain yang juga efektif yang sering digunakan Soeharto adalah istilah orde lama dan orde baru. Orde lama diposisikan sebagai orde terbelakang, orde yang gagal, orde yang mendukung PKI. Sementara orde baru merupakan orde pembangunan, dll. Saat Soeharto berkuasa stigmatisasi sering dialamatkan kepada orang-orang yang tidak mendukung kebijakan-kebijakan Soeharto.

Stigmatisasi juga dilakukan oleh beberapa kalangan Islam. Yang paling populer tentunya adalah penyebutan kafir, murtad, sesat, JIL dan lain sebagainya. Ketika ada orang lain membuat tafsir yang berbeda dengan pemahaman mereka, disebut sebagai murtad, liberal, JIL dll.

Sementara kalangan Islam lain melakukan stigmatisasi dengan istilah-istilah konservatif, fundamentalis atau radikal. Hampir sama modusnya, kalau tidak mendukung pemahamannya, mereka anggap sebagai fundamentalis, konservatif dll.

Kalau melihat beberapa contoh di atas, melakukan stigmatisasi merupakan perbuatan tercela, bahkan mungkin sebuah kejahatan. Apakah kita pernah melakukan itu? Mari kita sama-sama mengoreksi diri kita. Kalau kita sepakat itu adalah perbuatan tercela atau sebuah kejahatan, mari kita sama-sama menghindarinya.

Depok, 3 Februari 2010

Warsa Tarsono
Sahabat Cahaya

Baca selengkapnya......

Kamis, 21 Januari 2010

Kotak Frame Media


Sebuah fakta oleh media bisa diolah sedemikian rupa, bisa dengan memunculkan dramatisasi atau juga bisa berupa kata atau kalimat penilaian terhadap situasi atau ekspresi oleh si pembuat berita. Sehingga pada fakta tersebut bisa terjadi penyimpangan makna ketika didengar/dibaca oleh pemirsa/pembaca.

Contoh dalam kasus Bank Century. Ada wacana bahwa Sri Mulyani akan dicopot karena dianggap bertanggungjawab terhadap bailout Bank Century. Sebuah stasiun televisi mewawancarai dia. Karena ditanya, Sri Mulyani menjawab bahwa dia mendapat konfirmasi dari presiden tidak ada pencopotan terhadapnya.

Dalam berita yang dibuat oleh stasiun televise tersebut pembaca berita menyampaikan “Sri Mulyani dengan percaya diri mengklaim dia tidak akan dicopot oleh Presiden”. Kalimat ini saya anggap bermasalah pada berita tersebut dengan menyertakan kalimat”Sri Mulyani dengan percaya diri mengklaim”. Kalimat ini seolah mengandung makna bahwa Sri Mulyani proaktif menyampaikan bahwa dia tidak akan dicopot oleh Presiden. Padahal faktanya Sri Mulyani hanya menjawab pertanyaan yang diajukan wartawan. Tidak ada upaya proaktif.

Selain itu, pada pemeriksaan bailout Bank Century ini media massa sering menggunakan kata SKANDAL. Padahal apakah bailout Bank Century itu skandal atau bukan belum dibuktikan secara hukum. Maka seharusnya kata yang digunakan adalah DUGAAN SKANDAL. Dengan media massa selalu menggunakan kata skandal, media massa telah mem-frame, bahwa bailout Bank Century ini sudah menjadi skandal. Padahal sebenarnya adalah dugaan skandal. Ini salah satunya dibuktikan dengan nama Pansus itu sendiri. Bukan Pansus Skandal Bank Century, tapi Pansus Bailout Bank Century.

Hal ini dulu terjadi juga terhadap Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur diturunkan oleh MPR saat itu karena Dugaan Skandal Bulog. Ternyata, secara hokum, dugaan itu tidak bisa dibuktikan, sampai Gur Dur meninggal dunia. Tapi media massa saat itu ikut mem-frame bahwa ada skandal yang dilakukan oleh Gus Dur, sehingga opini masyarakat dan MPR terbentuk bahwa Gur Dur terlibat dalam Skandal Bulog, yang kemudian membuat dia “dijatuhkan”.

Media massa yang mengklaim sebagai salah satu pilar demokrasi seharusnya tidak melakukan itu. Dengan melakukan itu, berarti dia sudah bukan menjadi pilar demokrasi lagi, malah menjadi penghancur demokrasi.

Wallahu alam bissawab

Salam

wtarsono

Baca selengkapnya......

Selasa, 19 Januari 2010

Buku Kompilasi dan Facebook


Buat aktivis Youth Islamic Study Club (YISC) Al Azhar antara tahun 1997 sampai awal 2000an, kenal sekali dengan Buku Kompilasi. Terutama aktivis yang sering 'mangkal' di sekretariat. Buku berukuran folio, berisi berbagai celoteh pikir civitas YISC, dari yang serius sampai yang hanya berupa ungkapan kekesalan, atau pesan kepada teman lainnya di YISC.

Banyak juga teman-teman yang menulis puisi di buku itu, baik puisi cinta atau apapun. Sebagain teman yang lain ada juga yang gemar menulis syair-syair lagu dengan atau tanpa kord.

Hampir setiap civitas saat datang ke sekretariat yang pertama ditanya adalah buku kompilasi. Setelah menemukannya dia bisa hanya sekedar membaca, menulis apapun yang dia pikirkan saat itu, juga bisa mengomentari tulisan yang ada. Satu pesan atau tulisan bisa dikomentari oleh banyak orang.

Buku itu sering juga menjadi sarana klarifikasi teman-teman, ataupun sindiran-sindiran. Tak jarang kadang tulisan di kompilasi menjadi pemicu kesalahpahaman.

Pernah salah seorang pengurus menulis pesan, "sekretariat bau". Tulisan itu kemudian menjadi bola panas di sekretariat. Civitas yang sering menginap di sana tersindir, merasa dia sebagai penyebabnya. Bebagai komentar bermunculan, baik yang sepakat maupun yang tidak.

Pernah juga buku kompilasi yang masih kosong tiba-tiba menghilang, terjadilah kehebohan, menduga-duga siapa yang mengambil buku tersebut. Siapa yang sedang berkonflik dan merasa tersindir oleh tulisan di dalam buku itu menjadi 'tersangka' utamanya.

Walaupun terjadi efek-efek seperti itu, keberadaan Buku Kompilasi tetap lah positif. Berbagai gagasan sering muncul karena ada sarana untuk menuangkannya. Komunikasi menjadi terbuka dan asyik. Banyak teman mempunyai inisial yang sampai saat ini masih dikenal. Ada yang mempunyai nama brokoli, bawang merah dll. Yang paling menonjol dalam hal inisial ini adalah teman-teman yang menyebut kelompoknya bumbu dapur.

Bumbu dapur dan teman-teman yang lainnya saling berinteraksi di Buku Kompilasi. Terjadilah dinamika komunikasi yang mengasyikkan. Saling menuangkan pikirannya, curhatnya dan saling berkomentar. Ada tawa, ada canda yang membuat semakin indah kebersamaan.

Mungkin suasana seperti itulah yang saat ini kita rasakan dengan adanya Facebook. Menurutku ada beberapa sisi persamaan antara Facebook dan Buku Kompilasi. Saat ini kita di facebook membuat status dengan apapun yang ada dalam pikiran kita. Bisa rasa sedih, gembira, atau menuliskan suatu gagasan yang ingin di sharing. Di buku kompilasi kita bisa melakukan itu semua. Kita ingat tulisan Suwitno yang sering panjang-panjang, mungkin di facebook saat ini kita sebutnya menjadi note (catatan).

Ungkapan-ungkapan spontan di Buku Kompilasi, di Facebook menjadi status. Informasi lowongan pekerjaan di Buku Kompilasi, di Facebook agak mirip dengan link (tautan), dan lain-lain.

Buat saya, Buku Kompilasi masih terasa indah, facebook sedang merasakan keindahan. :D.

Saya yakin kita lebih dulu yang merasakan sesuatu yang dirasakan oleh pengguna FB saat ini.

Saya menunggu komentar, tanggapan atau kenangan tentang buku kompilasi. Mudah-mudahan bisa menumbuhkan kembali semangat persaudaraan yang dulu kita rasakan bersama. Saya sendiri saking berjubelnya kenangan terhadap Buku Kompilasi, agak kaweur menuangkannya. Silahkan teman-teman...........

NB: Buku kompilasi digagas oleh Wahyudi Palwono atau dikenal dengan Uginx. Uginx menikah dengan Teh Euis Fauziah mantan ketua pendidikan saat ketua umumnya Mba Ferly.

Salam

Warsa Tarsono

Baca selengkapnya......

Selasa, 12 Januari 2010

Memandu Hidup dengan Seri Riyadus Solihin


Kitab Riyadus Solihin adalah nama salah satu kitab kumpulan hadits Nabi Muhammad SAW yang berarti taman orang-orang shalih. Kitab ini disusun oleh al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi, atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Nawawi. Pada kitab ini hadis-hadis Rasulullah dan ayat-ayat Al-Quran dikelompokkan ke dalam bab-bab berdasarkan tema utama, misalnya salat, zakat, jihad, doa, Quran, dan sebagainya. Dalam kurun waktu yang lama, kitab ini telah menjadi rujukan banyak ulama dan masyarakat umum.

Guna lebih bisa diterima masyarkat umum kemasan kitab ini dibuat lebih sederhana, dibuat dalam buku-buku kecil dan tipis. Setiap satu buku, satu tema bahasan. Pembagian tema didasarkan juga pada pembagian bab pada kemasan lama kitab ini.

Perbedaan lain pada seri buku Riyadus Solihin dibanding dengan kemasan lamanya adalah dibuku ini tidak menyertakan tulisan arab dari hadis-hadis dan ayat-ayat Al-Quran itu. Yang dituliskan hanya terjemahannya saja. Dengan format seperti ini masyarakat awam akan lebih santai mencerna kandungan kitab ini.

Beberapa judul buku kecil ini antara lain, pertama Mengharap Kasih Sayang Allah. Ayat-ayat dan hadis yang dimuat di sini merupakan bukti-bukti kasih Allah yang tiada batas kepada hamba-Nya. Juga menegaskan bahwa Ia tidak pernah meninggalkan kita walau hanya sedetik.

Buku kedua berjudul Mukjizat Salat. Salat adalah tiang agama, juga penghapus dosa. Karena itu, salat perlu senantiasa dipelihara. Pada buku ini kita akan mendapati ayat-ayat Al-Quran dan hadis yang menyadarkan kita bahwa salat itu bukan sekedar kewajiban, melainkan kebutuhan mendasar manusia sebagai ciptaan-Nya.

Buku ketiga berjudul Adab Menjenguk dan Melayat. Sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah berbunyi, ”Barang siapa mengunjungi seorang yang sakit, berserulah malaikat dilangit: Engkau telah berbuat baik, baik pulalah perjalananmu. Engkau akan mendiami sebuah rumah dalam surga.”

Hadis lain yang diriwayatkan Ibnu Majah berbunyi, ”Tiada seorang mukmin yang mentakziahkan saudaranya yang mengalami suatu musibah melainkan Allah memberikan kepadanya pakaian-pakaian kemuliaan pada hari kiamat.”

Kedua hadis tersebut menggambarkan betapa Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk melakukan kebaikan. Kebaikan sederhana seperti menjenguk orang sakit atau melayat orang yang meninggal digolongkan sebagai kebaikan yang akan mendapatkan pahala yang sangat besar, berupa kemuliaan di hari kiamat dan surga.

Pada buku ini kita akan mendapatkan hadis-hadis yang memandu kita bagaimana adab saat kita menjenguk atau melayat orang sakit.

Buku keempat berjudul Budi Pekerti Islami. Dalam buku-buku kiat menjadi sukses, salah satu kunci yang menunjang keberhasilan seseorang adalah kemampuan kita berhubungan dengan seseorang. Semakin kita bisa diterima oleh orang lain, semakin mudah kita menjalin sebuah hubungan, termasuk dalam berbisnis. Kunci agar kita mudah diterima oleh orang lain adalah bagaimana kita menampilkan diri sebagai orang yang baik, orang yang berbudi.

Pada buku ini kita akan tahu bagaimana kita menjadi manusia yang berbudi. Selain itu di buku ini kita akan menemukan hadis-hadis dan ayat-ayat yang mendorong kita menjadi orang yang berakhlak baik.

Dalam segala keterbatasan kita, baik keterbatasan waktu maupun lainnya sebuah bacaan dengan kemasan sederhana akan memudahkan kita untuk membawanya. Sehingga waktu senggang kita akan bisa dimanfaatkan untuk membaca buku-buku kecil tersebut. Pengetahuan kita bertambah, tapi kita tidak direpotkan oleh keharusan membawa buku yang tebal atau besar.(MWT)

Baca selengkapnya......

Pahlawan dari Dunia Nista


Mungkinkah kepahlawanan bisa datang dari dunia yang dianggap penuh maksiat? Dunia yang menawarkan pelampiasan nafsu seksual. Dunia yang di dalamnya penuh perendahan terhadap harkat manusia. Dunia yang mendorong terjadinya perdagangan manusia dan eksploitasi seks terhadap anak-anak.

Kalau sebelum menjawab pertanyaan itu kita membaca kisah hidup Somaly Mam, dengan tegas kita akan mengatakan mungkin. Karena dari dunia itulah Somaly berasal. Dari kepahitan hidup sebagai pekerja seks komersial (PSK), dari ketidakberdayaan melawan ketamakan ”kakek”-nya, dan kuasa pemilik rumah bordir.

Somaly seorang pahlawan kemaunisaan. Berkat pengorbanan dan perjuangannya Somaly berhasil menyelamatkan 4000 wanita dan anak-anak dari prostitusi dan perdagangan manusia. Somaly telah mendapat beberapa penghargaan dari beberapa lembaga dunia. Digelari Pahlawan oleh CNN dan Wanita Tahun Ini oleh Glamour pada 2006. Dia juga penerima Anugerah Anak-anak Dunia untuk Hak-Hak Anak pada 2008.

Somaly tidak ingin nasib yang menimpa dirinya terjadi terhadap anak-anak yang lain. Karenanya setelah dia terbebas dan ada kesempatan menyelamatkan anak-anak korban trafficking, dia memanfaatkan peluang itu.

Somali lahir di desa Bau Sra, Kamboja. Dia tidak tahu kapan dilahirkan. Dia hanya bisa menerka antara 1970 atau 1971. Lahir dari keluarga miskin. Diasuh oleh neneknya.

Somaly belum menginjak usia lima, saat Amerika menyerang Kamboja. Selanjutnya pada 1975-1979 Khmer Merah berkuasa. Saat itulah terjadi ‘badai’ yang tidak menentu. Orang-orang dipindahkan ke kamp kerja paksa tempat mereka kerja sebagai budak, atau dipaksa berjuang demi rezim tersebut. Saat itulah dia berpisah dengan neneknya. Somaly menjadi anak terlantar.

Keluarga Taman perduli dengan nasib Somaly, kemudian mengasuhnya. Taman. Seorang pria berasal dari suku Khmer, sementara istrinya berasal dari suku Phong. Walaupun sudah diasuh oleh keluarga Taman, Somaly sering merasa sedih. Dia merindukan seorang ibu yang akan memeluk, mencium dan membelainya. Seperti istri Taman memeluk anaknya.

Saat Somaly berusia 10, keluarga Taman kedatangan tamu yang diperkenalkan sebagai kakek. Taman menyampaikan bahwa orang tersebut akan membantu Somaly menemukan keluarganya. Somaly menganggap bahwa orang tersebut adalah kakek aslinya atau orang baik yang akan mengadopsi dan mencintai dirinya. Somaly senang ikut dengan kakeknya.

Tetapi rasa senangnya tidaklah berlangsung lama. Kakeknya bukanlah orang baik. Dia menyuruh Somaly bekerja dengan orang lain untuk mendapatkan upah. Somaly juga sering dimarahi dan dipukul saat dmelakukan kesalahan, walaupun kesalahan sepele.

Tidak hanya itu, Somaly dijadikan alat pembayar utang kakeknya terhadap seorang pedagang Cina. Suatu hari Somaly disuruh mengambil minyak di pedagang Cina, tempat biasanya Somaly membeli barang-barang. Di sana Somaly diperkosa oleh pedagang Cina tersebut. Somaly kemudian tahu, bahwa itu adalah bagian dari transaksi pembayaran utang kakeknya terhadap pedagang tersebut.

Penderitaan yang lebih pahit Somaly rasakan saat kakeknya menjualnya ke rumah bordir. Di sanalah kemudian Somaly sering diperkosa dan disiksa. Ada rasa marah yang sangat besar terhadap kakek dan pemilik rumah bordir, tapi Somaly tidak kuasa melawannya. Beberapa kali dia berusaha kabur, pemilik rumah bordir selalu bisa mengembalikan Somaly ke rumah tersebut.

Akhirnya Somaly pasrah dengan hidupnya, karena saat dia kabur dan kemudian berhasil ditemukan dia akan mendapat siksaan yang lebih menyakitkan.

Kehidupan Somaly berubah saat dia berkenalan dengan seorang warga asing yang berasal dari Prancis bernama Pierre. Pierre bekerja pada sebuah lembaga kemanusiaan. Semula Pierre adalah salah satu klien rumah bordir tempat Somaly bernaung. Setelah beberapa kali mereka bertemu Pierre jatuh cinta terhadap Somaly, bahkan kemudian mengajak Somaly menikah. Pernikahannya dengan Pierre membuat status sosial Somaly diperhitungkan.

Somaly sering kali datang ke tempat kerja suaminya di klinik Medecins Sans Frontieres (MSF). Sampai kemudian Somaly menawarkan diri kepada bos suaminya untuk bekerja sebagai relawan. Permohonan Somaly dikabulkan, mulailah Somaly setiap pagi bekerja di MSF.

Saat di MSF itulah Somaly sering menjumpai para PSK yang berobat karena penyakit kelamin. Somaly menjadi miris, mengenang masa lalunya. Lebih miris lagi saat yang datang ke klinik tersebut adalah anak-anak masih belia. Bermula dari situ kemudian Somaly berkeinginan membantu para PSK.

Gerakan pertama yang dilakukan Somaly adalah dengan membantu membagikan kondom kepada rumah-rumah bordir. Usahanya tersebut untuk mengurangi risiko yang lebih besar tertular penyakit kelamin, dan terutama AIDS, yang saat itu mulai ditemukan kasusnya di Kamboja.

Tak puas dengan itu, Somaly ingin menyelamatkan anak-anak yang terjebak dalam dunia pelacuran. Seperti dirinya, anak-anak itu juga kebanyakan adalah korban dari kejahatan orang tuanya, yang menjualnya ke rumah bordir. Untuk itulah kemudian Somaly membuat organisasi yang dia beri nama AFESIP, yang diterjemahkan dalam bahasa Prancis sebagai: Aksi bagi Perempuan dalam Kesulitan.
Melalui organisasi inilah kemudian Somaly berjuang, sampai kemudian dia berhasil menyelamatkan puluhan anak-anak dari dunia pelacuran.

Membaca buku The Road of Lost Innocence akan membuat rasa kemanusiaan kita tergugah dan merasa kecil dihadapan Somaly. Somaly mantan pelacur tapi talah menjadi pahlawan bagi banyak orang. Menjadi inspirator buat pejuang kemanusiaan.

The Road of Lost Innocence
Pengarang: Somaly Mam
Penerbit: Hikmah, 2009

Baca selengkapnya......