Kamis, 18 Juni 2009

Masih Berlanjut Mengenai KCB


Saya ucapkan terima kasih buat teman-teman yang telah menanggapi atau hanya membaca catatan saya tentang KCB, baik filmnya maupun novelnya. Catatan saya tentang filmnya sebenarnya lebih pada penggarapan film tersebut. Saya akui, bahwa film itu juga menghibur. Tapi bukan karena tidak menaroh hormat kepada Mas Mamang (Chaerul Umam) dan Imam Tantowi, saya menganggap penggarapannya tidak maksimal. Mungkin disebabkan oleh beberapa hal. Bisa karena hal-hal yang sifatnya teknis, campur tangan kang abik atau memang ketidakcermatan Mas Mamang. Sehingga adegan yang sebenarnya penonton bisa terharu, tapi (minimal saya) tidak terharu.

Dalam hal ini, saya berpendapat, karena tuntutannya harus sesuai novelnya, banyak plot yang tidak masalah kalau ditiadakan, dipaksakan ada. Dialog yang bisa dengan singkat, tapi dibuat panjang. Informasi yang bisa dibuat dengan dialog dua arah yang atraktif, tapi dibuat cenderung monolog.

Tapi tetap aja, dalam konteks bahwa film ini sebagai dakwah itu bukan hal prinsip. Mungkin ini hanya masalah RASA aja. Walaupun sebagain menganggap RASA ini juga penting, ini untuk menarik orang-orang yang semula hanya untuk mencari hiburan, tapi tercerahkan atau tersadarkan setelah menontonnya. Bukankan itu substansi dakwah. Kalau dakwah hanya diperuntukkan buat orang-orang yang sudah sadar-menjadi berkurang manfaatnya.

Dan karena penilaian, atau kritik saya banyak orang malah penasaran, itu bukan masalah. Yang mengeluarkan uang bukan saya, yang merasa terhibur bukan saya, yang merasa kecewa juga bukan saya. Yang untung juga bukan saya. Jadi saya fine aja. Saya sekedar sharing.

Untuk postingan kedua, saya menganggap serius. Karena ini masalah nilai yang didakwahkan oleh Kang Abik, apalagi setelah membaca novelnya. Menurut saya ada cara pandang yang salah, bahkan menurut saya "jahat".

Beberapa hal itu antara lain:
1. Generalisasi yang gegabah terhadap perempuan yang tertawa ngakak, yang disebutnya sebagai perempuan murahan, bahkan pelacur.

2. Ketidaksensitifan terhadap keluarga yang mempunyai anak dengan persoalan mental,dan lebih parah dilakukan oleh tokoh utama-sebagai sosok yang soleh.

4. Seorang solehah (istri-Anna, tokoh solehah) menyebut jahanam suaminya hanya karena sisuami tidak mau melayani hubungan seks. Padahal si suami melakukan dalam rangka melindungi istrinya-karena menganggap dirinya terkena aids.

5. Tidak ada keperdulian seorang istri solehah terhadap penderita HIV Aids, bahkan kepada suami.
Sementara di Amerika Serikat, istri Magic Jhonson tidak mau menceraikan dan tetap bersedia melakukan hubungan seks dengan Magic Jhonson, dan mereka mempunyai anak setelah itu. Dan istrinya tahu sebab Aids-nya karena gaya hidup Jhonson. (kira-kira lebih membangun jiwa mana?!). dr. Anna Silviana banyak menangani orang-orang yang terkena Aids dan istrinya tetap tidak mau bercerai, bahkan men-support suaminya untuk menjalani hidup secara normal.

6. Mengeneralisasi bahwa kemiskinan yang ada di Indonesia ini dikarenakan masyarakat Indonesia yang malas dan bermental kambing.

7. Masalah besar yang dituangkan di novel ini adalah masalah pencarian cinta, masalah hubungan laki-laki dan perempuan. Novel ini bukan bercerita tentang perjuangan seseorang yang tidak mempu menjadi sukses, bukan! happy ending novel ini adalah kepuasan malam pertama.

Dll, mudah-mudahan lain kali saya masih kuat menuliskannya

Nah karena penjelasan saya teman-teman menjadi penasaran juga? Buat saya tidak masalah. Saya hanya menyampaikan sesuatu yang saya anggap bermasalah dan itu kesalahan yang fatal buat saya. Bisa jadi tidak buat teman-teman.

Bahwa ada orang yang merasa tercerahkan, dengan mengetahui bahwa perempuan punya hak mahar, bahkan mahar tersebut berupa janji untuk tidak dipoligami, itu sah-sah saja.

Oh iya, teman saya seorang wartawan, sedang kebingungan mengembalikan amplop yang berisi uang yang diselipkan panitia KCB-MEGA FILM PEMBANGUN JIWA, saat mereka mengadakan konfrensi pers menjelang diputarnya film ini. Dia mengetahui setelah sampai rumah, dan dia menyesal tidak memeriksanya. Ada usul bagaimana mengembalikannya?

Wassalam,

wtarsono

Catatan: Sebelum dimuat di sini, tulisan ini diterbitkan di facebook-ku dan mendapat berbagai tanggapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar