Kamis, 27 Agustus 2009

Ramadhan Ceria Dengan Dongeng


Dongeng merupakan metode pembelajaran yang efektif untuk menanamkan nilai. Kami Rumah Belajar & Kreatifitas Sahabat Cahaya mengembangkan dongeng sebagai sarana pembelajaran sains. Melalui dongeng kami mengajak anak belajar, bergembira, bersenang-senang dengan sains.

Pada bulan puasa ini kami membuat paket acara sebagai pengisi acara buka puasa. Paket acara ini menggabungkan berbagai permainan yang menyenangkan (fun games), bermain sains dan dongeng sains. Pada penutup acara, kami sertakan ceramah agama dengan mengambil hikmah dari cerita dongeng tersebut.

Pengalaman Mendongeng

1. Dongeng Sains Lomba Insinyur Cilik Persatuan Insinyur Indonesia (PII)
2. Fun Science Day Wyeth Gold Club (WGC)
3. Sekolah St. Nicholas Pantai Indah Kapuk
4. Dongeng Sains BEN10 di Grand Indonesia
5. Dongeng Sains di Jakarta Islamic School Ciracas Jakarta Timur
6. Dongeng Sains di Fre-School Fair Mall Kelapa Gading
7. Dongeng Sains di Pejaten Village
8. Dongeng Sains di Dunia Anak TMII, dll

Contact Person: Warsa Tarsono (021) 989 46 165, Rudi Darmawan (021) 910 58 255

Baca selengkapnya......

Semut Merah Untuk Selamatkan Bumi


Saat ini pemanasan global kian menggila, polusi merajalela, cuaca tak beraturan. Akibat semua itu bumi yang kita singgahi, akan tidak aman lagi kita tempati. Diperkirakan akan melahirkan bencana alam sampai konflik sosial yang menakutkan. Tentu kita tidak menginginkannya. Karenanya perlu digerakan kesadaran masyarakat untuk menyelamatkan bumi.

Menyadari itu Kids Science Club (KSC) Sahabat Cahaya menggagas lahirnya program Semut Merah. Semut Merah adalah program penyadaran penyalamatan bumi dengan melakukan berbagai upaya kreatif memanfaatkan barang-barang bekas dan mengurangi bahan-bahan yang akan mencemarkan lingkungan. Program ini terutama diperuntukkan bagi siswa dan siswi sekolah dasar (SD).

Semut Merah merupakan program pengembangan dari Kids Science Club (KSC) Sahabat Cahaya yang telah bekerjasama dengan beberapa sekolah mengadakan program sains klub. Selama ini KSC Sahabat Cahaya telah bermitra dengan 15 Sekolah Dasar dengan jumlah anggota sekitar 2130 siswa.

Dalam program Sains Klub tersebut, KSC Sahabat Cahaya telah melakukan pembelajaran dan kreativitas sains tentang lingkungan. Metode pembelajaran yang digunakan antara lain dongeng (story telling), permainan (game), kerajinan tangan (handy craft) dan bermain peran (role play). Dengan metode tersebut anak-anak menjadi senang dan bergembira menerima pembelajaran tersebut.

Kami telah menetapkan visi, misi dan tujuan dari program Semut Merah, antara lain:

Visi
Melahirkan generasi Indonesia yang cinta lingkungan.

Misi
1. Menggalang dukungan publik untuk bersama-sama peduli terhadap dunia anak dan lingkungan hidup .
2. Memberdayakan masyarakat khususnya anak-anak melalui pendidikan popular untuk pelestarian lingkungan hidup.

Tujuan
1. Menjadikan anak-anak sebagai agen perubahan untuk penyelamatan lingkungan.
2. Menggalang dukungan masyarakat luas baik secara politik maupun Finansial dalam upaya penyelamatan lingkungan.
3. Menggugah kesadaran publik akan pentingnya penyelamatan lingkungan.
4. Merangkul pihak sekolah dasar dan taman kanak-kanak atau yg sederajat untuk bekerja sama dengan program Semut Merah.

Tentu upaya kami tidak akan berdampak maksimal jika tidak didukung oleh pihak lainnya. Oleh karenanya kami membuka keterlibatan dan kerjasama semua kalangan dalam berbagai bentuk.

Semut Merah: Agar bumi kita selamat.

Baca selengkapnya......

Sabtu, 15 Agustus 2009

BAKTERI MAUT TAK MENGALAHKAN DINDA


Perjalanan hidup yang semula menyenangkan buat Titiana Adinda, biasa dipanggil Dinda, tiba-tiba buyar saat dia terkena penyakit Meningitis. Penyakit itu datang tak terduga. Hari itu dia sedang bersiap untuk menonton bioskop bersama kekasihnya. Tiba-tiba ia terserang sakit kepala dan demam yang sangat hebat. Dinda mencoba meredakannya dengan meminum obat, tapi tidak berpengaruh.

Dinda tak kuasa menahan rasa sakit itu, dia merebahkan diri di kasur, sampai akhirnya dia tak sadarkan diri. Kekasihnya merasa curiga saat dia beberapa kali menelepon tidak diangkat. Dia bergegas menuju tempat tinggal Dinda. Dia dapati Dinda sudah tak sadarkan diri, segera dia bawa Dinda ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan, diketahui ternyata Dinda mengidap penyakit Meningitis TB.

Meningitis yang diderita Dinda adalah Meningitis yang diakibatkan oleh bekteri TBC. Bakteri tersebut menyerang selaput otak. Bakteri TBC ternyata tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga organ tubuh vital lain seperti otak, usus, tulang dan ginjal. Pada kasus penyakit Dinda ini, tenyata bakterinya tidak hanya menyerang selaput otak, tapi sudah menyerang jaringan otak. Dinda bukan lagi terkena penyakit Meningitis tetapi Meningoensefalitis.

Titiana Adinda atau lebih sering dipanggil Dinda adalah seorang akitivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Dia bekerja di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Di lembaga itu, dia menjabat sabagai Asisten Koordinator Divisi Pengembangan Sistem Pemulihan bagi Korban.

Hidup Dinda cukup dinamis. Banyak hobinya, dari membaca, menonton, hiking, sampai mendaki gunung. Dua kali Gunung Gede dia taklukkan. Dalam hal pekerjaan dia orang yang sangat menikmati profesinya. Bahkan tidak hanya menempatkannya sebagai profesi, lebih dari itu, sebagai panggilan jiwa.

Dalam rangka tugas, Dinda sering pergi ke berbagai daerah untuk mengadvokasi berbagai peraturan daerah agar berpihak terhadap perempuan korban kekerasan. Banyak daerah di Indonesia yang telah dia kunjungi, dari mulai Papua hingga Aceh. Bukan hanya dalam negeri, beberapa Negara lain pernah dia kunjungi, seperti Singapura dan Thailand. Tidak heran kalau kemudian Dinda pun memunyai banyak teman, yang jadi kebahagiaan tersendiri.


Gangguan Bicara, Amnesia, dll.
Setelah Dinda didiagnosa mengidap penyakit meningitis, dia dirawat di rumah sakit selama sebulan, 13 hari di antaranya dalam keadaan koma. Tapi, pengobatan itu tidak bisa membuatnya sembuh total. Bahkan secara bertahap Dinda mengalami dampak lanjutan dari penyakit tersebut. Dimulai dengan terganggunya kemampuan bicara Dinda. Ucapan Dinda menjadi tidak jelas.

Dengan kondisi itu Dinda mulai minder. Dia sedih sekali menerima kenyataan itu. Dinda menangis, padahal menangis sangat jarang dia lakukan. Dinda mulai sangsi dengan ketabahan menerima derita tersebut. “Ya, Tuhan, kalau begini terus, aku tidak tahan menerima cobaan ini,” keluhnya. Walaupun begitu, Dinda tidak menyerah. Dinda melakukan terapi bicara di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Memulai belajar lagi mengucapkan huruf a, i, u, e, o seperti masa kecilnya dulu.

Derita Dinda tidak berhenti di situ, Dinda juga terkena amnesia, kehilangan memori ingatan. Tidak ada satu peristiwa pun dalam beberapa bulan terakhir dia ingat. Keluarganya melakukan terapi dengan menunjukkan foto-foto dirinya. Tetapi Dinda masih bersyukur amnesia yang dia derita bukan amnesia total. Dia hanya tidak ingat peristiwa-peristiwa dikisaran waktu tiga tahun lalu, sesudah dan sebelumnya Dinda masih mengingatnya.

Penyakit Meningoensefalitis ternyata juga mengakibatkan terganggunya penglihatan Dinda. Setiap benda yang Dinda lihat akan tampak menjadi dua. Tapi, kalau mata kirinya ditutup benda yang dia lihat ternyata hanya satu. Tidak hanya itu, tidak lama setelah Dinda menyadari penglihatannya bermasalah, mata kiri Dinda semakin mengecil dan bola matanya tertarik ke kiri. Dinda memeriksakannya ke rumah sakit mata. Menurut dokter yang memeriksanya, matanya bisa sembuh dengan melakukan operasi sebanyak tiga kali dengan biaya 25 juta sekali operasi. Dinda menyerah, karena tidak mempunyai uang sebanyak itu. Akibatnya Dinda sering merasa pusing akibat pandangan dobel tersebut.

Usaikan cobaan untuk Dinda? Tenyata tidak. Dinda mengalami kelumpuhan tubuh bagian kanan. Kelumpuhan itu dimulai dengan serangan sakit kepala terhadap Dinda. Dinda merasakan pusing yang hebat selama tiga hari berturut-turut. Obat vertigo yang dia minum tidak membantunya. Sampai suatu pagi dia menyadari bagian kanan tubuhnya tidak bisa digerakkan. Dinda menjerit sekeras-kerasnya meratapi deritanya.

Selain mengalami gangguan bicara, gangguan penglihatan, amnesia dan kelumpuhan, Dinda sempat khawatir dengan kondisi badannya yang tidak pernah berkeringat dan menstruasi. Tapi kembali normal setelah selama enam bulan. Dinda merasa lega.


Di-PHK Dari Komnas Perempuan
Setelah setahun lebih dalam perawatan, pada Maret 2005 Dinda memberanikan diri untuk kembali bekerja, walaupun dengan menggunakan kursi roda. Dinda senang dengan sambutan teman-teman kerjanya, mereka memberikan dorongan semangat untuk kesembuhan Dinda. Karena kondisi tubuhnya yang belum pulih Dinda tidak bisa menempati meja kerjanya di lantai dua. Tapi Dinda merasakan ada yang aneh saat menyadari dirinya tidak diberikan fasilitas komputer untuk bekerja. Padahal ada dua komputer yang tidak dipakai di ruangan tempat dia memulai berkantor.

Hari kedua bekerja, Dinda mendapat kabar yang membuatnya shock, dia di PHK dari Komnas Perempuan. Kabar itu dia terima dari Seketaris Jendral (Sekjen) Komnas. Dinda kecewa di PHK sepihak, walaupun menurut Sekjen Komnas dia masih diperbolehkan bekerja, dengan tugas meresensi buku yang diterbitkan Komnas Perempuan. Dengan status bukan lagi sebagai karyawan, tapi sukarelawan.

Dinda menganggap telah diperlakukan tidak adil oleh Komnas Perempuan. Dengan bantuan enam pengacara Dinda mengajukan gugatan atas PHK sepihak oleh Komnas Perempuan. Mendapat gugatan dari Dinda, Komnas Perempuan mencoba mendekati Dinda agar membatalkan gugatannya dan membuat surat pengunduran diri, demi menjaga hubungan baik mereka.

Dinda bergeming, tekadnya melawan ketidakadilan perlakuan Komnas Perempuan tetap dilanjutkan. Menurutnya tawaran yang diajukan oleh Komnas Perempuan tidak menyelesai hak dan keadilan yang dia tuntut. Yang diinginkan Dinda, silahkan dia di PHK dan berikan pesangon, kalau tidak, proses gugatan hukum tetap akan dia lakukan. Lobi kembali dilakukan.

Tujuh bulan kemudian, tim pengacara Dinda mendapat komitmen lisan dari Komnas Perempuan, bahwa mereka akan bersedia membuat surat PHK Dinda dan akan memberikan pesangon. Tapi, baru delapan bulan kemudian janji itu direalisasikan oleh Komnas Perempuan. Dinda menandatangani PHK dan mendapatkan pesangon. Perlakuan yang tidak mencerminkan sebuah lembaga pejuang hak asasi. ”Tapi aku sudah memaafkan mereka, dengan teman-teman karyawan dan mantan karyawan di Komnas Perempuan aku masih berhubungan baik.”

Keputusasaan dan Ketabahan
Kehidupan penuh misteri. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Begitupun yang terjadi dengan Dinda. Dia tidak menyangka akan mendapat ujian hidup yang sangat berat. Kehidupan yang semula begitu menyengkan, tiba-tiba menjadi suram, direnggut oleh penyakit, yang dia tidak kenal, bahkan tidak pernah mendengarnya. Dia sangat terpukul dengan penderitaannya.

Apalagi saat secara bertahap fungsi-fungsi organ vitalnya mulai terganggu, dari mulai penglihatan, bicara, ingatan bahkan kelumpuhan sebagain tubuhnya. Adakalanya karena beratnya penderitaan yang dia derita, muncul keputusasaan, keluh kesah bahkan keinginan agar Tuhan mencabut nyawanya. “Tuhan, tolong ambil nyawaku….aku tak tahan lagi…..Kenapa Engkau berikan ujian seberat ini padaku?”

Pernah juga Dinda menggugat keadilan Tuhan. Dia marah kepada Tuhan: “Tuhan kenapa memilihku untuk mengalami cobaan seperti ini? Kenapa harus aku? Kenapa bukan orang lain yang selama ini sudah cukup kenyang mendapat keberuntungan dalam hidupnya?Aku merasa Tuhan tidak adil padaku.” (Titiana Adinda, Harapan Itu Masih Ada, halaman 29)

Beruntung, Dinda memiliki keluarga yang mendukung dan mendorongnya untuk sembuh. Karena itu Dinda tidak mau menyerah. ”Aku selalu ingat mama, aku sayang dia, aku tidak mau mati mendahului dia, aku ingin selalu bersamanya.”

Selain itu Dinda mempunyai kekasih yang selalu memerhatikan dan memberinya semangat, dan teman-teman yang selalu menemani dan menghiburnya. Harapan itu perlahan mulai tumbuh dan bersemi. Apalagi saat ia mulai merasakan perkembangan positif atas kesembuhan dari penyakitnya.

Dinda bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan hidup dan kekuatan yang diberikan sehingga dia kuat menghadapi serangan penyakit otak yang sangat kompleks. Dinda tidak pernah lelah berdoa untuk kesembuhannya. Dia tidak pernah lupa menjalankan sholat lima waktu dan beberapa sholat sunnah. Itu semakin menguatkannya. Dinda pun sangat yakin akan janji Tuhan dalam firman-Nya dalam surat Al Insyirah: “…karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan………Dan hanya kepada Tuhanmulah, engkau berharap.”

Mulai Bangkit
Setelah Dinda menjalani beberapa terapi, dari mulai terapi bicara, terapi tangan dan terapi berjalan, fungsi-fungsi organnya mulai bisa digunakan, walaupun tidak normal seperti semula. Tapi itu cukup membangkitkan kembali gairahnya untuk kembali berkarya. Dia mulai banyak menulis baik untuk blog maupun untuk di kirm ke media massa. Tulisan Dinda ada yang berupa artikel, ada juga yang berupa puisi ataupun cerpen.

Aktivitas lain yang dilakukan Dinda, dia bersama teman-temannya menggagas dibentuknya Indonesia Media Watch. Sebuah lembaga yang bertujuan untuk memantau media massa agar sajiannya, baik berita maupun hiburannya berpihak kepada Hak Asasi Manusia khususnya hak perempuan, kelompok minoritas dan lingkungan. Untuk membiayai aktivitas Inonesia Media Watch, Dinda swadaya bersama pengursus lainnya.

Tidak berhenti di situ, Dinda pun menggagas beladiri Self Defense for Women (SDFW). Ini bermula saat Dinda mengirim e-mail ke Forum Pembaca Kompas, artikel Dinda yang berjudul “Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat.” Tulisan tersebut direspon oleh pelatih karate di Amerika Serikat yang bernama Sensei Deddy Mansyur, seorang warga Negara Indonesia yang tinggal di Texas. Deddy Mansyur yang memberikan ide agar Dinda menggagas beladiri Self Defense for Women di Jakarta. Bersama Sensei Fahmy Syarif yang merupakan Sensei Deddy Mansyur gagasan itu diwujudkan.

Dari aktivitas itu, Dinda bersama Sensei Fahmy Syarif menerbitkan buku panduan Self Defense for Women. Setelah itu buku-buku Dinda yang lain diterbitkan. Hal itu menegaskan bahwa Dinda tidak menyerah oleh serangan penyakit yang membuat kebanyakan penderitanya meninggal dunia.

Dalam waktu kurang lebih setahun, empat buku telah tulis oleh Titiana Adinda. Buku-buku itu berjudul Self Defense for Women, Harapan itu Masih Ada, Kekerasan Itu Berulang Padaku, dan buku terakhirnya, Biarkan Aku Memilih. Hal itu menunjukkan produktivitas yang patut diacungi jempol.

Benar, memang, setelah kesusahan ada kemudahan. Sesudah penderitaan, ada produktivitas. Dinda seakan membuktikan, penyakit, semaut apa pun, tak harus membuat seseorang selamanya merasa sakit, dan berhenti hidup.***

Disadur dari Buku Harapan Itu Masih Ada, Penulis Titiana Adinda

Baca selengkapnya......

Senin, 10 Agustus 2009

Tafsir Buya Hamka-pun Terpinggirkan


Sepuluh tahun bahkan lebih beraktiivitas di YISC Al Azhar, saya akui telah banyak merubah cara pandang saya terhadap berbagai hal. Dari seorang yang tidak banyak berinteraksi dengan berbagai wacana Islam, menjadi ngeh dan bahkan saat ini bekerja sebagai wartawan di majalah Islam. Saya yakin saya tidak sendiri, ada banyak teman-teman yang lain yang mempunyai latarbelakang yang sama, dan kemudian mendapat pencerahan di YISC Al Azhar.

Bukan hanya wawasan keislaman yang saya dapat, juga tentang bagaimana berorganisasi. Pengalaman yang paling berkesan saat tahun pertama di YISC adalah saat Musyawarah Lengkap (Musleng). Pengalaman baru buat saya mengikuti perdebatan untuk merumuskan kaidah-kaidah dan arah perjuangan organisasi. Banyak perdebatan, banyak interupsi diselingi lontaran-lontaran lucu dari para peserta.

Tentu saja, sebagai anak baru yang tidak banyak tahu tentang organisasi dan dinamikanya, saya hanya jadi pendengar, sambil sesekali mengacungkan tangan ketika keputusan harus dilakukan dengan voting.

Saya menikmati dinamika itu dan saya bangga menjadi peserta Musleng. Saking bangganya materi-materi (rumusan KD/KRT) Musleng saya bawa-bawa terus saat istirahat dan name tage tanda peserta musleng saya pakai terus. Saya copot saat pulang ke rumah.

Suasana yang sangat saya nikmati tentu saja adalah atmosfir perdebatan dalam Musleng tersebut. Sering kali perbedaan itu menajam dan masing-masing pendukung gagasan mempunyai argumen untuk mempertahankannya. Sesekali diantara mereka ada yang ngotot, tetapi kengototan mereka ternyata hanya di forum. Dan tentu saja tidak ada intimidasi, apalagi intimidasi ideologis. Tidak ada teriakan-teriakan Allahu Akbar saat berbeda pendapat. Tidak ada klaim bahwa rumusan saya lebih Islami, sementara yang lainnya tidak. Walaupun ada seorang peserta yang tiba-tiba interupsi dan mengajak semua beristigfar.

Saya rasakan suasana seperti itu sampai Musleng 2004. Berbeda dengan dua Musleng terakhir yang saya ikuti. Ada calon ketua umum yang menyatakan bahwa pencalonannya dalam rangka untuk membersihkan YISC dari musuh-musuh Islam. Ada kelompok yang bersujud syukur saat calonnya terpilih menjadi ketua. Ada teriakan Allahu Akbar saat berbeda pendapat, seolah yang berbeda itu musuh Islam. Suasananya seperti ada "pertarungan", suasananya seperti ada persaingan ideologis.

Di Musleng terakhir (2007) yang saya ikuti, ada kesedihan yang sampai saat ini masih membekas. Yaitu teranulirnya Tafsir Buya Hamka sebagai rujukan utama dalam arah kebijakan program pendidikan. Saya tidak bisa menerka alasan lebih jauh mengapa tafsir Buya Hamka dianulir. Tapi memang menjadikan tafsir Buya Hamka sebagai rujukan utama sangatlah "berisiko".

Itu berarti kita akan menerima pernikahan beda agama yang direstui oleh Buya Hamka. Berarti juga kita akan mengharamkan poligami, padahal Buya Hamka pasti tahu bahwa poligami adalah "syariat" Islam. Menerima gagasan menjadi Indonesia adalah menjadi Islam, tanpa harus memaksakan "bersyariat" atau bernegara Islam. Sebuah cara pandang yang dianggap sekuler oleh kalangan tertentu.

Keterbukaan pemikirannya membuat Buya Hamka menganggap Soekarno tetap sebagai muslim, dan berkenan menjadi imam shalat jenazahnya, walaupun Hamka tahu bahwa Soekarno adalah penggagas Nasakom. Bersedia menikahkan anaknya Pramudya Ananta Toer (Pram), walau tahu Pram adalah tokoh PKI.

Masihkah gagasan-gagasan ini akan dilestarikan oleh sivitas dan pengurus YISC saat ini? Atau tetap meminggirkannya. Dipinggirkan oleh Organisasi yang direstui, dibina dan dibanggakan oleh Buya Hamka.

Salam,

wtarsono

Baca selengkapnya......

Kamis, 06 Agustus 2009

Sepakat Untuk Tidak Sepakat

Sebuah Refleksi Pengalaman Keberagamaan dan Keberagaman di Youth Islamic Study Club (YISC) Al Azhar

Tahun 1995 adalah awal perjalanan baru untuk kehidupanku, terutama berkaitan dengan pengalaman keberagamaanku. Bermula dari keinginan untuk mencari tempat berkomunitas yang baru. Ya, komunitas keagamaan yang tidak doktriner, juga terbuka dengan aktivitas yang bukan hanya melulu agama.


Baca selengkapnya......

Derita yang Tak Jadi Derita


Spontan terdengar standing applause dari penonton Kick Andy, saat Eko Ramaditya Adikara yang biasa dipanggil Rama menunjukkan keahliannya membuat aransemen musik game yang berasal dari suara suling dan diolah dengan sebuah laptop kecil miliknya. Rama mempertunjukkan keahliannya ketika diundang sebagai tamu pada program Kick Andy di Metro TV. Rama seorang tunanetra, tapi mahir menggunakan laptop, sebagaimana orang normal menggunakannya.

Sejak lahir, Rama menderita tunanetra. Tapi, dia mengetahui sebagai penderita tunanetra baru pada usia 7. Itu pun bukan dari keluarganya, tapi dari teman bermainnya. Temannya mengatakan bahwa dirinya buta. Saat diberitahu pun Rama tidak mengerti apa itu buta. Setelah dijelaskan, baru Rama mengerti.

Tunanetra ke Sekolah Umum

Rama tumbuh sebagaimana anak lainnya. Setelah memasuki usia sekolah, orang tuanya mendaftarkannya untuk sekolah. Semula Rama bersekolah Taman Kanak-kanak (TK) SLB di Kota Semarang. Tapi kemudian ia pindah ke Jakarta mengikuti orang tuanya. Di Jakarta orang tua Rama memasukkan Rama di Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina Tingkat Nasional (PTN) di bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Rama sekolah di SLB PTN dari TK Sampai Sekolah Dasar (SD).

Selama sekolah di sana, prestasi Rama selalu baik, menempati peringkat tiga besar. Selain itu Rama sering mewakili sekolahnya untuk mengkuti beberapa lomba, seperti lomba puisi, abang none, dan lain-lain. Karena prestasinya Rama mendapatkan piala Brama Jaya. Sebuah penghargaan yang diberikan kepada murid yang berprestasi dan sering mengharumkan SLB, dan terutama sering menjadi juara kelas. Rama lulus dari SD dengan nilai yang cukup memuaskan.

Memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) Rama menginginkan untuk sekolah di sekolah umum. Agar prosesnya dipermudah, ayahnya meminta Departeman Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) mengeluarkan Surat Kaputusan (SK) bahwa seorang tunanetra mampu bersekolah di sekolah umum. Berbekal SK itu, orang tua Rama mendaftarkan anaknya di SMP 226 Jakarta. Semula, memang ada kesulitan. Tapi, setelah diyakinkan, sekolah itu bersedia menerimanya. Walaupun tidak mudah orang tua Rama meyakinkan pihak sekolah.

Memasuki jenjang pendidikan menengah atas Rama tidak mengalami hambatan berarti. Rama masuk ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 11. Di sekolah tersebut sudah ada beberapa seniornya yang juga cacat penglihatan, karenanya sekolah juga tidak memasalahkannya. Di tingkat perguruan tinggi, Rama mendaftarkan diri di Universitas Darma Persada (UDP) Jurusan Sastra Inggris. UDP semula mereka tidak mau menerimanya. Mereka beralasan di univrsitas tersebut tidak mempunyai sarana penunjang untuk mahasiswa tunanetra. Rama dan Bapaknya berusaha meyakinkan. “Kalau nilai ujian saya tidak dapat memperolah nilai di atas 80, silahkan saya keluarkan,” Rama meyakinkan. Rama akhirnya diterima, dan nilai ujian dia 80,2!

Menjadi Komposer Musik Game

Seorang tunanetra bisa memainkan game, banyak orang mungkin tidak percaya. Akan lebih banyak lagi orang tidak percaya kalau ada seorang tunanetra mengaku bisa membuat aransemen musik game. Tapi itulah kenyataannya. Rama bisa melakukan itu semua. Walaupun memang game yang dimainkan adalah game yang berbasis audio, tapi tetap saja itu mempunyai kesulitan tersendiri.

Rama tertarik terhadap game bermula saat ia diajak ke kantor bapaknya. Di kantor ayahnya, ia dikenalkan dengan game komputer. Sejak itu Rama mulai senang dengan game, bahkan kemudian dia bisa memainkan game arcade yang ada di mal-mal. Karena gemar bermain game, bapaknya membelikan console (mesin game) Atari. Selanjutnya Rama mulai mengenal console game Nintendo. Di Nintendo Rama gemar memainkan game Donkey Kong Country, Final Fantasy, Super Mario World, dan beberapa game Jepang lainnya. Rama benar-benar menggemari game, karena dengan game dia bisa berimajinasi dan berkreasi dengan kreatif.

Setelah sekian lama menggemari game, Rama kemudian tertarik dengan musiknya. Dia merekam musik-musik game tersebut. Semasa kuliah, dia mengetahui bahwa video game juga mempunyai soundtrack musiknya. Mengetahui hal itu, Rama mulai berburu soundtrack game untuk dikoleksi. Dia mencari di toko-toko game atau download di internet. Rama kaget saat mengetahui ada komunitas penggemar musik game. Kemudian dia pun bergabung. Di komunitas tersebut, Rama saling bertukar koleksi musik game dengan sesama penggila game lain.

Ketertarikan Rama terhadap musik game tidak ingin sebatas sebagai penikmat. Dia menginginkan lebih dari sekedar itu. Dia pun kemudian berinisiatif untuk membuat musik-musik game. Semua musik game yang dia ciptakan ditampilkan di blog miliknya. Rama mempersilahkan pengunjung untuk mengunduh hasil karyanya. Seratus lebih musik game berhasil dia ciptakan.

Kemahiran Rama membuat musik game diketahui oleh Koji Kondo, komposer musik Mario Bros Galaxy dari Nintendo. Tanpa dinyana Rama ditawari untuk ikut menata musik game Nintendo untuk video game Super Smash Brother Brawl. Rama senang. Kerjasama pun berlanjut. Beberapa musik game ciptaan Rama, dipakai untuk tema lagu permainan Final Fantasy VII, sebuah permainan buatan Jepang yang sangat terkenal di kalangan pencinta game komputer. Sejak kerjasama itu, kemahiran Rama mengaransemen musik game mulai dikenal lebih luas lagi.

Komputer, Nge-blog dan Menjadi Jurnalis

Buat kebanyakan orang, tunanetra identik dengan huruf Braille. Saat seorang tunanetra terlihat sedang membaca, dalam pikiran banyak orang buku tersebut merupakan buku dengan deretan huruf-huruf Braille. Tapi yang dupertunjukkan Rama tidak demikian. Rama terlihat mahir menggunakan laptop. Karenanya, penonton Kick Andy dibuatnya terkagung-kagum. Kok, bisa? Bukankah informasi yang disajikan komputer dalam bentuk visual. Artinya, dibutuhkan kemampuan indra penglihatan untuk bisa menggunakannya.

Seiring dengan kemjuan teknologi komputer, saat ini berkembang pula teknologi komputer yang bisa digunakan oleh para tunanetra. Salah satu teknologi yang digunakan adalah screen reader, yaitu sebuah aplikasi yang akan mengolah teks atau objek dalam komputer diubah menjadi suara. Aplikasi ini memungkinkan seorang tunanetra bekerja menggunakan aplikasi office, berinternet bahkan chatting dengan Yahoo Messenger. Teknologi itulah yang digunakan Rama. Karenanya dia bisa membuat aransemen musik game dan berselancar di internet. Dengan teknologi tersebut Rama juga bisa membuat, blog bahkan mendesainnya.

Ketertarikan Rama membuat blog berawal dari hobinya membuat catatan harian. Sebelum mengenal teknologi digital pada komputer, Rama membuat catatan harian dengan huruf-huruf braille. Kemudian setalah dia mempunyai komputer, catatan hariannya dituangkan dalam komputer dengan format dokumen word.

Sekitar 2003, Rama dikenalkan oleh sahabatnya kepada website. Bahkan sahabatnya menawarkan untuk mengajarinya membuat website. Rama antusias menerima tawaran itu. Tak lama setelah Rama belajar membuat website, dia meluncurkan website-nya. Masih sederhana, hanya berisi catatan hariannya. Website pertama yang diluncurkan Rama beralamat di http://www.ramaditya.netfirm.com. Pada 2005, Rama membeli domain dengan alamat www.ramaditya.com, alamat inilah yang sampai saat ini masih digunakan.

Petualangan Rama tidak berhenti di komputer. Rama juga tertantang memasuki dunia yang lain, dunia yang kecil kemungkinannya mau dijamah oleh seorang tunanetra. Dunia jurnalis. Ya, Rama menjadi jurnalis. Rama sadar, menjadi jurnalis diperlukan bukan hanya sekedar kemampuan menulis, lebih dari itu, kesigapan mencari narasumber juga hal penting. Sekali lagi, Rama mampu membuktikan ketunanetraannya bukan menjadi penghalang.

Keterlibatannya dalam dunia kewartawanan dimulai saat dia menerima tawaran untuk mengikuti pelatihan jurnalistik yang diadakan oleh LKBN Antara dan Detik.com, bekerjasama dengan Samsung Digital Hope. Pelatihan ini dikhususkan untuk para penyandang cacat. Diharapkan dari pelatihan tersebut, para peserta bisa membuat dan mengelola media online.

Selesai pelatihan Rama langsung diterjunkan sebagai reporter media Mitra Netra News Online. Tugas pertamanya adalah meliput acara pelatihan Internet Center. Setelah itu Rama ditugaskan untuk meliput bazaar sosial yang diadakan oleh organisasi-organisasi penyandang cacat di Gereja Katedral.

Hampir setahun Rama menjadi reporter Mitra Netra News Online. Ia berhenti sebagai reporter karena dia harus melanjutkan kuliahnya. Tapi, bukan berarti ia lantas berhenti dari kegiatan lain. Ternyata ia ”tergoda” juga mencoba kegiatan yang agaknya cocok dengan sifatnya yang optimis dan gemar berbagi.

Setelah Rama tampil di Kick Andy, ada gairah yang muncul. Terbersit dalam pikirannya, ia ingin menjadi motivator. Rama merasa seolah telah ditunjukkan jalannya oleh Allah, dia dipertemukan dengan Ibu Aisah. Ibu Aisah adalah ketua penanganan eks-pengguna narkoba di beberapa rumah sakit di Jakarta. Dalam sebuah pelatihan, Ibu Aisah meminta Rama untuk menceritakan pengalaman hidupnya, ternyata respon dari peserta antusias. Banyak dari mereka termotivasi setelah mendengar pengalaman hidup Rama.

Dari situ kemudian Rama memulai menjalani profesi sebagai motivator. Dia masuk menjadi tim Bu Aisah menjadi trainer dari pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh lembaga yang dipimpin Bu Aisah. Sebagai motivator, ia pernah ikut serta program penyembuhan ketergantungan narkoba sebagai motivator untuk para slankers. Program antinarkoba ini memang bekerja sama dengan Bunda Ifet.

Lima Bidadari Rama

Selain sebagai seorang tunanetra yang selalu gigih dalam mewujudkan cita-citanya, ada sisi lain dari sosok Rama, yang unik dibanding sesama penyandang tunanetra maupun tidak. Salah satu keunikan Rama adalah, dia mencoba mendeskripsikan sifat atau karakter yang ada dalam dirinya. Setiap karakter yang dia temukan dia beri nama. Rama menyebut karakternya dengan bidadari, karena memang penamaan terhadap karakternya menggunakan nama-nama perempuan.

Ada lima karakter, yang pertama bernama Wahitha. Wahitha adalah perwujudan kecerdasan spiritual yang dia miliki. Sifat yang melekat dari sosok Wahitha adalah pengendalian diri, kedewasaan, kebijaksanaan, dan kepemimpinan. Karakter kedua bernama Tiara. Tiara merupakan simbolisasi dari kecerdasan emosional yang dimiliki Rama. Sifat yang melekat pada Tiara adalah lapar, haus, bahagia, sedih, menikmati alam, kesakitan, rangsangan seksual, dan cinta.

Karakter ketiga adalah Aurora. Nama ini melambangkan kecerdasan intelektual Rama. Ini berkaitan dengan kecerdasan Rama dalam hal matematika, mendefinisikan kata-kata, menciptakan rancangan-rancangan, mengulang kata-kata dari ingatan, dan mengerjakan tugas-tugas lain. Karakter yang keempat diberi nama Darth Aurora, merupakan simbolisasi dari sifat fisik Rama. Rama menyebutnya sebagai sifat-sifat negatif dari raganya. Lucunya Rama meminta kepada pembaca untuk mengidentifikasi sendiri sifat-sifat itu. “Di sini yang dimaksud adalah sifat-sifat raga yang negatif, tentunya dapat Anda tuliskan atau sebutkan sendiri,” tulisnya.

Karakter kelima dia beri nama Lala. Lala adalah simbolisasi dari karakter Rama sebagai sosok penggembira dan presentatif. Sifat yang melekat pada Lala adalah cerewet, pelupa, usil, dan gemar bersenda gurau.

Keunikan Rama ini berlaku juga ke benda-benda yang ia miliki. Ia selalu memberi nama pada benda-benda yang dia miliki: suling dia berinama Tiara, laptop kecilnya dia berinama Via, dan sebagainya.

Ketabahan Orang Tua Rama

Menjadi orang cacat siapapun pasti tidak mau. Tapi, siapa yang bisa menolaknya, ketika Tuhan berkehendak maka tak ada yang mampu menghalangi. Ikhlas dan syukur menjadi kunci untuk menerima kehendak Tuhan. Itu yang diperlihatkan oleh orang tua Rama. Walaupun diawal mereka bersedih. Tapi kesedihan itu tidak berlarut-larut. Mereka secepatnya tersadar bahwa bayi yang dilahirkannya adalah darah daging mereka. Mereka membesarkan Rama dengan kasih sayang, tanpa pernah merasa itu sebagai aib.

Rama diberikannya kesempatan mengenyam pendidikan sebagaimana layaknya anak-anak normal. Saat Rama menginginkan bersekolah di sekolah umum, orang tuanya berusaha keras mewujudkannya. Penolakan mereka terima, tapi mereka tetap berusaha. Berbagai upaya mereka lakukan. Dan berhasil. Rama sekolah di sekolah umum, walaupun konsekwensinya mereka harus merekam buku-buku pelajaran Rama. Mereka tidak bosan melakukannya.

Dalam membesarkan Rama, orang tuanya tidak melakukan perlakuan yang spesial kepada Rama karena ketunanetraannya, tidak juga melakukan deskriminasi. Orang tua Rama membiarkan Rama tumbuh secara normal.

Perlakuan seperti itu membuat Rama tumbuh dengan pribadi yang kuat. Pribadi yang selalu bersyukur, penuh percaya diri dan pantang menyerah. Rama tidak pernah menjadikan ketunanetraannya sebagai alasan untuk minta dikasihani, bahkan untuk melakukan pembenaran terhadap kegagalannya. “Kesempurnaan itu bukan semata-mata tergantung dari fisik, tapi juga tergantung dari kemampuan dan niat kita sendiri. Banyak kita melihat taman-teman yang fisiknya sempurna, tapi mereka ada di penjara, berarti sebenarnya mereka tidak bahagia. Saya yang secara fisik tidak sempurna, tetap bisa bahagia,” tegas Rama.

Salam

wtarsono

Baca selengkapnya......

Senin, 03 Agustus 2009

Gemas (Geram) Dengan Mubahalah Irena Vs Diki Candra


2 Juli lalu, Irena Handono pimpinan (Ireno Handono Center) dan Diki Candra (Arimatea) melakukan mubahalah di Masjid Al fajr Buah Batu Bandung. Kedua orang itu adalah aktivits gerakan anti pemurtadan. Sejak 2007 mereka berdua bersiteru dipicu oleh kesaksian Imam Safari yang melihat Irena Handono mengenakan pakaian biarawati di sebuah Geraja di Singapura. Kesaksiannya kemudian dilaporkan ke Arimatea. Dengan bekal kesaksian itu Arimatea melakukan penyelidikan terhadap Irena Handono.

Pertanyaannya kenapa harus melakukan penyelidikan? bukan konfirmasi? Tentu hal tersebut dilatar belakangi oleh pola pikir Arimatea. Selama ini salah satu kegiatan mereka adalah melakukan aktivitas spionase untuk mendeteksi berbagai kegiatan kalangan kristiani dalam melakukan strategi kristenisasi. Arimatea mengaku dia telah menangkap 30 agen kristen yang menyusup ke kalangan Islam. Tentu dengan reputasi Irena Handono mantan seorang biarawati, kemudian ada informasi bahwa ada seseorang melihat Irena mengenakan baju biarawati, maka pola pikir yang dikedepankan tentunya mencurigai Irena sebagai penyusup. Maka yang mereka lakukan adalah penyelidikan bukan konfirmasi. Walaupun Arimatea tidak secara verbal menuduhnya.

Tentu saat Irena mengetahui dia sedang diselidiki oleh Arimatea, Irena langsung melakukan klarifikasi dengan menyatakan bahwa ada kalangan yang sedang memfitnahnya. Dan kalangan itu adalah Arimatea, dengan person Diki Candra. Irena melakukan klarifikasi dibeberapa forum. Dan puncaknya dia melakukan konfrensi pers, dengan menyatakan bahwa Arimatea dalam hal ini Diki Candra memfitnahnya. Tidak itu saja, Irena mengadukan Diki Candra ke polisi.

Sementara dalam kesempatan lain, Irena juga menuduh Diki Candra menyusupkan orang ke dalam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Orang tersebut akan melakukan pencitraan negatif terhadap MMI.

Pola pikir konspiratif seperti itu memang dilakukan oleh mereka berdua. Itu yang menutup mereka untuk berdamai.

Irena Memaksakan, Arimatea/Diki Naif

Konflik terus memanas, apalagi saat Arimetea mempublikasikan kesaksian Imam Safari dan hasil penyelidikan mereka terhadap Irena di blog, Dengan alasan untuk memberikan kejelasan informasi kepada Arimatea daerah. Mereka menyebutkan informasi itu hanya untuk kalangan terbatas, tetapi memuatnya dalam blog.Tentu saja kemudian informasi itu bocor ke masyarakat umum. Di sinilah naifnya Arimatea/Diki Candra. Dan seolah mereka lepas tangan dengan mengatakan itu sebuah ketidaksengajaan.

Menghadapi "serangan" itu Irena kemudian mengadakan konfrensi pers dengan dihadiri oleh Cholil Ridwan dan beberapa tokoh. Di konfrensi pers itulah kemudian Irena mencetuskan mengajak Diki Candra untuk mubahalah. Gagasan mubahalah tersebut mendapat dukungan Chalil Ridwan, "Itu salah satu sunnah rasul" demikian Chalil Ridwan mengatakan. Merasa dapat dukungan dari Chalil Ridwan, Irena keukeuh untuk melakukan mubahalah. Sebenarnya ada upaya yang dilakukann FUUI untuk berdamai, tapi Irena tetap bersikeras.

Sementara Diki Candra tidak terlihat untuk mengendorkan keyakinan atas kebenaran kesaksian dari Imam Safari. Jalan damai akhirnya semakin membatu.

Mubahalah = Saling Mengutuk

Dalam sejarah Islam, mubahalah hampir terjadi antara Nabi Muhammad melawan kaum nasrani Najran. Waktu itu yang dipertaruhkan adalah kebenaran ajaran Islam. Mubahalah itu akhirnya tidak terjadi karena kaum nasrani najran tidak datang pada hari yang telah disepakati.

Dalam kasus Irena Vs Diki Candra persoalan yang dipertaruhkan adalah integritas pribadi. Irena merasa dia difitnah oleh Diki Candra, sementara Diki Candra tidak merasa melakukan fitnah, dia hanya melakukan penyelidikan. (Jangan-jangan Irena penyusup, maka dia lakukan investigasi)

Di mubahalah mereka berdua saling mengutuk, untuk membuktikan bahwa siapa yang memfitnah, bukan siapa yang memegang kebenaran Allah.

Kutukan itu sudah ada korbannya? Saya tidak berharap. Saya lebih berharap mereka menyadari bahwa beragama dengan saling mencurigai itu tidak tidaklah baik. Hanya akan menghadirkan mubahalah-mubahalah berikutnya.


NB: Mubahalah adalah memohon kutukan kepada Allah untuk dijatuhkan kepada orang yang salah/dusta,
Wassalam,

wtarsono

Baca selengkapnya......

Menyambut Kematian dengan Senyum


Hidup adalah perjuangan. Pameo tersebut benar-benar berlaku untuk Asa Putri Utami. Bukan saja berjuang mewujudkan cita-citanya. Lebih dari itu, Asa berjuang untuk hidup, melawan penyakit Lupus yang dia derita. Asa Putri Utami adalah gadis belia asal Solo, putri dari pasangan Astuti dan Joko Syahban.

Kisah perjuangan Asa tertuang dalam buku yang berjudul Asa, Malaikat Kecilku. Buku ini ditulis oleh Astuti J. Syahban, yang tidak lain adalah ibu Asa sendiri. Karena itu Astuti bisa menghadirkan kisah ini dengan cukup detail mengenai sisi kehidupan Asa dan keluarga mereka.

Hal ini menjadi keunggulan tersendiri dari novel ini. Kita akan hanyut terbawa dalam kisahnya. Ada kalanya kita ikut terharu, ada kalanya kita pun kagum terhadap keberanian Joko Syahban, bapak Asa, saat memutuskan keluar dari pekerjaannya. Joko Syahban keluar kerja sebagai wartawan di majalah Gatra hanya karena ingin memenuhi permintaan seorang Kyai di daerahnya, Solo. Abah Syarif mereka memanggilnya, meminta Joko Syahban untuk membangun sebuah musala di dekat rumah mereka dan menjaganya. “Sudahlah Pak Joko, sekarang kerja dengan juragan Allah saja. Kalau tidak sekarang, maka izin trayek sampean dicabut oleh Allah,” demikian ucap Abah Syarif terhadap Joko Syahban.

Buat kebanyakan orang, keputusan itu dianggap aneh. Tapi itulah kenyataannya, dan Astuti sebagai istri menerima itu dengan lapang.

Daya pikat utama dari novel ini adalah kisah tentang Asa. Asa masih sekolah dasar kelas lima ketika diketahui mengidap penyakit Lupus. Dia anak yang periang dan aktif di berbagai kegiatan sekolahnya. Asa mempunyai banyak teman, dan dia sangat perduli terhadap teman-temannya. Kelebihan lain dari Asa adalah kegemarannya menulis, yang dia tuangkan dalam buku hariannya. Asa mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang dokter dan penghafal Al-Qur’an. “Sebelum menjadi dokter, Asa harus hafal Al-Quran! Seperti yang didambakan dan selalu diimpikan oleh Mama,” demikian salah satu catatan dalam buku hariannya.

Asa dari kecil memang sering sakit-sakitan. Tetapi itu tidak menghalanginya untuk selalu aktif di sekolahnya. Ketika mengetahui dia mengidap penyakit yang mematikan, Asa benar-benar berjuang untuk mengalahkannya. Asa tidak suka mengeluh, semua konsekuensi pengobatan dia terima. Yang penting buatnya, dia bisa sembuh. Asa selalu optimis untuk sembuh, karenanya dia yakin bisa mewujudkan cita-citanya, menjadi dokter dan penghafal Al-Quran. ”Mama, aku benar-benar ingin sembuh. Aku masih ingin sekolah, ingin menghafal Al-Quran. Aku berdoa terus, Aku minta terus sama Allah, Ma.” suatu kali Asa bicara kepada mamanya.

Optimisme Asa membuat kedua orang tuanya selalu terdorong untuk bekerja keras membiayai pengobatannya. “Kalaupun Asa akhirnya meninggal, papa ingin dia meninggal di rumah sakit, kerena dengan itu kita telah membuktikan, kita sungguh-sungguh mengobatinya,” tekad bapaknya.

Keluarga Asa bukan berasal dari keluarga mampu. Biaya pengobatan Asa banyak diperoleh dari kemampuan si ayah membuat tulisan, baik untuk company profile maupun penulisan biografi pengusaha-pengusaha di Solo. Satu hal keajaiban yang dirasakan keluarga itu, saat mereka membutuhkan dana besar untuk menebus obat atau biaya perawatan, Joko sering mendapat kemudahan mendapat order-order penulisan. Sering Joko mengerjakan order tulisannya di lobi rumah sakit tempat Asa dirawat.

Ibu Asa tak pernah lelah mendampingi Asa menjalani pengobatan. Setiap hari dia di samping Asa dan tak pernah bisa tertidur dengan lelap. Ada kalanya kedua orang tua Asa putus asa, tapi tidak dengan Asa. Asa menghadapinya dengan tenang. Suatu kali Asa berkata kepada Bapaknya, “Pak, bagi Asa, penyakit ini tetap saja nikmat dari Allah.” Joko terdiam, tak mampu berkata menanggapi, matanya berlinang air mata.

Buku ini penuh inspirasi dan pesan kebaikan. Kita akan belajar kesabaran, keikhlasan dan ketulusan dari keluarga ini dalam menghadapi cobaan hidup mereka. Dan tentu saja kita akan belajar ketabahan dari seorang anak kecil yang selalu berpikir positif. Seorang anak kecil yang masih bisa menyempatkan diri untuk peduli terhadap orang lain, walaupun hidupnya sendiri menderita karena penyakit yang dia idap. Suatu kali Asa mendapati teman sekamarnya di rumah sakit yang terlihat kesakitan. Asa meminta kepada ibunya untuk menanyakan nama pasien disampingnya. ”Namanya Ainun,” ujar ibunya. ”Ooo Ainun. Kasihan sekali dia. Ya sudah, aku beri hadiah Al-Fatihah saja,” ucapnya kepada ibunya.

Cerita di novel ini dimulai dengan saat persemayaman, sampai kemudian disalatkan dan dimakamkannya jenazah Asa. Hal ini membuat pembaca langsung terbangun rasa harunya. Kita akan disuguhkan kisah keajaiban dan kekaguman terhadap akhir hidup Asa. Kematian yang diakhiri oleh sebuah senyum manis Asa. Sebuah senyum yang menyiratkan kemuliaan hidup Asa, membuat orang-orang yang melihatnya tidak mampu membendung air matanya.

”Kamu tidak mati, Asa. Kamu itu hanya tidur,” seru beberapa teman-temannya, di tengah ledakan tangis mereka.


Wassalam,

Warsa Tarsono
Development Program
Rumah Belajar dan Kreatifitas Sahabat Cahaya

Baca selengkapnya......