Sabtu, 15 Agustus 2009

BAKTERI MAUT TAK MENGALAHKAN DINDA


Perjalanan hidup yang semula menyenangkan buat Titiana Adinda, biasa dipanggil Dinda, tiba-tiba buyar saat dia terkena penyakit Meningitis. Penyakit itu datang tak terduga. Hari itu dia sedang bersiap untuk menonton bioskop bersama kekasihnya. Tiba-tiba ia terserang sakit kepala dan demam yang sangat hebat. Dinda mencoba meredakannya dengan meminum obat, tapi tidak berpengaruh.

Dinda tak kuasa menahan rasa sakit itu, dia merebahkan diri di kasur, sampai akhirnya dia tak sadarkan diri. Kekasihnya merasa curiga saat dia beberapa kali menelepon tidak diangkat. Dia bergegas menuju tempat tinggal Dinda. Dia dapati Dinda sudah tak sadarkan diri, segera dia bawa Dinda ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan, diketahui ternyata Dinda mengidap penyakit Meningitis TB.

Meningitis yang diderita Dinda adalah Meningitis yang diakibatkan oleh bekteri TBC. Bakteri tersebut menyerang selaput otak. Bakteri TBC ternyata tidak hanya menyerang paru-paru, tetapi juga organ tubuh vital lain seperti otak, usus, tulang dan ginjal. Pada kasus penyakit Dinda ini, tenyata bakterinya tidak hanya menyerang selaput otak, tapi sudah menyerang jaringan otak. Dinda bukan lagi terkena penyakit Meningitis tetapi Meningoensefalitis.

Titiana Adinda atau lebih sering dipanggil Dinda adalah seorang akitivis yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Dia bekerja di Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Di lembaga itu, dia menjabat sabagai Asisten Koordinator Divisi Pengembangan Sistem Pemulihan bagi Korban.

Hidup Dinda cukup dinamis. Banyak hobinya, dari membaca, menonton, hiking, sampai mendaki gunung. Dua kali Gunung Gede dia taklukkan. Dalam hal pekerjaan dia orang yang sangat menikmati profesinya. Bahkan tidak hanya menempatkannya sebagai profesi, lebih dari itu, sebagai panggilan jiwa.

Dalam rangka tugas, Dinda sering pergi ke berbagai daerah untuk mengadvokasi berbagai peraturan daerah agar berpihak terhadap perempuan korban kekerasan. Banyak daerah di Indonesia yang telah dia kunjungi, dari mulai Papua hingga Aceh. Bukan hanya dalam negeri, beberapa Negara lain pernah dia kunjungi, seperti Singapura dan Thailand. Tidak heran kalau kemudian Dinda pun memunyai banyak teman, yang jadi kebahagiaan tersendiri.


Gangguan Bicara, Amnesia, dll.
Setelah Dinda didiagnosa mengidap penyakit meningitis, dia dirawat di rumah sakit selama sebulan, 13 hari di antaranya dalam keadaan koma. Tapi, pengobatan itu tidak bisa membuatnya sembuh total. Bahkan secara bertahap Dinda mengalami dampak lanjutan dari penyakit tersebut. Dimulai dengan terganggunya kemampuan bicara Dinda. Ucapan Dinda menjadi tidak jelas.

Dengan kondisi itu Dinda mulai minder. Dia sedih sekali menerima kenyataan itu. Dinda menangis, padahal menangis sangat jarang dia lakukan. Dinda mulai sangsi dengan ketabahan menerima derita tersebut. “Ya, Tuhan, kalau begini terus, aku tidak tahan menerima cobaan ini,” keluhnya. Walaupun begitu, Dinda tidak menyerah. Dinda melakukan terapi bicara di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP). Memulai belajar lagi mengucapkan huruf a, i, u, e, o seperti masa kecilnya dulu.

Derita Dinda tidak berhenti di situ, Dinda juga terkena amnesia, kehilangan memori ingatan. Tidak ada satu peristiwa pun dalam beberapa bulan terakhir dia ingat. Keluarganya melakukan terapi dengan menunjukkan foto-foto dirinya. Tetapi Dinda masih bersyukur amnesia yang dia derita bukan amnesia total. Dia hanya tidak ingat peristiwa-peristiwa dikisaran waktu tiga tahun lalu, sesudah dan sebelumnya Dinda masih mengingatnya.

Penyakit Meningoensefalitis ternyata juga mengakibatkan terganggunya penglihatan Dinda. Setiap benda yang Dinda lihat akan tampak menjadi dua. Tapi, kalau mata kirinya ditutup benda yang dia lihat ternyata hanya satu. Tidak hanya itu, tidak lama setelah Dinda menyadari penglihatannya bermasalah, mata kiri Dinda semakin mengecil dan bola matanya tertarik ke kiri. Dinda memeriksakannya ke rumah sakit mata. Menurut dokter yang memeriksanya, matanya bisa sembuh dengan melakukan operasi sebanyak tiga kali dengan biaya 25 juta sekali operasi. Dinda menyerah, karena tidak mempunyai uang sebanyak itu. Akibatnya Dinda sering merasa pusing akibat pandangan dobel tersebut.

Usaikan cobaan untuk Dinda? Tenyata tidak. Dinda mengalami kelumpuhan tubuh bagian kanan. Kelumpuhan itu dimulai dengan serangan sakit kepala terhadap Dinda. Dinda merasakan pusing yang hebat selama tiga hari berturut-turut. Obat vertigo yang dia minum tidak membantunya. Sampai suatu pagi dia menyadari bagian kanan tubuhnya tidak bisa digerakkan. Dinda menjerit sekeras-kerasnya meratapi deritanya.

Selain mengalami gangguan bicara, gangguan penglihatan, amnesia dan kelumpuhan, Dinda sempat khawatir dengan kondisi badannya yang tidak pernah berkeringat dan menstruasi. Tapi kembali normal setelah selama enam bulan. Dinda merasa lega.


Di-PHK Dari Komnas Perempuan
Setelah setahun lebih dalam perawatan, pada Maret 2005 Dinda memberanikan diri untuk kembali bekerja, walaupun dengan menggunakan kursi roda. Dinda senang dengan sambutan teman-teman kerjanya, mereka memberikan dorongan semangat untuk kesembuhan Dinda. Karena kondisi tubuhnya yang belum pulih Dinda tidak bisa menempati meja kerjanya di lantai dua. Tapi Dinda merasakan ada yang aneh saat menyadari dirinya tidak diberikan fasilitas komputer untuk bekerja. Padahal ada dua komputer yang tidak dipakai di ruangan tempat dia memulai berkantor.

Hari kedua bekerja, Dinda mendapat kabar yang membuatnya shock, dia di PHK dari Komnas Perempuan. Kabar itu dia terima dari Seketaris Jendral (Sekjen) Komnas. Dinda kecewa di PHK sepihak, walaupun menurut Sekjen Komnas dia masih diperbolehkan bekerja, dengan tugas meresensi buku yang diterbitkan Komnas Perempuan. Dengan status bukan lagi sebagai karyawan, tapi sukarelawan.

Dinda menganggap telah diperlakukan tidak adil oleh Komnas Perempuan. Dengan bantuan enam pengacara Dinda mengajukan gugatan atas PHK sepihak oleh Komnas Perempuan. Mendapat gugatan dari Dinda, Komnas Perempuan mencoba mendekati Dinda agar membatalkan gugatannya dan membuat surat pengunduran diri, demi menjaga hubungan baik mereka.

Dinda bergeming, tekadnya melawan ketidakadilan perlakuan Komnas Perempuan tetap dilanjutkan. Menurutnya tawaran yang diajukan oleh Komnas Perempuan tidak menyelesai hak dan keadilan yang dia tuntut. Yang diinginkan Dinda, silahkan dia di PHK dan berikan pesangon, kalau tidak, proses gugatan hukum tetap akan dia lakukan. Lobi kembali dilakukan.

Tujuh bulan kemudian, tim pengacara Dinda mendapat komitmen lisan dari Komnas Perempuan, bahwa mereka akan bersedia membuat surat PHK Dinda dan akan memberikan pesangon. Tapi, baru delapan bulan kemudian janji itu direalisasikan oleh Komnas Perempuan. Dinda menandatangani PHK dan mendapatkan pesangon. Perlakuan yang tidak mencerminkan sebuah lembaga pejuang hak asasi. ”Tapi aku sudah memaafkan mereka, dengan teman-teman karyawan dan mantan karyawan di Komnas Perempuan aku masih berhubungan baik.”

Keputusasaan dan Ketabahan
Kehidupan penuh misteri. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Begitupun yang terjadi dengan Dinda. Dia tidak menyangka akan mendapat ujian hidup yang sangat berat. Kehidupan yang semula begitu menyengkan, tiba-tiba menjadi suram, direnggut oleh penyakit, yang dia tidak kenal, bahkan tidak pernah mendengarnya. Dia sangat terpukul dengan penderitaannya.

Apalagi saat secara bertahap fungsi-fungsi organ vitalnya mulai terganggu, dari mulai penglihatan, bicara, ingatan bahkan kelumpuhan sebagain tubuhnya. Adakalanya karena beratnya penderitaan yang dia derita, muncul keputusasaan, keluh kesah bahkan keinginan agar Tuhan mencabut nyawanya. “Tuhan, tolong ambil nyawaku….aku tak tahan lagi…..Kenapa Engkau berikan ujian seberat ini padaku?”

Pernah juga Dinda menggugat keadilan Tuhan. Dia marah kepada Tuhan: “Tuhan kenapa memilihku untuk mengalami cobaan seperti ini? Kenapa harus aku? Kenapa bukan orang lain yang selama ini sudah cukup kenyang mendapat keberuntungan dalam hidupnya?Aku merasa Tuhan tidak adil padaku.” (Titiana Adinda, Harapan Itu Masih Ada, halaman 29)

Beruntung, Dinda memiliki keluarga yang mendukung dan mendorongnya untuk sembuh. Karena itu Dinda tidak mau menyerah. ”Aku selalu ingat mama, aku sayang dia, aku tidak mau mati mendahului dia, aku ingin selalu bersamanya.”

Selain itu Dinda mempunyai kekasih yang selalu memerhatikan dan memberinya semangat, dan teman-teman yang selalu menemani dan menghiburnya. Harapan itu perlahan mulai tumbuh dan bersemi. Apalagi saat ia mulai merasakan perkembangan positif atas kesembuhan dari penyakitnya.

Dinda bersyukur kepada Tuhan atas kesempatan hidup dan kekuatan yang diberikan sehingga dia kuat menghadapi serangan penyakit otak yang sangat kompleks. Dinda tidak pernah lelah berdoa untuk kesembuhannya. Dia tidak pernah lupa menjalankan sholat lima waktu dan beberapa sholat sunnah. Itu semakin menguatkannya. Dinda pun sangat yakin akan janji Tuhan dalam firman-Nya dalam surat Al Insyirah: “…karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan………Dan hanya kepada Tuhanmulah, engkau berharap.”

Mulai Bangkit
Setelah Dinda menjalani beberapa terapi, dari mulai terapi bicara, terapi tangan dan terapi berjalan, fungsi-fungsi organnya mulai bisa digunakan, walaupun tidak normal seperti semula. Tapi itu cukup membangkitkan kembali gairahnya untuk kembali berkarya. Dia mulai banyak menulis baik untuk blog maupun untuk di kirm ke media massa. Tulisan Dinda ada yang berupa artikel, ada juga yang berupa puisi ataupun cerpen.

Aktivitas lain yang dilakukan Dinda, dia bersama teman-temannya menggagas dibentuknya Indonesia Media Watch. Sebuah lembaga yang bertujuan untuk memantau media massa agar sajiannya, baik berita maupun hiburannya berpihak kepada Hak Asasi Manusia khususnya hak perempuan, kelompok minoritas dan lingkungan. Untuk membiayai aktivitas Inonesia Media Watch, Dinda swadaya bersama pengursus lainnya.

Tidak berhenti di situ, Dinda pun menggagas beladiri Self Defense for Women (SDFW). Ini bermula saat Dinda mengirim e-mail ke Forum Pembaca Kompas, artikel Dinda yang berjudul “Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Masalah Kesehatan Masyarakat.” Tulisan tersebut direspon oleh pelatih karate di Amerika Serikat yang bernama Sensei Deddy Mansyur, seorang warga Negara Indonesia yang tinggal di Texas. Deddy Mansyur yang memberikan ide agar Dinda menggagas beladiri Self Defense for Women di Jakarta. Bersama Sensei Fahmy Syarif yang merupakan Sensei Deddy Mansyur gagasan itu diwujudkan.

Dari aktivitas itu, Dinda bersama Sensei Fahmy Syarif menerbitkan buku panduan Self Defense for Women. Setelah itu buku-buku Dinda yang lain diterbitkan. Hal itu menegaskan bahwa Dinda tidak menyerah oleh serangan penyakit yang membuat kebanyakan penderitanya meninggal dunia.

Dalam waktu kurang lebih setahun, empat buku telah tulis oleh Titiana Adinda. Buku-buku itu berjudul Self Defense for Women, Harapan itu Masih Ada, Kekerasan Itu Berulang Padaku, dan buku terakhirnya, Biarkan Aku Memilih. Hal itu menunjukkan produktivitas yang patut diacungi jempol.

Benar, memang, setelah kesusahan ada kemudahan. Sesudah penderitaan, ada produktivitas. Dinda seakan membuktikan, penyakit, semaut apa pun, tak harus membuat seseorang selamanya merasa sakit, dan berhenti hidup.***

Disadur dari Buku Harapan Itu Masih Ada, Penulis Titiana Adinda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar