Jumat, 19 Juni 2009

CAHAYA DARI LEBAK WANGI


Ketika tahun lalu Perpustakaan Nasional memberikan penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka  kepada Kiswanti, ada sesuatu yang penting terjadi di sana.

Penghargaan itu ditujukan kepada mereka yang berjasa mengembangkan perpustakaan dan minat baca di Indonesia. Sedangkan Kiswanti? Dia adalah seorang ibu rumah tangga lulusan Sekolah dasar yang bersuamikan kuli bangunan. Ia dihargai karena kegigihannya mengembangkan perpustakaan rakyat di daerahnya, Kampung Lebak Wangi, Parung, Jawa Barat.

Kiswanti adalah bukti bagaimana yang menyelamatkan Indonesia sebenarnya adalah rakyat kecil yang selama ini justru sering diabaikan saja dalam retorika pembangunan.

Wanita 48 tahun ini datang dari keluarga miskin dengan ayah seorang penarik becak yang tak cukup punya uang untuk membayar iuran sekolah anaknya. Di masa kecilnya, Kiswanti belajar membaca di bawah bimbingan ayahnya dengan menggunakan huruf-huruf yang digunting dari koran bekas. Salah seorang gurunya pernah meminta ia berhenti sekolah saja, karena ia miskin.

Kini, sang guru nyinyir itu sebaiknya bertemu lagi dengan Kiswanti. Si anak miskin itu tidak kaya. Ketika ditemui Madina, Kiswanti bercerita bahwa suaminya sedang bekerja membersihkan kolam renang di Jakarta. Tapi Kiswanti sendiri memiliki perpustakaan yang setiap hari dipenuhi anak dan remaja dari daerah sekitar yang lahap membaca dan belajar dengan menggunakan komputer. Lebih dari itu, itu bukan sekadar perpustakaan, melainkan semacam pusat aktivitas sosial dan ekonomi bagi para orangtua anak-anak itu.

Keterbatasan ekonomi tidak pernah menghalangi keperdulian Kiswanti terhadap pendidikan. Cita-citanya sederhana dan mulia: Dia ingin anak-anak Indonesia menjadi anak-anak yang pintar, anak-anak yang gemar membaca.

Bermain di Kuburan

Kiswanti terlahir dari keluarga miskin di Bantul, Jogjakarta. Karena kondisi ekonominya dia tidak bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi dari Sekolah Dasar (SD). Itupun dia bisa selesaikan karena sekolah membebaskan uang SPPnya mengingat nilai-nilainya yang sangat memuaskan dan seringnya dia mewakili sekolah untuk berbagai lomba.

Tetapi prestasi tersebut tidak datang begitu saja. Di tahun-tahun pertama ia justru sering menjadi sasaran hinaan dan cibiran teman-teman, bahkan gurunya. Pernah dia mendapatkan perlakuan yang sangat menyakitkan dari gurunya. Di kelas dua SD, ketika dia belum bayar SPP, wali kelasnya berkata: “Sudahlah kalau miskin, miskin saja jangan bermimpi untuk sekolah.”

Kiswanti selalu ingat dengan kata-kata gurunya, tetapi itu tidak meruntuhkan keinginannya untuk terus bersekolah. Bagaimanapun, peristiwa itu menjadikan Kiswanti merasa semakin terkucil dan karena itu ia memilih lebih banyak menghabiskan waktu istirahatnya di kuburan dekat sekolah.

Itu rutin dilakukannya sehingga menarik perhatian penilik yang datang ke sekolahnya. Ketika tahu bahwa Kiswanti adalah anak cerdas, sang penilik mengajukan usulan menarik: bagaimana kalau Kiswanti bermain di perpustakaan saja di masa istirahat? Tentu saja, tawaran itu langsung ia terima.

Akibatnya, kegemaran membaca Kiswanti tersalurkan yang, pada gilirannya, membuat nilai-nilai pelajara Kiswanti sangat baik. Dia lulus dengan nilai tertinggi. Merasa perduli dengan kecerdasan Kiswanti, salah satu guru di sekolahnya meminta kepada orang tuanya agar Kiswanti tinggal di rumahnya dan akan di sekolahkan.

Tetapi orang tua Kiswanti menolaknya. Kiswanti kecewa, dia menangis. Bapaknya berkata kepada Kiswanti. “Bapak minta maaf tidak bisa menyekolahkan kamu, tapi kalau kamu mau pintar, kamu lebih banyak baca saja, dan Bapak berjanji akan membawakan kamu koran setiap hari.” Janji itu ditepati, setiap pulang menarik becak Bapaknya membawakan koran untuk Kiswanti.

Kiswanti tidak puas dengan koran-koran yang dibawakan bapaknya. Dia berinisiatif untuk membeli buku-buku yang dia ingin baca. Untuk itu dia rela bangun pagi-pagi, saat kebanyakan orang masih terlelap tidur. Dia keluar rumah dengan membawa obor dan kemudian mencari dan mengumpulkan biji-biji melinjo. Biji melinjo yang terkumpul dia jual. Selain itu dia juga membantu mengelupas biji kacang. Upah mengelupas biji kacang dan hasil penjualan melinjo tersebut dia gunakan untuk membeli buku.

Pikirannya bergerak terus. Dia tahu, dia tidak mungkin hidup terus di kampung kelahirannya. Dia mendapati teman-teman seusianya bekerja di Jakarta. Saat mereka pulang dari Jakarta, Kiswanti melihat teman-temannya membawa banyak uang. Diapun tertarik dan memutuskan untuk ikut bekerja di Jakarta. “Tekad saya kalau mendapatkan uang akan saya pergunakan untuk membeli buku.”


Minta Gaji Berbentuk Buku

Di Jakarta Kiswanti bekerja sebagai pembantu rumah tangga seorang warga Filipina, di daerah elit Menteng. Kiswanti senang bukan kepalang ketika mengetahui majikannya mempunyai banyak buku. Bahkan sebagian buku yang dipajang sang majikan juga ia miliki.

Muncul gagasan Kiswanti untuk meminta kepada majikannya agar dia tidak digaji dengan uang, tapi dengan buku. “Bu tolong, saya gak usah digaji dengan uang, saya minta digaji dengan buku saja” Kiswanti menyampaikan dengan penuh harap kepada majikannya.

Ketika majikannya bertanya mengapa, Kiswanti menjawab mantap, “Saya ingin menambah koleksi buku saya.” Majikannya tidak setuju. Dia tetap menggaji Kiswanti dengan uang. Tapi kemudian Kiswanti diantar ke pusat buku bekas di Kwitang, Jakarta Pusat, untuk belanja buku. Sayangnya, Kiswanti hanya bekerja tiga bulan di rumah tersebut. Majikannya pulang ke negara asalnya. Kiswanti pun berniat pulang.

Ketika itu Kiswanti sudah mempunyai banyak buku hasil belanja di Kwitang. Dalam perjalanan pulang dia bertemu dengan Ngatmin, pemuda yang saat ini menjadi suaminya. Dia menawarkan kepada Kiswanti untuk menjadi pembantu rumah tangga orang Korea. Beberapa minggu setelah Kiswanti bekerja, Ngatmin melamarnya. Kiswanti menerimanya dengan beberapa syarat.

“Ada beberapa syarat yang saya ajukan ke Mas Ngatmin. Salah satunya, berapapun penghasilan yang saya dapat, tidak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tapi buat menambah koleksi buku. Mas Ngatmin setuju. Kami pun menikah pada bulan Agustus tahun 1987. ”

Membangun Perpustakaan

Tujuh tahu tinggal di desa asal, Kiswanti dan Ngatmin pindah ke kampung Lebakwangi. Parung, Jawa Barat tahun 1994. Saat itu kondisi daerah itu masih memprihatinkan belum ada listrik, belum ada telepon dan jalannya masih sangat rusak. Apalagi tak jauh dari sana ada lokasi ”warung remang-remang”.

Dengan segera hasrat Kiswanti untuk menyumbangkan apa yang dia punya pada masyarakat di sana tumbuh. Yang menjadi pusat perhatiannya pertama adalah anak-anak. Dia percaya harus ada yang diperbuat untuk menjaga pertumbuhan mereka. Apalagi menurut pengamatannya, anak-anak di sana kerap bertengkar dan kalau itu terjadi, lazim keluar kata-kata tak pantas dari mulut mereka.

Ia pun berinisiatif mengumpulkan beberapa anak di rumahnya. Agar anak-anak tertarik dia membuat beberapa permainan dengan menggunakan pelepah daun pisang, pelepah kelapa dan botol-botol bekas. ”Walau bagaimanapun dunia anak adalah dunia bermain, maka saya buatkan alat-alat bermain”.

Tapi lama-kelamaan anak-anak bosan dengan permainan-permainan itu. Kiswanti mengubah gaya – ia mulai mendongeng, bercerita. ”Tapi ceritanya tidak saya selesaikan, saya berharap itu akan mengundang penasaran dan mereka akan datang kembali”.

Benar saja, hari berikutnya mereka datang lagi, dan mereka memintanya melanjutkan cerita sebelumnya. Kesempatan itu Kiswanti gunakan untuk mendorong mereka mau membaca. “Bagi yang ingin membaca ceritanya, Bude pinjamkan buku, silahkan baca bukunya di rumah. Kalau sudah selesai kembalikan lagi, nanti Bude pinjamkan lagi buku yang lain”.

Pada awalnya tidak banyak anak yang terlibat, hanya sekitar lima anak. Tetapi dari lima anak tersebut berita soal aktivitasnya mulai tersebar ke anak-anak dan warga yang lain. Semakin lama anak-anak yang meminjam buku semakin banyak. “Dari situ saya menyimpulkan bahwa anak-anak sebenarnya minat bacanya tinggi. Yang membuat rendah adalah karena mereka tidak tahu dimana bisa mengakses buku, dimana meminjam buku.”

Dengan bertahap Kiswanti membuat peraturan tambahan. Peraturan pertama yang dia buat adalah agar anak-anak tidak boleh mengucapkan kata-kata kasar seperti ”bego, tolol, gua, elu, dan semacamnya”. Peraturan berikutnya: anak-anak yang datang kerumahnya untuk terlebih dahulu mandi. ”Kalau mereka tidak melaksanakan ketentuan itu, mereka akan diberi sanksi tidak boleh pinjam buku lagi.”

Kesuksesannya berdampak. Karena karena anak-anak yang meminjam buku semakin banyak, koleksi bukunya harus ditambah. Untuk itu Kiswanti memutuskan untuk berjualan jamu serta membuka toko kelontong, dengan modal pinjaman dari mejelis taklim yang dia ikuti. Hasil dari jualan jamu dan toko kelontongnya dia belikan buku. Dia pun menyisihkan 3000 rupiah dari uang belanjanya setiap hari. “Saya rela melaparkan diri agar saya dapat menambah koleksi buku.”

Nyatanya, itu pun belum cukup. Kiswanti ingin memperkenalkan buku lebih luas lagi kepada anak-anak di desanya. Untuk itu dia membeli sepeda dengan cara mencicil. Dengan sepeda itu, ia menyelenggarakan semacam “perpustakaan keliling”.

Dia bawa koleksi bukunya dalam keranjang yang dia ikat di sepeda sambil berjualan jamu. Setiap ada kerumunan anak, ia akan menghampiri dan menawarkan buku-bukunya untuk dibaca. Dia lakukan setiap hari selama sembilan bulan di tahun 2003. Aktivitas itu dia lakukan di sekitar tempat tinggalnya di kampung Lebakwangi, Parung, Bogor.

Tawarannya tidak selalu mendapat sambutan yang positif. Banyak anak yang tak acuh. Tapi kegigihan Kiswanti tidak surut. Lama-kelamaan usahanya membuahkan hasil. Kesadaran masyarakat sekitar terhadap pentingnya membaca perlahan tumbuh, sampai akhirnya Kiswanti memutuskan berhenti berkeliling dan membuka Warung Baca Lebakwangi (Warabal) di rumahnya.

Warabal

Saat ini Warabal yang dipimpinnya telah menjelma menjadi semacam pusat pemberdayaan rakyat di desanya. Dukungan datang dari mana-mana. Bantuan pemerintah sempat datang, begitu juga dukungan dari mereka yang bersimpati.

Anak-anak mulai dari usia 3 tahun sampai remaja SMA di Lebak Wangi menjadikan Warabal sebagai sarana mengembangkan pengetahuan dan wawasannya. Ada hampir 200 anak dan remaja terlibat dalam komunitas tersebut, dengan melibatkan 14 relawan diluar Kuswanti dan anaknya. Tidak itu saja Kiswanti juga membina orangtua mereka, dengan memberi pelatihan menjahit dan menyulam. Ada 175 ibu-ibu yang tergabung dalam kegiatan ini.

Cita-cita Kiswanti belum berhenti. Dia sudah membeli tanah di samping rumahnya, juga dengan cara dicicil. Tanah itulah yang ingin ia gunakan untuk membangun lokasi perpustakaan selanjutnya. “Saya merencanakan membuat bangunan dua lantai. Nanti akan dibedakan mana buku-buku untuk anak-anak, remaja dan orang tua. Saya rasa buku-buku untuk orang tua juga penting,” ujar sang ibu teladan.

Kiswanti seorang istri kuli bangunan. Tapi apa yang dilakukannya mungkin lebih bermakna dari seorang Menteri Pendidikan.

(wtarsono)

Tulisan ini pernah di muat di Majalah Madina edisi Maret 2009, dengan judul Pejuang Aksara dari Lebakwangi.

Baca selengkapnya......

Kamis, 18 Juni 2009

Masih Berlanjut Mengenai KCB


Saya ucapkan terima kasih buat teman-teman yang telah menanggapi atau hanya membaca catatan saya tentang KCB, baik filmnya maupun novelnya. Catatan saya tentang filmnya sebenarnya lebih pada penggarapan film tersebut. Saya akui, bahwa film itu juga menghibur. Tapi bukan karena tidak menaroh hormat kepada Mas Mamang (Chaerul Umam) dan Imam Tantowi, saya menganggap penggarapannya tidak maksimal. Mungkin disebabkan oleh beberapa hal. Bisa karena hal-hal yang sifatnya teknis, campur tangan kang abik atau memang ketidakcermatan Mas Mamang. Sehingga adegan yang sebenarnya penonton bisa terharu, tapi (minimal saya) tidak terharu.

Dalam hal ini, saya berpendapat, karena tuntutannya harus sesuai novelnya, banyak plot yang tidak masalah kalau ditiadakan, dipaksakan ada. Dialog yang bisa dengan singkat, tapi dibuat panjang. Informasi yang bisa dibuat dengan dialog dua arah yang atraktif, tapi dibuat cenderung monolog.

Tapi tetap aja, dalam konteks bahwa film ini sebagai dakwah itu bukan hal prinsip. Mungkin ini hanya masalah RASA aja. Walaupun sebagain menganggap RASA ini juga penting, ini untuk menarik orang-orang yang semula hanya untuk mencari hiburan, tapi tercerahkan atau tersadarkan setelah menontonnya. Bukankan itu substansi dakwah. Kalau dakwah hanya diperuntukkan buat orang-orang yang sudah sadar-menjadi berkurang manfaatnya.

Dan karena penilaian, atau kritik saya banyak orang malah penasaran, itu bukan masalah. Yang mengeluarkan uang bukan saya, yang merasa terhibur bukan saya, yang merasa kecewa juga bukan saya. Yang untung juga bukan saya. Jadi saya fine aja. Saya sekedar sharing.

Untuk postingan kedua, saya menganggap serius. Karena ini masalah nilai yang didakwahkan oleh Kang Abik, apalagi setelah membaca novelnya. Menurut saya ada cara pandang yang salah, bahkan menurut saya "jahat".

Beberapa hal itu antara lain:
1. Generalisasi yang gegabah terhadap perempuan yang tertawa ngakak, yang disebutnya sebagai perempuan murahan, bahkan pelacur.

2. Ketidaksensitifan terhadap keluarga yang mempunyai anak dengan persoalan mental,dan lebih parah dilakukan oleh tokoh utama-sebagai sosok yang soleh.

4. Seorang solehah (istri-Anna, tokoh solehah) menyebut jahanam suaminya hanya karena sisuami tidak mau melayani hubungan seks. Padahal si suami melakukan dalam rangka melindungi istrinya-karena menganggap dirinya terkena aids.

5. Tidak ada keperdulian seorang istri solehah terhadap penderita HIV Aids, bahkan kepada suami.
Sementara di Amerika Serikat, istri Magic Jhonson tidak mau menceraikan dan tetap bersedia melakukan hubungan seks dengan Magic Jhonson, dan mereka mempunyai anak setelah itu. Dan istrinya tahu sebab Aids-nya karena gaya hidup Jhonson. (kira-kira lebih membangun jiwa mana?!). dr. Anna Silviana banyak menangani orang-orang yang terkena Aids dan istrinya tetap tidak mau bercerai, bahkan men-support suaminya untuk menjalani hidup secara normal.

6. Mengeneralisasi bahwa kemiskinan yang ada di Indonesia ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang malas dan bermental kambing.

7. Masalah besar yang dituangkan di novel ini adalah masalah pencarian cinta, masalah hubungan laki-laki dan perempuan. Novel ini bukan bercerita tentang perjuangan seseorang yang tidak mempu menjadi sukses, bukan! happy ending novel ini adalah kepuasan malam pertama.

Dll, mudah-mudahan lain kali saya masih kuat menuliskannya

Nah karena penjelasan saya teman-teman menjadi penasaran juga? Buat saya tidak masalah. Saya hanya menyampaikan sesuatu yang saya anggap bermasalah dan itu kesalahan yang fatal buat saya. Bisa jadi tidak buat teman-teman.

Bahwa ada orang yang merasa tercerahkan, dengan mengetahui bahwa perempuan punya hak mahar, bahkan mahar tersebut berupa janji untuk tidak dipoligami, itu sah-sah saja.

Oh iya, teman saya seorang wartawan, sedang kebingungan mengembalikan amplop yang berisi uang yang diselipkan panitia KCB-MEGA FILM PEMBANGUN JIWA, saat mereka mengadakan konfrensi pers menjelang diputarnya film ini. Dia mengetahui setelah sampai rumah, dan dia menyesal tidak memeriksanya. Ada usul bagaimana mengembalikannya?

Wassalam,

wtarsono

Catatan: Sebelum dimuat di sini, tulisan ini diterbitkan di facebook-ku dan mendapat berbagai tanggapan.

Baca selengkapnya......

Masalah yang Ditemukan di Novel KCB


(Berikut kutipan dari Buku Ketika Cinta Bertasbih edisi cover film (2 edisi dijadikan satu).

Ini adalah 2 masalah yang saya temukan dari isi novelnya. Saya ambil dari Bab Ikhtiar Mencari Cinta (hal 585-586). Deskripsi Ini adalah generalisasi yang jahat terhadap perempuan. Dan pasti orang yang tertawanya seperti di gambarkan oleh novel ini akan sakit hati.)

"Begini lho Zam, alasan Bue berdasarkan ilmu titen kenapa ibu tidak setuju dengan dua gadis itu begini. Pertama Rina, gadis temannya adikmu itu memang baik. Bue akui itu. Sopan santunnya baik. Cuma ada satu hal yang ibu amati, dan Bue tidak cocok adalah ketika dia dulu menginap di sini, bisa-bisanya habis shalat Subuh tidur lagi. Padahal kita bertiga tidak tidur. Dia lalu bangun jam tujuh pagi. Ini yang membuat ibu tidak cocok. Bagaimana kalau dia nanti jadi ibu bakda Subuh tidur. Di rumah orang saja nekat begitu apalagi nanti di rumah sendiri."
"Tapi Bue, Rina pada waktu itu memang terlalu letih. Sehari sebelumnya dia ada acara full di kampus." Husna berusaha membela Rina, meskipun dia juga tahu kebiasaan tidur setelah shalat Subuh itu masih dilanggengkan temannya itu sampai saat itu.
"Ah apapun alasannya. Ibu tak peduli. Kata ayahmu dulu kalau orang tidur habis Subuh rezekinya dipatuk sama ayam, jadi hilang! Terus itu Si Tika atau Kartika Sari yang jadi penjaga kios Sumber Rejeki di Pasar Klewer. Memang dia cantik dan anggun. Saat kita dolan ke rumahnya juga baik tutur bahasanya. Tapi Bue tidak suka caranya dia tertawa. Tertawanya ngakak-ngakak seperti itu. Dia itu seorang gadis masak tertawanya ngakak begitu. Kalau laki-laki masih agak mending, mungkin masih agak bisa dimaklumi. Ini gadis. Rasulullah saja kalau tertava tidak ngakak-ngakak begitu. Setelah mendengar dia tertawa seperti itu Bue langsung kehilangan selera. Maaf, yang biasa tertawa begitu itu biasanya perempuan murahan, pelacur.

(Sementar cuplikan tulisan ini saya ambilkan dari Bab Dari Mila Hingga Seila (hal 604-605). Bahkan ini lebih tidak manusiawi. Bagaimana perasaan orang yang mempunyai anak seperti itu kalau diperlakukan seperti cerita di bawah ini. Dan itu dilakukan oleh sosok yang digambarkan Abik sebagai sosok malaikat.)

Gagal mendapatkan putri Pak Jazuli tidak membuat Azzam putus asa dalam berikhtiar mencari jodohnya. Setiap ada informasi yang ia rasa menarik ia kejar informasi itu. Sampai pun ia mendapat informasi dari Kang Paimo.

Saat ronda malam Kang Paimo cerita bahwa di Singopuran ada juragan beras kaya namanya Pak Haji Darmanto. Biasa dipanggil Haji Dar. Kang Paimo cerita Haji Dar punya anak putri yang cantik, dan pernah bilang padanya bahwa siapa yang mau menikahi anaknya dengan cepat akan dinaikkan haji seluruh keluarganya.

Azzam tertarik. Suatu sore, saat langit terang benderang, matahari masih bersinar cerah, Azzam mencari rumah Haji Dar. Dan ketemu. Rumahnya agak dekat dengan pabrik tembakau. Haji Dar agak kaget ketika Azzam datang. Tanpa basa-basi Azzam mengutarakan niatnya menyunting putri Haji Dar itu. Haji Dar luar biasa senangnya. Seketika Haji Dar ke belakang mencari isterinya. Saat Haji Dar kebelakang ia melihat ada anak gadis berkulit putih muncul dari samping rumah. Ia perkirakan gadis itu mahasiswi semester tiga atau empat.
Ia kaget, tiba gadis itu duduk begitu saja di halaman seperti anak kecil. Lalu ia main karet yang ia bawa dengan plastik hitamnya. Belum bilang kagetnya isteri Haji Dar muncul.
"Ini Bu namanya Nak Azzam. Dia yang melamar akan menikahi Eva." Terang Pak Dar pada ibunya.
"Kau sudah mantap Nak?"
"Insya Allah Bu."
Tiba-tiba ia dikagetkan oleh gadis itu yang menangis meraung¬raung di halaman sendirian. Gadis itu lalu berdiri dan masuk rumah. Lalu menangis di pangkuan ibunya.
"Ibu Eva man mimik susu! " Kata gadis itu.
Seketika seluruh badannya gemetar. Gadis itu memang cantik tapi ternyata gadis itu punya kelainan. Yaitu keterlambatan perkembangan pikirannya. Ia mau pingsan rasanya saat itu. Ia langsung buru-buru minta diri. Dan minta maaf pada Pak Haji Dar. Ia bilang bahwa dirinya salah alamat. Ingin rasanya ia menjitak Kang Paimo.

Catatan tambahan:
Beberapa waktu yang lalu ada gup lawak tampil di TV yang menceritakan sebuah joks. Joks nya begini:
Seorang perempuan di perkosa oleh 5 orang pemuda. Saat diperkosa oleh pemuda pertama perempuan itu berontak dan menjerit-jerit, tapi saat giliran pemuda ke dua dan selanjutnya, perempuan itu malah ketagihan.

Group lawak itu mendapat protes dari banyak kalangan. Karena mencerminkan ketidaksensitifan mereka terhadap korban-korban pemerkosaan. Nah dua ciplikan di atas juga menunjukkan betapa tidak sensitifnya penulis novel ini terhadap perasaan orang yang tertawa seperti digambarkan di novel dan keluarga yang mempunyai anak seperti itu. Kebetulan saya mempunyai teman yang anaknya autis. Dan dia merasa sakit hati, teriris dengan cerita itu.

Itulah perlakuan sosok pahlawan/malaikat dalam novel KCB!
(Mudah-mudahan adegan seperti ini tidak ada dalam film KCB 2, walaupun ketidaksensitifan (diskriminasi terhadap bule) telah ditunjukkan dalam film KCB, yang saat ini sedang beredar)

Baca selengkapnya......

KCB yang Mengecewakan


Film ini bercerita tantang perjalanan cinta Azam, seorang mahasiswa Al Azhar Kairo yang berasal dari Indonesia. Untuk membiayai kuliahnya Azam berjualan tempe, dengan salah satu pelangganya keluarga Dubes. Selain untuk biaya kuliahnya hasil jualan tempenya digunakan juga untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya, karena bapak Azam sudah meninggal. Azam sudah 9 tahun kuliah, tapi belum lulus juga.

Ada beberapa tokoh utama dalam film ini, selain Azam ada Furqon mahasiswa yang berasal dari keluarga kaya dan sedang menyelesaikan kuliah S2. Ana, anak seorang kiai dari solo sedang mengajukan proposal untuk mendapatkan beasiswa S2. Elina adalah anak Dubes, cantik tapi tidak mengenakan jilbab. Ada juga tokoh Tiara, Fadil, Komala dan lain-lain.

Sebagai film dakwah?

Film ini digadang-gadang sebagai film dakwah, tapi apa yang di dakwahkan? Inti film ini tentang perjalanan cinta Azam dan tokoh-tokoh lainnya dalam film ini. Gak ada adegan yang membuat penonton tergugah atau terinspirasi oleh perilaku dari tokoh-tokoh dlm film ini. Kecuali pesan-pesan verbal yang terasa kering dan mendakwahi penonton.

Seperti saat Elina diberi penjelasan mengapa french kiss musibah buat Azam, Azam menjelaskan dengan mengutip kitab dsb. Karena penjelasan Azam Elina menjadi sadar maka menangislah Elina. Tapi plot itu benar-benar tidak menggugah emosi penonton. Sekali lagi terkesan hanya dakwah verbal seperti di majelis taklim.

Tangisan yang tidak membuat haru
Film ini banyak tangisan, tapi tak membuat meneteskan air mata. Tangisan-tangisan itu terlalu mengada-ngada dan bahkan pada hal-hal yang sepele. Contoh: Tiara dan Fadhil sama-sama jatuh cinta, tapi Fadhil tidak berani mengutarakan cintanya. Tiara curhat ke adiknya Fadhil agar Fadhil mengutarakan isi hatinya karena kalau nggak akan ada yang melamar dia, saat curhat itu mereka berdua sama sama harus menangis. Begitupun saat Fadhil curhat kepada Azam tentang perasaan cintanya terhadap Tiara, Fadhil harus menangis.

Film ini juga dipenuhi dialog yang panjang-panjang dan cenderng satu arah untuk menerangkan sesuatu. Saat Din Syamsudin datang dan dia menjelaskan alasan kedatangannya, hampir saja Din kehabisan nafas karena harus menyampaikan kalimat yang begitu panjang. Begitupun pada dialog-dialog lainnya.

Pengambaran sosok Azam

Saat menggambarkan sosok Azam, harus ada sekian plot yang melibatkan Azam. Kita ingat di film Ayat-ayat Cinta, cukup dengan peristiwa di bus kota, sudah tertanam seperti apa karakter Fahry, plot-plot lainnya ttg Fahri dibuat cepat saja. Nah di KCB dibuat beberapa dan lambat, pokoknya terasa jemu dan membosankan.

Aneh
Furqon anak orang kaya. Furqon mau menghadapi ujian S2-nya. Agar bisa konsentrasi untuk belajar Furqon menyewa kamar di hotel. Saat di hotel di telp oleh seorang perempuan dan mengajaknya makan-makan. Furqon menolak. Dua kali perempuan itu menelpon tapi tetap Furqon menolaknya dengan alasan mau belajar. Setelah itu Furqon tidur. Dipagi harinya saat dia terbangun mendapati dirinya telanjang. Di dalam laptopnya ada foto-foto porno dia dengan perempuan yang menelaponnya disertai pesan untuk mengirimkan sejumlah uang ke sebuah rekening, kalau tidak foto-fotonya akan disebarkan.

Selanjutnya Furqon diketahui disuntik virus HIV oleh perempuan tadi, sehingga dia mengidap penyakit AIDS, karena itu dia harus meninggalkan mesir. Furqon mahasiswa kaya yang baik, menjadi qorban fitnah dan penyuntikan virus AIDS menjadi sosok antagonis, karena dia menjadi penghalang bersatunya cinta Ana dan Azam, padahal Furqon melamar Ana dengan baik-baik dan tidak ada pemaksaan.

Furqon hanya diuntungkan karena dia menjadi anak dari keluarga kaya dan kenal lebih dulu kepada Ana dibanding Azam.

Tentang sosok Ana
Ana digambarkan sebagai perempuan cantik dan soleh sehingga menjadi "rebutan" Azam dan Furqon. Tapi (maaf bukan bermaksud melakukan penilaian secara fisik-hanya mengikuti logika film ini) secara fisik sosok Ana tidak lebih cantik dari pemeran-pemeran lainnya. Jadi selama nonton film itu kami selalu membandingkan tokoh ana dan tokoh wanita lainnya: "Ini lebih cantik kenapa bukan yang ini menjadi pemeran Ana?

Penggambaran kemiskinan
Azam berasal dari keluarga miskin, tapi perilaku dan setting keluarga Azam tidak terlihat sebagai keluarga miskin. Sekedar membandingkan dengan film Ayat-ayat Cinta. Penggambaran sebagai keluarga miskin dalam AAC dengan menampilkan cara berpakaian ibunya. Yang hanya memakai kerudung, dengan lengan pendek dan pakaian sederhana.

Tapi dalam film ini, ibunya, anak-anaknya semua mengenakan pakaian full jilbab. Dikampung saya orang-orang seperti itu adalah orang-orang kaya, mereka mampu menguliahkan anak-anaknya ke kota. Saat mereka pulang kampung, pakain seperti itulah yang mereka kenakan. Hasilnya film ini tidak berhasil menggambarkan kemiskinan keluarga Azam.

Tentang Ke Indonesiaan

Tiara menikah dengan Zulkifli. Saat pesta pernikahan itu banyak undangan yang datang, mereka duduk berderet di kursi-kursi yang disediakan. Semua perempuan di pesta pernikahan itu mengenakan jilbab. Tidak ada yang salah, tapi saya bertanya, apakah seperti itu Indonesia? Menurut saya penggambaran itu jauh dari realitas masyarakat Indonesia.

Banyak di kampung saya orang-orang yang berjuang untuk agama, tapi tidak semua anggota keluarganya mengenakan jilbab, apakah mereka akan dikesampingkan sebagai orang Islam? Sehingga realitas itu tidak boleh muncul dalam film islami ini?

Bukan hanya di kampung saya, tapi banyak disekitar kita.

Saat festival masakan Indonesia yang yang diadakan oleh mahasiswa Indonesia di mesir, yang terlihat tidak mengenakan jilbab hanya orang-orang Mesir, tapi kecuali Elina (anak dubes), semua perempuan bertampang Indonesia mengenakan jilbab.

Saya tidak dalam rangka menyuruh tidak menonton film ini, tapi merasa khawatir apabila film dakwah-film dakwah yang dibuat, menjauhkan masyarakat dari realitasnya. Selanjutnya dakwah melalui film hanya akan direspon sesaat.

Baca selengkapnya......