Rabu, 31 Desember 2008

Booming Media 'Merah' di Tengah Atmosfer Kehidupan Kita


JAKARTA) - Atmosfer kehidupan kita sudah lama dibanjiri koran, majalah maupun tabloid yang mengeksploitasi kekerasan dan pornografi. Sebenarnya sudah banyak pihak yang menyuarakan protes dan keberatan atas kehadiran media-media semacam ini. Namun suara mereka seperti mengisi ruang kosong, tidak ada yang menanggapi apalagi mengambil tindakan untuk menertibkan media-media "merah" yang begitu vulgar mengumbar syahwat dan kekerasan.

Seruan boikot pun tidak begitu ditanggapi, kecuali oleh mereka yang benar-benar sadar dan kritis akan dampak media-media kasar dan porno ini terhadap moral masyarakat. Sepertinya tidak ada satupun kekuatan yang mampu menyensor apalagi mengendalikan kehadiran media-media semacam ini. Apakah kita hanya berdiam diri menontot makin bebas dan vulgarnya media-media "merah" beredar di masyarakat ?
Dampak Kebebasan Pers Dan Aturan Yang Lemah ?
Bahwa kekerasan entah itu tindak kriminal atau kekerasan seksual terjadi di masyarakat, adalah sebuah fakta yang bisa menjadi bahan berita bagi media massa. Berita-berita semacam ini, sebenarnya bisa menjadi kontrol sosial agar masyarakat waspada dengan ancaman kekerasan dan kejahatan. Sepanjang penyajiannya sesuai dengan kaidah jurnalistik dan tidak melanggar etika, tentu tidak jadi masalah.

Persoalannya, media-media tertentu menyajikannnya dalam bentuk yang sangat vulgar baik dalam bentuk gambar maupun gaya penulisan beritanya. Yang tambah memprihatinkan, media-media non-berita yang menjual aurat perempuan juga kian marak dan dijual bebas dengan harga yang murah meriah. Sehingga anak-anak dibawah umur pun bisa membacanya. Sebut saja koran Lampu Merah, tabloid Hot, WOW, Pop, Lipstik dan masih banyak lagi.

Munculnya koran dan tabloid-tabloid semacam itu, merupakan salah satu ekses kebebasan pers di Indonesia yang mulai terbuka pada era reformasi. Pakar di bidang pers yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pers Atmakusumah ketika dimintai pendapatnya mengungkapkan, tiap kali kebebasan pers dibuka di negara-negara demokrasi, eksesnya pasti ada. Yaitu munculnya media-media baru yang jumlahnya kadang sampai overdosis.

“Overdosis disini maksudnya, akan timbul upaya-upaya kreatif pengelola media pers untuk menciptakan apa saja yang menurut mereka bisa disajikan, karena ada pasar. Jadi ada 2 hal, ekses overdosis dari kebebasan pers, dan kedua karena adanya pasar,” jelas Atmakusumah.

Sedangkan dari sisi undang-undangnya, Atmakusumah menyatakan perangkat undang-undangnya sebenarnya sudah tersedia. Tapi pasal-pasalnya masih banyak yang multi interpretable. Misalnya soal definisi pornografi, “Sampai sekarang dimanapun di dunia tidak ada definisi yang pas untuk pornografi, di tiap kelompok atau tiap bangsa,” tambahnya.

Sementara itu, Warsa Tarsono dari Aliansi Masyarakat Anti Pornografi dan Pornoaksi (AMAPP) cenderung melihat lemahnya pemerintahan kita dalam mengatur munculnya media massa yang bisa menyebabkan terjadinya penyimpangan moral dan etika.

Warsa Tarsono yang pernah membuat hasil pemantauan tentang peredaran tabloid-tabloid pornografi itu menyatakan, peredaran media-media semacam ini, termasuk koran-koran yang dianggap vulgar dalam memberitakan peristiwa kriminal dan kekerasan, sudah dalam taraf yang mengkhawatirkan. Untuk itu, menurut Warsa sudah saatnya dibuat regulasi untuk menertibkan peredaran media-media seperti ini.

Deregulasi macam apa yang sebaiknya dibuat? Pakar pers yang masih mengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo Atmakusumah menyatakan, Dewan Pers pernah mengusulkan sebaiknya dibuat Undang-Undang Distribusi. “Dengan begitu kita tidak terlibat dalam perdebatan misalnya apa itu pornografi, seberapa jauh batasannya. Tapi, pokoknya setiap media apakah media pers atau bukan pers, kalau memang keberadaannya ditentang oleh masyarakat, maka distribusinya atau penjualannya bisa dibatasi,” tukasnya.

Hal ini menurut Atmakusumah dilakukan di berbagai negara, misalnya media-media serupa itu hanya boleh dijual di toko-toko tertentu. Dan di toko tertentu itupun ditempatkan di tempat tertentu, tidak dijual secara terbuka di pinggir jalan. Dengan adanya regulasi semacam ini, kata Atmakusumah, paling tidak kita tidak terjerumus dalam larangan-larangan yang mengandung penafsiran beragam.

Lebih lanjut Atmakusumah mengatakan, dirinya tidak terlalu setuju kalau larangan-larangan muncul kembali, termasuk untuk media-media yang dianggap berisi pornografi dan kekerasan. “Kalau ingin ada pelarangan atau pembatasan yang lebih ketat, kembalikan saja pada hukum dan ajukan ke pengadilan. Putusan hakim nantinya pasti tidak memuaskan bagi sebagian masyarakat,” tandas Atmakusumah.
Kuncinya Ada di Masyarakat Sendiri

Berita kriminal atau kekerasan atau yang berbau pornografi harus diakui mampu menarik perhatian publik, sehingga cukup menguntungkan dari sisi pasar. Tapi jangan lupa, apa yang disajikan media bisa ditiru masyarakat, sesuai fungsi media sebagai penghubung dua kepentingan atau lebih. Tak heran kalau saat ini, media massa sering dituding sebagai salah satu penyebab turunnya moral masyarakat, termasuk remaja. Dan masyarakat konsumen media pun seolah dibuat tak berdaya dengan serangan media-media yang mengumbar kekerasan dan pornografi.

Tapi sebenarnya, masyarakat bukanlah pasien yang tidak berdaya. Mereka dinilai memiliki daya selektivitas dan filter berdasarkan tingkat pendidikan dan pengalamannya. Pertahanan masyarakat sebenarnya lebih kuat dari sekedar bisa menyaring media mana yang layak menurut ukuran mereka. Mereka bisa saja langsung membuang koran yang memang tidak mereka sukai, atau tidak membelinya.

Warsa Tarsono, dari Aliansi Masyarakat Anti Pornografi dan Pornoaksi menyatakan, karena sekarang era kebebasan pers, pada akhirnya tidak ada lembaga yang punya otoritas yang mengatur peredaran media yang berbau pornografi dan kekerasan. Maka gerakan masyarakatlah yang kemudian diharapkan mampu mengontrol media-media semacam itu. “ Pers hanya punya kewajiban etika. Cuma masalahnya jangankan etika yang tidak ada sangsinya, etika yang ada hukumannya saja masih dilanggar,” tegas Warsa.

Gerakan Masyarakat yang makin kuat, dinilainya, menjadi satu-satunya harapan agar bisa mengadukan kekerasan ataupun pornografi di media itu ke pengadilan.

Sementara Atmakusumah berpendapat lain. Kehadiran media-media semacam itu, menurutnya, tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Karena kalau ada media yang dianggap keterlaluan, pengelolanya bisa dipanggil oleh Dewan Pers dan diajak berdiskusi. Kasus semacam ini, lanjutnya, pernah terjadi dengan Harian Rakyat Merdeka yang sering membuat judul-judul yang sensational. Setelah pengelolanya dipanggil dan diajak berdiskusi, akhirnya ada perubahan.

Dari sisi masyarakat, Atmakusumah melihat tidak ada persoalan, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen. Menurutnya, harus ada penelitian yang lebih mendalam soal dampak media-media yang mengumbar kekerasan dan pornografi ini bagi masyarakat, sebelum memberikan penilaian bahwa media seperti ini hanya memberi dampak negatif bagi masyarakat.
Lampu Merah Tetap Pertimbangkan Etika
Lampu Merah sering dinilai sebagai media yang terlalu vulgar mengumbar kekerasan dalam berita-berita kriminalnya, baik dari sisi gambar maupun penulisan berita, khususnya judul berita. Namun harus diakui koran ini cukup diterima masyarakat, terbukti oplahnya yang cukup tinggi sekitar 115.000 eksemplar di Jabotabek, bahkan peredarannya sudah meluas ke beberapa daerah di Jawa dan luar Jawa.

Koran yang pertama terbit tanggal 26 November 2001 ini, menurut Redaktur Kriminalnya Tole Sutrisno, memang dikhususkan untuk berita-berita kriminal, dan dulu pernah memasang moto Love, Peace and Friend. Selain berita-berita kriminal, koran ini juga memuat informasi seputar kesehatan dan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan berita-berita olahraga.

“Kita menyajikan berita kriminal tapi tidak menyajikan sesuatu yang ‘ngeri’ gitu. Kita menyajikannya dengan soft,” kata Tole, ketika ditanya soal adanya penilaian miring terhadap koran Lampu Merah. Menurutnya, apa yang disajikan lampu merah baik dalam bentuk foto maupun judul berita tidak menyalahi aturan dan kaidah jurnalistik, karena itu sebagai penegasan berita dan bisa membuat orang tergelitik untuk membaca.

Tole tidak menampik, ada kepentingan bisnis untuk menarik pangsa pasar agar tertarik membeli lampu merah. Apalagi Lampu Merah memang mengambil segmen untuk kalangan bawah, sehingga harus menggunakan bahasa-bahasa yang sederhana. “Kita sebenarnya menyajikan jurnalistik simpel, bagaimana supaya masyarakat mengerti gitu aja,” ujar Tole.

Lebih lanjut Tole mengungkapkan, pihaknya juga punya kepedulian dengan kepentingan konsumen. Untuk itu, Lampu Merah pernah melakukan audisi dengan MUI, yang justru waktu itu yang dipermasalahkan soal iklan. Selain itu lampu merah juga sering menyisipkan tip untuk pembacanya, misalnya untuk berita yang tidak layak dibaca anak dibawah umur. Pesan-Pesan ini disisipkan dalam bentuk berita, aku Tole Sutrisno pada eramuslim. (lena/sultoni/eramuslim)

Tulisan ini diambil dari Swaramuslim.net

Baca selengkapnya......

Masjid dan Pemberdayaan Masyarakat (2)


MASJID AGUNG SUNDA KELAPA
Rumah Sehat dan Beasiswa Bagi Anak Yatim

Matahari belum terlalu terik, saat para petugas Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK) sedang mempersiapkan ruangan Aula Sakinah. Setiap hari jum’at para petugas memang mempunyai kesibukan tambahan, maklum setiap hari tersebut Masjid akan dipenuhi oleh banyak jamaah yang akan melakukan sholat jumat. Jamaah yang datang dan melakukan sholat, tidak saja memenuhi ruangan utama sholat bahkan Aula Sakinah dan halaman Masjid Agung Sunda Kelapa.

Sementara para petugas (Marbot) sedang mempersiapkan tempat sholat, di gedung depan Masjid Agung Sunda Kelapa ada kesibukan lain. Sebuah gedung bercat warna hijau berlantai lima. Dari jauh sudah terlihat gedung tersebut bertuliskan Rumah Sehat Masjid Agung Sunda Kelapa. Di dalam gedung tersebut dua orang ibu-ibu sedang menghadap petugas di sana. Mereka sedang mendaftarkan diri untuk mendapat pelayanan kesehatan. Ibu pertama bernama Kusninah mendaftarkan anaknya yang bernama Siti Jubaidah yang terkena penyakit kuning. Sementara Ibu kedua yang bernama Imas Rostiawati mendaftarkan anak dan suaminya, anaknya terkana sakit batuk, sedang suaminya terkena hernia.

“Sudah enam kali kami berobat ke sini, dua kali anak saya, saya tiga kali dan suami saya sekali”. Jawab ibu Imas saat ditanya seberapa sering berobat ke Rumah Sehat MASK. Ibu Imas mengaku senang dengan adanya Rumah Sehat MASK, disamping karena gratis pelayanannya juga bagus. “Petugas disini ramah, disamping itu dokternya mau menjawab setiap pertanyaan yang kami tanyakan. Berbeda dengan kalau saya berobat ke puskesmas, sering kalau kami bertanya mereka menjawab dengan ketus”. Tutur pak Sahrudin Malik suami dari ibu Imas.

Rasa senang juga diungkapkan oleh ibu Kusninah. “Saya baru pertama kami berobat ke sini, saya senang karena tidak bayar, kami merasa terbantu”. Tutur bu Kusninah.

Sejak 14 September 2007, di Masjid Agung Sunda Kelapa terdapat kesibukan lain diluar kegiatan keseharian yang sifatnya peribadatan. Sejak tanggal tersebut Masjid Agung Sunda Kelapa yang bekerjasama dengan Dompet Dhuafa Republika mengoperasikan Rumas Sehat. Sebuah layanan kesehatan yang diperuntukan bagi kalangan kaum dhuafa. Mereka yang tergolong dhuafa akan mendapatkan pelayanan kesehatan secara gratis. Perismian beroperasinya Rumah Sehat tersebut dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Sejak beroperasinya, Rumah Sehat menerima kurang lebih 30 pasien setiap harinya. Adapun pelayanan diberikan oleh Rumah Sehat MASK meliputi: pemeriksaan umum dan spesialis, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen polos, perawatan gigi, bersalin, obat, transportasi ambulance dan tindakan gawat darurat. “Untuk layanan spesialis saat ini kami sedang menunggu proses izin dari departemen kesehatan”. Ungkap Dr. Fachrizal Achmad, M, Si, direktur Rumah Sehat tersebut. Adapun layanan penyakit spesialis meliputi penyakit dalam, anak, bedah dan kebidanan. “Semula kami menginginkan adanya rawat inap, tetapi karena lokasi Rumah Sehat ini dekat masjid yang notabene tempat berkumpul dan lalu lalang banyak orang, Ibu menteri tidak mengizinkan”. Lanjut dr. Fachri.

Rumah Sehat, sebuah nama yang belum lazim untuk sebuah layanan kesehatan. Selama ini kita lebih mengenal istilah rumah sakit atau klinik. Terhadap hal ini dr. Fachrizal memberikan argumentasinya. “Kami ingin merubah paradigma masyarakat tantang layanan kesehatan”. Dalam pandangan dr. Fachrizal selama ini banyak orang datang ke rumah sakit dengan terpaksa, terpaksa karena sakit. Lebih miris lagi mereka datang ke rumah sakit bukannya mendapat kesembuhan tetapi menambah penyakit yang disebabkan ketidakpuasan pelayanan dan beban biaya. “Nah beban-beban seperti itu ingin kami hilangkan, terutama bagi kalangan orang-orang yang memang sudah terbebani kehidupannya karena kekurangan ekonomi. Kami ingin menciptakan bawah sadar dalam pikiran orang yang datang kesini, mereka akan sehat”. Tuturnya bersemangat

Ternyata hal itu dirasakan oleh pasien yang datang ke situ. Menurut pengakuan ibu Imas, dia merasakan adanya perasaan senang dan yakin akan kesembuhannya. “Kami berobat kesini seperti kami mau jalan-jalan, kami saling mengajak saat ada diantara kami mau berobat”. Imbuhnya.

Rumah Sehat merupakan salah satu Masjid Agung Sunda Kelapa, selain program tersebut mereka mempunyai program-program lain dalam pelayanan terhadap jamaah dan ummat. Ada empat bidang antara lain: Bidang keagamaan, sosial, usaha dan pendukung operasi. Bidang keagamaan meliputi ibadah mahdah, zakat, infak, shodaqoh dan wakaf, dakwah dan majelis ta’lim. Bidang Usaha meliputi penyewaan propoerti, koperasi dan jasa pelatihan. Sementara bidang sosial meliputi pembinaan individu, institusi dan remaja islam.

Dalam bidang sosial pembinaan individu mempunyai program beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu. Jumlah anak yang diberi biaya sekolah mencapai 200 anak. Mereka diberikan beasiswa sampai tingkat SMA. Selain diberikan biaya sekolah mereka, dibina keagamaannya seminggu sekali. Sementara untuk orang tua mereka, diadakan pengajian sebulan sekali.

Masjid Agung Sunda Kelapa juga selalu mengadakan kegiatan tanggap darurat, seperti bantuan kepada orang-orang yang terkena bencana alam. Selain memberi bantuan yang berbentuk sandang dan pangan, juga membantu mendirikan kembali masjid-masjid yang hancur karena bencana alam tersebut.

Salam

MWT

Tulisan ini sudah dimuat di Majalah Madina. Tulisan tentang masjid lainnya akan diposting menyusul.

Baca selengkapnya......

Pengalaman Mewawancarai Ketua MPR RI


Minggu kemarin saya ditugaskan oleh Majalah Madina untuk mewawancarai Ketua MPR Dr. Hidayat Nur Wahid. Majalah Madina adalah tempat dimana saya nyambi sebagai wartawan. Saya diminta mewawancarai Pak Hidayat tentang usulan Pak Hidayat terhadap MUI untuk membuat fatwa haram golput.

Walaupun dunia jurnalistik bukan sesuatu yang baru buat saya, tetapi profesi resmi sebagai wartawan baru kali ini.

Semula saya agak ragu untuk dapat menghubungi Pak Hidayat, karena waktu yang sudah agak mepet. Akhirnya saya mencoba mengubungi teman-teman aktivis PKS yang saya kenal, dari dia kemudian saya mendapat nomor telepon Pak Umar, sekretaris Pak Hidayat.

Secepatnya saya menghubungi Pak Umar. Dari Pak Umar saya dianjurkan untuk menghubungi Pak Dikarno, orang sekretariat MPR. Pak Dikarno menyarankan saya untuk membuat surat dan dikirim melalui fax. Saya ikuti prosedur tersebut, setelah dikirim saya mengkonfirmasi ke Pak Dikarno, apakah suratnya sudah diterima. "Sudah, dan sudah taroh di meja Bapak". Jawab Pak Dikarno.

Mendengar jawaban tersebut, saya lega, kemudian merencanakan untuk mengkonfirmasi besok harinya. Esok harinya, waktu menunjukan sekitar pukul 8 pagi, saat itu saya masih bersiap untuk berangkat kerja. Tiba-tiba HP saya berdering, dan dari sebrang terdengar suara, "Ini Pak Warsa?". "Iya Pak". "Bapak besok diterima untuk wawancara jam 1 siang". Saya kaget dan surprise mendengar berita itu. "Oh iya pak, terima kasih". Jawab saya."Bapak besok ketemu saya dulu". Iya pak, terima kasih, jawab saya kembali. Saya pun merencanakan untuk mengkonfirmasi kembali pagi harinya sebelum saya bernagkat wawancara.

Esok harinya saya pun masih bersiap, waktu sekitar pukul 8an. HP saya berdering dan saya angkat, terdengar suara dari HP saya. "Dengan Pak Warsa?". "Iya Pak". "Jadi Pak wawancara dengan Pak Hidayat?". "Jadi". "Saya mau konfirmasi aja, Bapak datang sebelum jam 1 ya, takutnya Bapak ada acara lain". "Iya Pak". Terima kasih Pak. Kami menutup pembicaraan.

Pukul 12.30 saya sudah di gedung MPR dan langsung menuju ruangan Pak Hidayat Nur Wahid. Petugas keamanan di MPR bertanya tantang keperluan saya, dan saya katakan saya sudah punya janji untuk mewawancarai Pak Hidayat Nur Wahid. Petugas mempersilahkan saya untuk masuk. Saat saya sedang menunggu lift terdengar suara petugas keamanan di sana berkoordinasi dengan petugas yang jaga di ruangan ketua MPR menggunakan HT. "Monitor, ini ada satu orang walet menuju ke sana, dia sudah punya janji dengan pak Hidayat untuk wawancara, gitu ganti". "86". Terdengar jawaban dari suara HT nya.

Mendengar percakapan tersebut saya tersenyum sendiri. "Oooh walet toh istilah buat wartawan, baru tahu aku". Ucap saya dalam hati. Saya tahu para petugas keamanan sering menggunakan istilah-istilah sendiri untuk percakapan antara mereka. Dan itu saya tahu setelah beberapa lama bergaul dengan petugas keamanan di Al Azhar. Untuk areal sekolah misalnya mereka menggunakan istilah solo, ada juga medan 1 dan medan 2 dst.

Saya sampai di lantai ruangan Pak Hidayat langsung disambut oleh petugas di sana, petugaspun langsung memberikan khabar kepada saya. "Pak Hidayat masih di jalan, Bapak diminta nunggu, silahkan Bapak bisa nunggu di situ". Sambil menunjuk kursi tamu yang ada di lantai itu. "Oke Pak, kalau mau sholat dulu dimana Pak? Tanya saya. "Oh di sana, sini saya antar" Sambil bergegas mengantarkan saya ke tempat sholat. Saya merasa surprise mendapat perlakuan tersebut. Semula saya berharap cuma ditunjukkan tempatnya saja, tetapi malah dia mengantarkan saya sampai ke tempat sholat tersebut. Saya kagum atas perlakuan tersebut, dalam hati, saya merasa bangga ternyata gedung MPR mempunyai petugas yang bisa memberi pelayanan dengan baik, seperti sering saya temui di gedung-gedung swasta.

Saya tadinya mafhum kalau di gedung MPR ini petugasnya sama dengan gedung-gedung pemerintah lainnya, yang sering kali cuek sama tamu-tamu yang datang. Kalau diminta menunjukan sesuatu, kebanyakan mereka sering menjawab seadanya dan kemudian berlalu. Tetapi saat ini di gedung MPR tidak, jadi saya surprise sekali.

Beberapa waktu setelah menunggu, Pak Hidayat datang, tak lama kemudian saya diminta untuk masuk ruangan. Saat inipun saya menerima pelayanan yang memuaskan, saya diantar ke ruangan, dan kemudian dipersilahkan dengan sopan oleh petugas.

Tak lama saya langsung mewawancarai Pak Hidayat, ada beberapa pertanyaan saya ajukan, tetapi memang lebih banyak mengenai usulan dia agar MUI membuat fatwa. Dari wawancara tersebut saya mengetahui latar belakang Pak Hidayat memberikan usulan tersebut. Argumen-argumennya cukup rasional, dan menunjukan dia sebagai seorang negarawan.

Terus terang saya sendiri semula berencana untuk golput pada pemilu legislatif, tetapi akan memilih saat pemilu presiden. Dengan argumen Pak Hidayat saya berpikir untuk merubah rencana saya, walaupun belum tentu akan memilih PKS. "Yang penting gunakan hak pilih". Sedikit saya kutifkan wawancara beliau.

Untuk lebih lanjut mengetahui hasil wawancara saya silahkan membacanya, tentu saja dengan membeli Majalah Madina. website Majalah Madina: www.madina.co.id.

Selama saya menjalani preses wawancara tersebut, ada dua hal yang membuat saya surprise. Pertama keseriusan staf MPR menjadwalkan dan memberikan pelayanan wawancara saya dengan Pak Hidayat. Kedua Pelayanan para petugas keamanan yang maksimal terhadap saya. Untuk itu saya berdoa semoga mereka menjadi orang-orang yang selalu bisa dibanggakan.

Tapi sayangnya saya masih melihat beberapa staf lain dengan cueknya merokok di tempat yang terlarang untuk merokok, di gedung MPR tentunya. Ketika fotografer saya menegornya staf tersebut dengan seenaknya menjawab "Saya bukan merokok, tapi memegang rokok", padahal rokok yang dia pegang menyala. Terselip rasa sedih dalam hati saya.

Wassalam,

MWT

Baca selengkapnya......

Selasa, 30 Desember 2008

Masjid dan Pemberdayaan Masyarakat (1)


MASJID AGUNG AL-AZHAR
Pinjaman Pengembangan Usaha, Poliklinik dan Rumah Gemilang

Seorang perempuan muda turun bergegas dari Halte Busway di depan Masjid Agung Al-Azhar. Waktu menunjukan hampir jam tujuh malam. Karena tidak ingin kehabisan waktu maghrib, perempuan itu berjalan dengan cepat. Adegan seperti itu sering kali didapati di depan Masjid Agung Al-Azhar. Mungkin karena keberadaannya dekat terminal Blok M, banyak orang menjadikan Masjid Agung Al-Azhar sebagai tempat transit dan melaksanakan sholat maghrib sebelum melanjutkan perjalanannya.

Masjid Agung Al-Azhar termasuk masjid tua yang masih tetap kokoh berdiri. Dan di Masjid tersebut ulama besar Buya Hamka dulu beraktivitas dan mengembangkan dakwahnya.

Kini disamping kiri dan kanan masjid tersebut berdiri bangunan yang lebih tinggi. Bangunan sebelah kakan masjid difungsikan sebagai sekolah al-azhar dari Taman kanak-kanak sampai SMA dan bangunan sebelah kiri digunakan Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI). Al-Azhar memang, disamping terkenal dengan masjidnya juga terkenal dengan pendidikannya.

Al-Azhar dikelola oleh Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar. Dibuat tiga bidang kelompok program. Pertama Bidang Dakwah, kedua bidang pendidikan dan ketiga bidang usaha.

Bidang Da’wah meliputi pengelolaan masjid, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan ibadah dan beberapa kegiatan yang sifatnya keagamaan. Di setiap Masjid yang di kelola YPI Al-Azhar bentuk pengurus Takmir. Pengurus takmir ini yang kemudian bertanggungjawab untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan dibawah kemasjidan termasuk di dalamnya pengelolaan Aula Buya Hamka yang disewakan kepada masyarakat umum sebagai sumber keuangan pengelolaan masjid.

Sumber keuangan lain diperoleh dari penggalangan infak dan zakat jamaah dan masyarakat umum. Dari dana infak dan zakat inilah kemudian pengurus takmir membuat program-program keagamaan dan sosial. Program sosial yang saat ini dilakukan adalah pemberian beasiswa kepada anak-anak yatim, yang dikelola oleh yayasan-yayasan anak yatim yang bermitra dengan Al-Azhar.

Selain itu kegiatan sosial lainnya yang sedang dijalankan adalah pemberdayaan ekonomi yang bekerjasama dengan PT. Prima Heza Lestari (PT PHL). Bentuk pemberdayaannya adalah memberikan pinjaman untuk pengembangan usaha dibawah pengelolaan PT. PHL tersebut. Bentuk kerjasamanya adalah Al-Azhar memberikan dana zakat kepada PT. PHL dan melakukan pengawasan, sementara PT PHL berkewajiban mengelola dana tersebut dan secara rutin memberikan laporannya.

Pada tahap pertama kerjasama Masjid Al-Azhar memberikan dana sebesar 15 juta yang disalurkan kepada 31 orang. Program ini dimulai pada bulan Mei 2007. Setelah program ini berjalan beberapa bulan masyarakat antusias menerima program ini. Saat ini masyarakat semakin banyak yang mengajukan diri untuk mendapat pinjaman dana tersebut. Disamping karena cicilannya ringan, pinjamannya juga tidak berbunga, hanya memberikan infak pengelolaan. Jumlah orang yang diberikan pinjaman pada bulan Desember bertambah menjadi 58 orang.

Saat ini masjid Al-Azhar merencanakan menambah jumlah dana yang akan disalurkan sebesar 47 juta. “Kami puas dengan pelaksanaan program ini, selanjutnya bahkan kami akan mengembangkan ke wilayah lain. Kami akan mencoba dengan menggunakan jaringan masjid”. Ungkap Abdurrahman Gayo salah seorang Pelaksana Harian Takmir Masjid Agung Al-Azhar.

Kegiatan lain yang berorientasi sosial dilingkungan Masjid Agung Al-Azhar di lakukan oleh Lembaga Amil Zakat (LAZ) Al-Azhar. Lembaga ini dibawah tanggungjawab Bidang Usaha YPI Al-Azhar. Kewenangan lembaga ini yaitu melakukan penggalangan zakat kepada jamaah Al-Azhar dan masyarakat umum, dari dana yang terkumpul LAZ membuat program-program sosial.

Banyak program yang telah digulirkan oleh LAZ Al-Azhar antara lain: Poliklinik umum dan gigi, pemberdayaan pengrajin, pemberdayaan pesantren, training cleaning service, benah madrasah, benah rumah ibadah, bea penghafal al-qur’an dan layanan jenazah gratis.

Program Poliklinik gratis telah berjalan sejak Desember 2007, dengan berlokasi di Cigombong Sukabumi. Pilihan lokasi tersebut karena daerah tersebut selain kerana kemampuan ekonomi masyarakat disana masih lemah juga karena diwilayah itu jauh dari puskesmas.

Untuk keperluan layanan kesehatan tersebut LAZ Al-Azhar membangun gedung dua lantai dengan menghabiskan hampir 400 juta. Dana itu diperolah dari BAMUIS BNI, dana zakat dan infaq orang tua dan murid-murid Al-Azhar. “Satu lantai digunakan untuk layanan kesehatan, satu lantai lainnya sedang kami rencanakan untuk digunakan balai latihan kerja (BLK), kami menamakannya rumah gemilang”. Tegas Muhammad Anwar Sani Direktur Operasional LAZ Al-Azhar. “Kerena selain untuk BLK akan digunakan juga untuk bimbingan belajar bagi anak-anak berprestasi”. Lanjutnya

Sejak beroperasi, setiap hari poliklinik Al-Azhar melayani kurang lebih 30 orang. Jumlah keluarga yang terdaftar sebagai member poliklinik Al-Azhar sebanyak 100 Keluarga.

Selain mengoperasikan poliklinik di Cigombong, LAZ Al-Azhar juga memberikan pelayanan kesehatan gratis di lingkungan Masjid Agung Al-Azhar. Para kaum dhuafa yang terganggu kesehatannya bisa mengajukan diri ke kantor LAZ Al-Azhar, selanjutnya mereka akan diantarkan ke klinik Al-Azhar. Pembiayaan pengobatannya akan dibayar oleh LAZ Al-Azhar.

Program sosial lainnya adalah pemberdayaan ekonomi. Program ini meliputi pemberian modal usaha, pelatihan keterampilan dan pemberdayaan pengrajin dan terumbu ikan. Program pemberian modal usaha diberi nama dengan program Ibu Mandiri. Program ini baru sekali dilaksanakan bertepatan dengan hari Ibu. Program ini diberikan kepada ibu-ibu yang ingin membuka usaha kecil. Madal usaha yang diberikan sebesar satu juta rupiah.

Program pelatihan keterampilan yang pernah diadakan adalah training cleaning service. Program ini bekerjasama dengan perusahaan penyalur cleaning service, sehingga para peserta training tersebut langsung disalurkan untuk bekerja. “Kami sangat senang, beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan salah satu peserta dan saat ini katanya dia sudah mampu membeli sebidang tanah untuk dibangun rumah”. Tutur Anwar Sani dengan wajah yang sumringah.

Rasa senang juga diungkapkan Anwar Sani, belum lama ini dia mendapat khabar terumbu ikan di pesantren yang dia bantu sebentar lagi akan panen untuk ke lima kali. Anwar Sani mengungkapkan bahwa beberapa waktu lalu LAZ Al-Azhar membantu tiga pesantren untuk membuat terumbu ikan. Tiga pesantren yang dibantu berada satu di Maninjau Padang, satu di Klaten dan satu lagi di Parung Panjang. Pesantren di Padang akan panen untuk ke lima kali. Sementara yang lainnya baru akan yang ketiga kali. “Yang di Padang memang hanya pembesaran saja, jadi mereka lebih cepat panen” Ungkapnya lagi.

Melihat kemajuan penggalangan dan pelaksanaan program LAZ AL-Azhar, Anwar Sani terinspirasi untuk mengmbangkan lebih luas Lembaga Amil Zakat (LAZ) berbasis masjid. Ada beberapa keuntungan LAZ berbasis masjid antara lain masjid mempunyai jamaah dan masjid selalu disinggahi orang-orang baru. Apabila sebuah masjid bisa mengembangkan lembaga zakat, akan mempunyai dana untuk melakukan pemberdayaan kepada masyarakat umum. Terutama kepada mereka yang masih lemah ekonominya. Sehingga masjid bukan hanya untuk ibadah ritual saja, tetapi sebagai penggerak kesejahteraan masyarakat sekitarnya.

Tulisan ini pernah di muat di Majalah Madina. Ini salah satu tulisan hasil liputan 4 masjid lainnya di Jakarta. Tulisan masjid lainnya menyusul.

Baca selengkapnya......