Rabu, 31 Desember 2008

Booming Media 'Merah' di Tengah Atmosfer Kehidupan Kita


JAKARTA) - Atmosfer kehidupan kita sudah lama dibanjiri koran, majalah maupun tabloid yang mengeksploitasi kekerasan dan pornografi. Sebenarnya sudah banyak pihak yang menyuarakan protes dan keberatan atas kehadiran media-media semacam ini. Namun suara mereka seperti mengisi ruang kosong, tidak ada yang menanggapi apalagi mengambil tindakan untuk menertibkan media-media "merah" yang begitu vulgar mengumbar syahwat dan kekerasan.

Seruan boikot pun tidak begitu ditanggapi, kecuali oleh mereka yang benar-benar sadar dan kritis akan dampak media-media kasar dan porno ini terhadap moral masyarakat. Sepertinya tidak ada satupun kekuatan yang mampu menyensor apalagi mengendalikan kehadiran media-media semacam ini. Apakah kita hanya berdiam diri menontot makin bebas dan vulgarnya media-media "merah" beredar di masyarakat ?
Dampak Kebebasan Pers Dan Aturan Yang Lemah ?
Bahwa kekerasan entah itu tindak kriminal atau kekerasan seksual terjadi di masyarakat, adalah sebuah fakta yang bisa menjadi bahan berita bagi media massa. Berita-berita semacam ini, sebenarnya bisa menjadi kontrol sosial agar masyarakat waspada dengan ancaman kekerasan dan kejahatan. Sepanjang penyajiannya sesuai dengan kaidah jurnalistik dan tidak melanggar etika, tentu tidak jadi masalah.

Persoalannya, media-media tertentu menyajikannnya dalam bentuk yang sangat vulgar baik dalam bentuk gambar maupun gaya penulisan beritanya. Yang tambah memprihatinkan, media-media non-berita yang menjual aurat perempuan juga kian marak dan dijual bebas dengan harga yang murah meriah. Sehingga anak-anak dibawah umur pun bisa membacanya. Sebut saja koran Lampu Merah, tabloid Hot, WOW, Pop, Lipstik dan masih banyak lagi.

Munculnya koran dan tabloid-tabloid semacam itu, merupakan salah satu ekses kebebasan pers di Indonesia yang mulai terbuka pada era reformasi. Pakar di bidang pers yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Pers Atmakusumah ketika dimintai pendapatnya mengungkapkan, tiap kali kebebasan pers dibuka di negara-negara demokrasi, eksesnya pasti ada. Yaitu munculnya media-media baru yang jumlahnya kadang sampai overdosis.

“Overdosis disini maksudnya, akan timbul upaya-upaya kreatif pengelola media pers untuk menciptakan apa saja yang menurut mereka bisa disajikan, karena ada pasar. Jadi ada 2 hal, ekses overdosis dari kebebasan pers, dan kedua karena adanya pasar,” jelas Atmakusumah.

Sedangkan dari sisi undang-undangnya, Atmakusumah menyatakan perangkat undang-undangnya sebenarnya sudah tersedia. Tapi pasal-pasalnya masih banyak yang multi interpretable. Misalnya soal definisi pornografi, “Sampai sekarang dimanapun di dunia tidak ada definisi yang pas untuk pornografi, di tiap kelompok atau tiap bangsa,” tambahnya.

Sementara itu, Warsa Tarsono dari Aliansi Masyarakat Anti Pornografi dan Pornoaksi (AMAPP) cenderung melihat lemahnya pemerintahan kita dalam mengatur munculnya media massa yang bisa menyebabkan terjadinya penyimpangan moral dan etika.

Warsa Tarsono yang pernah membuat hasil pemantauan tentang peredaran tabloid-tabloid pornografi itu menyatakan, peredaran media-media semacam ini, termasuk koran-koran yang dianggap vulgar dalam memberitakan peristiwa kriminal dan kekerasan, sudah dalam taraf yang mengkhawatirkan. Untuk itu, menurut Warsa sudah saatnya dibuat regulasi untuk menertibkan peredaran media-media seperti ini.

Deregulasi macam apa yang sebaiknya dibuat? Pakar pers yang masih mengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo Atmakusumah menyatakan, Dewan Pers pernah mengusulkan sebaiknya dibuat Undang-Undang Distribusi. “Dengan begitu kita tidak terlibat dalam perdebatan misalnya apa itu pornografi, seberapa jauh batasannya. Tapi, pokoknya setiap media apakah media pers atau bukan pers, kalau memang keberadaannya ditentang oleh masyarakat, maka distribusinya atau penjualannya bisa dibatasi,” tukasnya.

Hal ini menurut Atmakusumah dilakukan di berbagai negara, misalnya media-media serupa itu hanya boleh dijual di toko-toko tertentu. Dan di toko tertentu itupun ditempatkan di tempat tertentu, tidak dijual secara terbuka di pinggir jalan. Dengan adanya regulasi semacam ini, kata Atmakusumah, paling tidak kita tidak terjerumus dalam larangan-larangan yang mengandung penafsiran beragam.

Lebih lanjut Atmakusumah mengatakan, dirinya tidak terlalu setuju kalau larangan-larangan muncul kembali, termasuk untuk media-media yang dianggap berisi pornografi dan kekerasan. “Kalau ingin ada pelarangan atau pembatasan yang lebih ketat, kembalikan saja pada hukum dan ajukan ke pengadilan. Putusan hakim nantinya pasti tidak memuaskan bagi sebagian masyarakat,” tandas Atmakusumah.
Kuncinya Ada di Masyarakat Sendiri

Berita kriminal atau kekerasan atau yang berbau pornografi harus diakui mampu menarik perhatian publik, sehingga cukup menguntungkan dari sisi pasar. Tapi jangan lupa, apa yang disajikan media bisa ditiru masyarakat, sesuai fungsi media sebagai penghubung dua kepentingan atau lebih. Tak heran kalau saat ini, media massa sering dituding sebagai salah satu penyebab turunnya moral masyarakat, termasuk remaja. Dan masyarakat konsumen media pun seolah dibuat tak berdaya dengan serangan media-media yang mengumbar kekerasan dan pornografi.

Tapi sebenarnya, masyarakat bukanlah pasien yang tidak berdaya. Mereka dinilai memiliki daya selektivitas dan filter berdasarkan tingkat pendidikan dan pengalamannya. Pertahanan masyarakat sebenarnya lebih kuat dari sekedar bisa menyaring media mana yang layak menurut ukuran mereka. Mereka bisa saja langsung membuang koran yang memang tidak mereka sukai, atau tidak membelinya.

Warsa Tarsono, dari Aliansi Masyarakat Anti Pornografi dan Pornoaksi menyatakan, karena sekarang era kebebasan pers, pada akhirnya tidak ada lembaga yang punya otoritas yang mengatur peredaran media yang berbau pornografi dan kekerasan. Maka gerakan masyarakatlah yang kemudian diharapkan mampu mengontrol media-media semacam itu. “ Pers hanya punya kewajiban etika. Cuma masalahnya jangankan etika yang tidak ada sangsinya, etika yang ada hukumannya saja masih dilanggar,” tegas Warsa.

Gerakan Masyarakat yang makin kuat, dinilainya, menjadi satu-satunya harapan agar bisa mengadukan kekerasan ataupun pornografi di media itu ke pengadilan.

Sementara Atmakusumah berpendapat lain. Kehadiran media-media semacam itu, menurutnya, tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Karena kalau ada media yang dianggap keterlaluan, pengelolanya bisa dipanggil oleh Dewan Pers dan diajak berdiskusi. Kasus semacam ini, lanjutnya, pernah terjadi dengan Harian Rakyat Merdeka yang sering membuat judul-judul yang sensational. Setelah pengelolanya dipanggil dan diajak berdiskusi, akhirnya ada perubahan.

Dari sisi masyarakat, Atmakusumah melihat tidak ada persoalan, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen. Menurutnya, harus ada penelitian yang lebih mendalam soal dampak media-media yang mengumbar kekerasan dan pornografi ini bagi masyarakat, sebelum memberikan penilaian bahwa media seperti ini hanya memberi dampak negatif bagi masyarakat.
Lampu Merah Tetap Pertimbangkan Etika
Lampu Merah sering dinilai sebagai media yang terlalu vulgar mengumbar kekerasan dalam berita-berita kriminalnya, baik dari sisi gambar maupun penulisan berita, khususnya judul berita. Namun harus diakui koran ini cukup diterima masyarakat, terbukti oplahnya yang cukup tinggi sekitar 115.000 eksemplar di Jabotabek, bahkan peredarannya sudah meluas ke beberapa daerah di Jawa dan luar Jawa.

Koran yang pertama terbit tanggal 26 November 2001 ini, menurut Redaktur Kriminalnya Tole Sutrisno, memang dikhususkan untuk berita-berita kriminal, dan dulu pernah memasang moto Love, Peace and Friend. Selain berita-berita kriminal, koran ini juga memuat informasi seputar kesehatan dan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan berita-berita olahraga.

“Kita menyajikan berita kriminal tapi tidak menyajikan sesuatu yang ‘ngeri’ gitu. Kita menyajikannya dengan soft,” kata Tole, ketika ditanya soal adanya penilaian miring terhadap koran Lampu Merah. Menurutnya, apa yang disajikan lampu merah baik dalam bentuk foto maupun judul berita tidak menyalahi aturan dan kaidah jurnalistik, karena itu sebagai penegasan berita dan bisa membuat orang tergelitik untuk membaca.

Tole tidak menampik, ada kepentingan bisnis untuk menarik pangsa pasar agar tertarik membeli lampu merah. Apalagi Lampu Merah memang mengambil segmen untuk kalangan bawah, sehingga harus menggunakan bahasa-bahasa yang sederhana. “Kita sebenarnya menyajikan jurnalistik simpel, bagaimana supaya masyarakat mengerti gitu aja,” ujar Tole.

Lebih lanjut Tole mengungkapkan, pihaknya juga punya kepedulian dengan kepentingan konsumen. Untuk itu, Lampu Merah pernah melakukan audisi dengan MUI, yang justru waktu itu yang dipermasalahkan soal iklan. Selain itu lampu merah juga sering menyisipkan tip untuk pembacanya, misalnya untuk berita yang tidak layak dibaca anak dibawah umur. Pesan-Pesan ini disisipkan dalam bentuk berita, aku Tole Sutrisno pada eramuslim. (lena/sultoni/eramuslim)

Tulisan ini diambil dari Swaramuslim.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar