Senin, 10 Agustus 2009

Tafsir Buya Hamka-pun Terpinggirkan


Sepuluh tahun bahkan lebih beraktiivitas di YISC Al Azhar, saya akui telah banyak merubah cara pandang saya terhadap berbagai hal. Dari seorang yang tidak banyak berinteraksi dengan berbagai wacana Islam, menjadi ngeh dan bahkan saat ini bekerja sebagai wartawan di majalah Islam. Saya yakin saya tidak sendiri, ada banyak teman-teman yang lain yang mempunyai latarbelakang yang sama, dan kemudian mendapat pencerahan di YISC Al Azhar.

Bukan hanya wawasan keislaman yang saya dapat, juga tentang bagaimana berorganisasi. Pengalaman yang paling berkesan saat tahun pertama di YISC adalah saat Musyawarah Lengkap (Musleng). Pengalaman baru buat saya mengikuti perdebatan untuk merumuskan kaidah-kaidah dan arah perjuangan organisasi. Banyak perdebatan, banyak interupsi diselingi lontaran-lontaran lucu dari para peserta.

Tentu saja, sebagai anak baru yang tidak banyak tahu tentang organisasi dan dinamikanya, saya hanya jadi pendengar, sambil sesekali mengacungkan tangan ketika keputusan harus dilakukan dengan voting.

Saya menikmati dinamika itu dan saya bangga menjadi peserta Musleng. Saking bangganya materi-materi (rumusan KD/KRT) Musleng saya bawa-bawa terus saat istirahat dan name tage tanda peserta musleng saya pakai terus. Saya copot saat pulang ke rumah.

Suasana yang sangat saya nikmati tentu saja adalah atmosfir perdebatan dalam Musleng tersebut. Sering kali perbedaan itu menajam dan masing-masing pendukung gagasan mempunyai argumen untuk mempertahankannya. Sesekali diantara mereka ada yang ngotot, tetapi kengototan mereka ternyata hanya di forum. Dan tentu saja tidak ada intimidasi, apalagi intimidasi ideologis. Tidak ada teriakan-teriakan Allahu Akbar saat berbeda pendapat. Tidak ada klaim bahwa rumusan saya lebih Islami, sementara yang lainnya tidak. Walaupun ada seorang peserta yang tiba-tiba interupsi dan mengajak semua beristigfar.

Saya rasakan suasana seperti itu sampai Musleng 2004. Berbeda dengan dua Musleng terakhir yang saya ikuti. Ada calon ketua umum yang menyatakan bahwa pencalonannya dalam rangka untuk membersihkan YISC dari musuh-musuh Islam. Ada kelompok yang bersujud syukur saat calonnya terpilih menjadi ketua. Ada teriakan Allahu Akbar saat berbeda pendapat, seolah yang berbeda itu musuh Islam. Suasananya seperti ada "pertarungan", suasananya seperti ada persaingan ideologis.

Di Musleng terakhir (2007) yang saya ikuti, ada kesedihan yang sampai saat ini masih membekas. Yaitu teranulirnya Tafsir Buya Hamka sebagai rujukan utama dalam arah kebijakan program pendidikan. Saya tidak bisa menerka alasan lebih jauh mengapa tafsir Buya Hamka dianulir. Tapi memang menjadikan tafsir Buya Hamka sebagai rujukan utama sangatlah "berisiko".

Itu berarti kita akan menerima pernikahan beda agama yang direstui oleh Buya Hamka. Berarti juga kita akan mengharamkan poligami, padahal Buya Hamka pasti tahu bahwa poligami adalah "syariat" Islam. Menerima gagasan menjadi Indonesia adalah menjadi Islam, tanpa harus memaksakan "bersyariat" atau bernegara Islam. Sebuah cara pandang yang dianggap sekuler oleh kalangan tertentu.

Keterbukaan pemikirannya membuat Buya Hamka menganggap Soekarno tetap sebagai muslim, dan berkenan menjadi imam shalat jenazahnya, walaupun Hamka tahu bahwa Soekarno adalah penggagas Nasakom. Bersedia menikahkan anaknya Pramudya Ananta Toer (Pram), walau tahu Pram adalah tokoh PKI.

Masihkah gagasan-gagasan ini akan dilestarikan oleh sivitas dan pengurus YISC saat ini? Atau tetap meminggirkannya. Dipinggirkan oleh Organisasi yang direstui, dibina dan dibanggakan oleh Buya Hamka.

Salam,

wtarsono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar