Jumat, 19 Juni 2009

CAHAYA DARI LEBAK WANGI


Ketika tahun lalu Perpustakaan Nasional memberikan penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka  kepada Kiswanti, ada sesuatu yang penting terjadi di sana.

Penghargaan itu ditujukan kepada mereka yang berjasa mengembangkan perpustakaan dan minat baca di Indonesia. Sedangkan Kiswanti? Dia adalah seorang ibu rumah tangga lulusan Sekolah dasar yang bersuamikan kuli bangunan. Ia dihargai karena kegigihannya mengembangkan perpustakaan rakyat di daerahnya, Kampung Lebak Wangi, Parung, Jawa Barat.

Kiswanti adalah bukti bagaimana yang menyelamatkan Indonesia sebenarnya adalah rakyat kecil yang selama ini justru sering diabaikan saja dalam retorika pembangunan.

Wanita 48 tahun ini datang dari keluarga miskin dengan ayah seorang penarik becak yang tak cukup punya uang untuk membayar iuran sekolah anaknya. Di masa kecilnya, Kiswanti belajar membaca di bawah bimbingan ayahnya dengan menggunakan huruf-huruf yang digunting dari koran bekas. Salah seorang gurunya pernah meminta ia berhenti sekolah saja, karena ia miskin.

Kini, sang guru nyinyir itu sebaiknya bertemu lagi dengan Kiswanti. Si anak miskin itu tidak kaya. Ketika ditemui Madina, Kiswanti bercerita bahwa suaminya sedang bekerja membersihkan kolam renang di Jakarta. Tapi Kiswanti sendiri memiliki perpustakaan yang setiap hari dipenuhi anak dan remaja dari daerah sekitar yang lahap membaca dan belajar dengan menggunakan komputer. Lebih dari itu, itu bukan sekadar perpustakaan, melainkan semacam pusat aktivitas sosial dan ekonomi bagi para orangtua anak-anak itu.

Keterbatasan ekonomi tidak pernah menghalangi keperdulian Kiswanti terhadap pendidikan. Cita-citanya sederhana dan mulia: Dia ingin anak-anak Indonesia menjadi anak-anak yang pintar, anak-anak yang gemar membaca.

Bermain di Kuburan

Kiswanti terlahir dari keluarga miskin di Bantul, Jogjakarta. Karena kondisi ekonominya dia tidak bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi dari Sekolah Dasar (SD). Itupun dia bisa selesaikan karena sekolah membebaskan uang SPPnya mengingat nilai-nilainya yang sangat memuaskan dan seringnya dia mewakili sekolah untuk berbagai lomba.

Tetapi prestasi tersebut tidak datang begitu saja. Di tahun-tahun pertama ia justru sering menjadi sasaran hinaan dan cibiran teman-teman, bahkan gurunya. Pernah dia mendapatkan perlakuan yang sangat menyakitkan dari gurunya. Di kelas dua SD, ketika dia belum bayar SPP, wali kelasnya berkata: “Sudahlah kalau miskin, miskin saja jangan bermimpi untuk sekolah.”

Kiswanti selalu ingat dengan kata-kata gurunya, tetapi itu tidak meruntuhkan keinginannya untuk terus bersekolah. Bagaimanapun, peristiwa itu menjadikan Kiswanti merasa semakin terkucil dan karena itu ia memilih lebih banyak menghabiskan waktu istirahatnya di kuburan dekat sekolah.

Itu rutin dilakukannya sehingga menarik perhatian penilik yang datang ke sekolahnya. Ketika tahu bahwa Kiswanti adalah anak cerdas, sang penilik mengajukan usulan menarik: bagaimana kalau Kiswanti bermain di perpustakaan saja di masa istirahat? Tentu saja, tawaran itu langsung ia terima.

Akibatnya, kegemaran membaca Kiswanti tersalurkan yang, pada gilirannya, membuat nilai-nilai pelajara Kiswanti sangat baik. Dia lulus dengan nilai tertinggi. Merasa perduli dengan kecerdasan Kiswanti, salah satu guru di sekolahnya meminta kepada orang tuanya agar Kiswanti tinggal di rumahnya dan akan di sekolahkan.

Tetapi orang tua Kiswanti menolaknya. Kiswanti kecewa, dia menangis. Bapaknya berkata kepada Kiswanti. “Bapak minta maaf tidak bisa menyekolahkan kamu, tapi kalau kamu mau pintar, kamu lebih banyak baca saja, dan Bapak berjanji akan membawakan kamu koran setiap hari.” Janji itu ditepati, setiap pulang menarik becak Bapaknya membawakan koran untuk Kiswanti.

Kiswanti tidak puas dengan koran-koran yang dibawakan bapaknya. Dia berinisiatif untuk membeli buku-buku yang dia ingin baca. Untuk itu dia rela bangun pagi-pagi, saat kebanyakan orang masih terlelap tidur. Dia keluar rumah dengan membawa obor dan kemudian mencari dan mengumpulkan biji-biji melinjo. Biji melinjo yang terkumpul dia jual. Selain itu dia juga membantu mengelupas biji kacang. Upah mengelupas biji kacang dan hasil penjualan melinjo tersebut dia gunakan untuk membeli buku.

Pikirannya bergerak terus. Dia tahu, dia tidak mungkin hidup terus di kampung kelahirannya. Dia mendapati teman-teman seusianya bekerja di Jakarta. Saat mereka pulang dari Jakarta, Kiswanti melihat teman-temannya membawa banyak uang. Diapun tertarik dan memutuskan untuk ikut bekerja di Jakarta. “Tekad saya kalau mendapatkan uang akan saya pergunakan untuk membeli buku.”


Minta Gaji Berbentuk Buku

Di Jakarta Kiswanti bekerja sebagai pembantu rumah tangga seorang warga Filipina, di daerah elit Menteng. Kiswanti senang bukan kepalang ketika mengetahui majikannya mempunyai banyak buku. Bahkan sebagian buku yang dipajang sang majikan juga ia miliki.

Muncul gagasan Kiswanti untuk meminta kepada majikannya agar dia tidak digaji dengan uang, tapi dengan buku. “Bu tolong, saya gak usah digaji dengan uang, saya minta digaji dengan buku saja” Kiswanti menyampaikan dengan penuh harap kepada majikannya.

Ketika majikannya bertanya mengapa, Kiswanti menjawab mantap, “Saya ingin menambah koleksi buku saya.” Majikannya tidak setuju. Dia tetap menggaji Kiswanti dengan uang. Tapi kemudian Kiswanti diantar ke pusat buku bekas di Kwitang, Jakarta Pusat, untuk belanja buku. Sayangnya, Kiswanti hanya bekerja tiga bulan di rumah tersebut. Majikannya pulang ke negara asalnya. Kiswanti pun berniat pulang.

Ketika itu Kiswanti sudah mempunyai banyak buku hasil belanja di Kwitang. Dalam perjalanan pulang dia bertemu dengan Ngatmin, pemuda yang saat ini menjadi suaminya. Dia menawarkan kepada Kiswanti untuk menjadi pembantu rumah tangga orang Korea. Beberapa minggu setelah Kiswanti bekerja, Ngatmin melamarnya. Kiswanti menerimanya dengan beberapa syarat.

“Ada beberapa syarat yang saya ajukan ke Mas Ngatmin. Salah satunya, berapapun penghasilan yang saya dapat, tidak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tapi buat menambah koleksi buku. Mas Ngatmin setuju. Kami pun menikah pada bulan Agustus tahun 1987. ”

Membangun Perpustakaan

Tujuh tahu tinggal di desa asal, Kiswanti dan Ngatmin pindah ke kampung Lebakwangi. Parung, Jawa Barat tahun 1994. Saat itu kondisi daerah itu masih memprihatinkan belum ada listrik, belum ada telepon dan jalannya masih sangat rusak. Apalagi tak jauh dari sana ada lokasi ”warung remang-remang”.

Dengan segera hasrat Kiswanti untuk menyumbangkan apa yang dia punya pada masyarakat di sana tumbuh. Yang menjadi pusat perhatiannya pertama adalah anak-anak. Dia percaya harus ada yang diperbuat untuk menjaga pertumbuhan mereka. Apalagi menurut pengamatannya, anak-anak di sana kerap bertengkar dan kalau itu terjadi, lazim keluar kata-kata tak pantas dari mulut mereka.

Ia pun berinisiatif mengumpulkan beberapa anak di rumahnya. Agar anak-anak tertarik dia membuat beberapa permainan dengan menggunakan pelepah daun pisang, pelepah kelapa dan botol-botol bekas. ”Walau bagaimanapun dunia anak adalah dunia bermain, maka saya buatkan alat-alat bermain”.

Tapi lama-kelamaan anak-anak bosan dengan permainan-permainan itu. Kiswanti mengubah gaya – ia mulai mendongeng, bercerita. ”Tapi ceritanya tidak saya selesaikan, saya berharap itu akan mengundang penasaran dan mereka akan datang kembali”.

Benar saja, hari berikutnya mereka datang lagi, dan mereka memintanya melanjutkan cerita sebelumnya. Kesempatan itu Kiswanti gunakan untuk mendorong mereka mau membaca. “Bagi yang ingin membaca ceritanya, Bude pinjamkan buku, silahkan baca bukunya di rumah. Kalau sudah selesai kembalikan lagi, nanti Bude pinjamkan lagi buku yang lain”.

Pada awalnya tidak banyak anak yang terlibat, hanya sekitar lima anak. Tetapi dari lima anak tersebut berita soal aktivitasnya mulai tersebar ke anak-anak dan warga yang lain. Semakin lama anak-anak yang meminjam buku semakin banyak. “Dari situ saya menyimpulkan bahwa anak-anak sebenarnya minat bacanya tinggi. Yang membuat rendah adalah karena mereka tidak tahu dimana bisa mengakses buku, dimana meminjam buku.”

Dengan bertahap Kiswanti membuat peraturan tambahan. Peraturan pertama yang dia buat adalah agar anak-anak tidak boleh mengucapkan kata-kata kasar seperti ”bego, tolol, gua, elu, dan semacamnya”. Peraturan berikutnya: anak-anak yang datang kerumahnya untuk terlebih dahulu mandi. ”Kalau mereka tidak melaksanakan ketentuan itu, mereka akan diberi sanksi tidak boleh pinjam buku lagi.”

Kesuksesannya berdampak. Karena karena anak-anak yang meminjam buku semakin banyak, koleksi bukunya harus ditambah. Untuk itu Kiswanti memutuskan untuk berjualan jamu serta membuka toko kelontong, dengan modal pinjaman dari mejelis taklim yang dia ikuti. Hasil dari jualan jamu dan toko kelontongnya dia belikan buku. Dia pun menyisihkan 3000 rupiah dari uang belanjanya setiap hari. “Saya rela melaparkan diri agar saya dapat menambah koleksi buku.”

Nyatanya, itu pun belum cukup. Kiswanti ingin memperkenalkan buku lebih luas lagi kepada anak-anak di desanya. Untuk itu dia membeli sepeda dengan cara mencicil. Dengan sepeda itu, ia menyelenggarakan semacam “perpustakaan keliling”.

Dia bawa koleksi bukunya dalam keranjang yang dia ikat di sepeda sambil berjualan jamu. Setiap ada kerumunan anak, ia akan menghampiri dan menawarkan buku-bukunya untuk dibaca. Dia lakukan setiap hari selama sembilan bulan di tahun 2003. Aktivitas itu dia lakukan di sekitar tempat tinggalnya di kampung Lebakwangi, Parung, Bogor.

Tawarannya tidak selalu mendapat sambutan yang positif. Banyak anak yang tak acuh. Tapi kegigihan Kiswanti tidak surut. Lama-kelamaan usahanya membuahkan hasil. Kesadaran masyarakat sekitar terhadap pentingnya membaca perlahan tumbuh, sampai akhirnya Kiswanti memutuskan berhenti berkeliling dan membuka Warung Baca Lebakwangi (Warabal) di rumahnya.

Warabal

Saat ini Warabal yang dipimpinnya telah menjelma menjadi semacam pusat pemberdayaan rakyat di desanya. Dukungan datang dari mana-mana. Bantuan pemerintah sempat datang, begitu juga dukungan dari mereka yang bersimpati.

Anak-anak mulai dari usia 3 tahun sampai remaja SMA di Lebak Wangi menjadikan Warabal sebagai sarana mengembangkan pengetahuan dan wawasannya. Ada hampir 200 anak dan remaja terlibat dalam komunitas tersebut, dengan melibatkan 14 relawan diluar Kuswanti dan anaknya. Tidak itu saja Kiswanti juga membina orangtua mereka, dengan memberi pelatihan menjahit dan menyulam. Ada 175 ibu-ibu yang tergabung dalam kegiatan ini.

Cita-cita Kiswanti belum berhenti. Dia sudah membeli tanah di samping rumahnya, juga dengan cara dicicil. Tanah itulah yang ingin ia gunakan untuk membangun lokasi perpustakaan selanjutnya. “Saya merencanakan membuat bangunan dua lantai. Nanti akan dibedakan mana buku-buku untuk anak-anak, remaja dan orang tua. Saya rasa buku-buku untuk orang tua juga penting,” ujar sang ibu teladan.

Kiswanti seorang istri kuli bangunan. Tapi apa yang dilakukannya mungkin lebih bermakna dari seorang Menteri Pendidikan.

(wtarsono)

Tulisan ini pernah di muat di Majalah Madina edisi Maret 2009, dengan judul Pejuang Aksara dari Lebakwangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar