Senin, 03 Agustus 2009

Menyambut Kematian dengan Senyum


Hidup adalah perjuangan. Pameo tersebut benar-benar berlaku untuk Asa Putri Utami. Bukan saja berjuang mewujudkan cita-citanya. Lebih dari itu, Asa berjuang untuk hidup, melawan penyakit Lupus yang dia derita. Asa Putri Utami adalah gadis belia asal Solo, putri dari pasangan Astuti dan Joko Syahban.

Kisah perjuangan Asa tertuang dalam buku yang berjudul Asa, Malaikat Kecilku. Buku ini ditulis oleh Astuti J. Syahban, yang tidak lain adalah ibu Asa sendiri. Karena itu Astuti bisa menghadirkan kisah ini dengan cukup detail mengenai sisi kehidupan Asa dan keluarga mereka.

Hal ini menjadi keunggulan tersendiri dari novel ini. Kita akan hanyut terbawa dalam kisahnya. Ada kalanya kita ikut terharu, ada kalanya kita pun kagum terhadap keberanian Joko Syahban, bapak Asa, saat memutuskan keluar dari pekerjaannya. Joko Syahban keluar kerja sebagai wartawan di majalah Gatra hanya karena ingin memenuhi permintaan seorang Kyai di daerahnya, Solo. Abah Syarif mereka memanggilnya, meminta Joko Syahban untuk membangun sebuah musala di dekat rumah mereka dan menjaganya. “Sudahlah Pak Joko, sekarang kerja dengan juragan Allah saja. Kalau tidak sekarang, maka izin trayek sampean dicabut oleh Allah,” demikian ucap Abah Syarif terhadap Joko Syahban.

Buat kebanyakan orang, keputusan itu dianggap aneh. Tapi itulah kenyataannya, dan Astuti sebagai istri menerima itu dengan lapang.

Daya pikat utama dari novel ini adalah kisah tentang Asa. Asa masih sekolah dasar kelas lima ketika diketahui mengidap penyakit Lupus. Dia anak yang periang dan aktif di berbagai kegiatan sekolahnya. Asa mempunyai banyak teman, dan dia sangat perduli terhadap teman-temannya. Kelebihan lain dari Asa adalah kegemarannya menulis, yang dia tuangkan dalam buku hariannya. Asa mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang dokter dan penghafal Al-Qur’an. “Sebelum menjadi dokter, Asa harus hafal Al-Quran! Seperti yang didambakan dan selalu diimpikan oleh Mama,” demikian salah satu catatan dalam buku hariannya.

Asa dari kecil memang sering sakit-sakitan. Tetapi itu tidak menghalanginya untuk selalu aktif di sekolahnya. Ketika mengetahui dia mengidap penyakit yang mematikan, Asa benar-benar berjuang untuk mengalahkannya. Asa tidak suka mengeluh, semua konsekuensi pengobatan dia terima. Yang penting buatnya, dia bisa sembuh. Asa selalu optimis untuk sembuh, karenanya dia yakin bisa mewujudkan cita-citanya, menjadi dokter dan penghafal Al-Quran. ”Mama, aku benar-benar ingin sembuh. Aku masih ingin sekolah, ingin menghafal Al-Quran. Aku berdoa terus, Aku minta terus sama Allah, Ma.” suatu kali Asa bicara kepada mamanya.

Optimisme Asa membuat kedua orang tuanya selalu terdorong untuk bekerja keras membiayai pengobatannya. “Kalaupun Asa akhirnya meninggal, papa ingin dia meninggal di rumah sakit, kerena dengan itu kita telah membuktikan, kita sungguh-sungguh mengobatinya,” tekad bapaknya.

Keluarga Asa bukan berasal dari keluarga mampu. Biaya pengobatan Asa banyak diperoleh dari kemampuan si ayah membuat tulisan, baik untuk company profile maupun penulisan biografi pengusaha-pengusaha di Solo. Satu hal keajaiban yang dirasakan keluarga itu, saat mereka membutuhkan dana besar untuk menebus obat atau biaya perawatan, Joko sering mendapat kemudahan mendapat order-order penulisan. Sering Joko mengerjakan order tulisannya di lobi rumah sakit tempat Asa dirawat.

Ibu Asa tak pernah lelah mendampingi Asa menjalani pengobatan. Setiap hari dia di samping Asa dan tak pernah bisa tertidur dengan lelap. Ada kalanya kedua orang tua Asa putus asa, tapi tidak dengan Asa. Asa menghadapinya dengan tenang. Suatu kali Asa berkata kepada Bapaknya, “Pak, bagi Asa, penyakit ini tetap saja nikmat dari Allah.” Joko terdiam, tak mampu berkata menanggapi, matanya berlinang air mata.

Buku ini penuh inspirasi dan pesan kebaikan. Kita akan belajar kesabaran, keikhlasan dan ketulusan dari keluarga ini dalam menghadapi cobaan hidup mereka. Dan tentu saja kita akan belajar ketabahan dari seorang anak kecil yang selalu berpikir positif. Seorang anak kecil yang masih bisa menyempatkan diri untuk peduli terhadap orang lain, walaupun hidupnya sendiri menderita karena penyakit yang dia idap. Suatu kali Asa mendapati teman sekamarnya di rumah sakit yang terlihat kesakitan. Asa meminta kepada ibunya untuk menanyakan nama pasien disampingnya. ”Namanya Ainun,” ujar ibunya. ”Ooo Ainun. Kasihan sekali dia. Ya sudah, aku beri hadiah Al-Fatihah saja,” ucapnya kepada ibunya.

Cerita di novel ini dimulai dengan saat persemayaman, sampai kemudian disalatkan dan dimakamkannya jenazah Asa. Hal ini membuat pembaca langsung terbangun rasa harunya. Kita akan disuguhkan kisah keajaiban dan kekaguman terhadap akhir hidup Asa. Kematian yang diakhiri oleh sebuah senyum manis Asa. Sebuah senyum yang menyiratkan kemuliaan hidup Asa, membuat orang-orang yang melihatnya tidak mampu membendung air matanya.

”Kamu tidak mati, Asa. Kamu itu hanya tidur,” seru beberapa teman-temannya, di tengah ledakan tangis mereka.


Wassalam,

Warsa Tarsono
Development Program
Rumah Belajar dan Kreatifitas Sahabat Cahaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar