Minggu, 04 Desember 2011

RASID, MEMUNGUT SAMPAH SEBAGAI PANGGILAN HATI

Kali Ciliwung, Kalibata
"Orang lain dapat 500 juta saja belum tentu tepuk tangan, saya dapat gopek pasti tepuk tangan mas."

Sabtu sore (3/12) langit Jakarta tidak tampak cerah, tapi juga tidak menunjukkan tanda-tanda akan hujan. Melihat hari sudah sore, Rasid (46 tahun) menepikan perahunya dari tengah kali Ciliwung di daerah Kalibata. Dia menyudahi pekerjaannya memungut sampah-sampah yang hanyut oleh air yang mengalir deras.

Rasid tidak langsung naik ke darat. Dia tetap di perahunya merapikan sampah plastik yang berhasil dia kumpulkan. Sampah plastik yang terlihat kotor dia bersihkan, yang tampak bersih langsung dia masukkan ke dalam karung yang telah dia sediakan. Setelah membersihkan semua plastik tangkapannya, dia membersihkan perahu yang menjadi alat pencahariannya. Baru setelah itu dia beranjak naik ke darat.
Rasid

Setiap hari aktivitas itu yang dia lakukan. Jam tujuh dia memulai pekerjaannya. Naik perahu yang dikaitkan pada tali yang melintasi sungai, sebagai penahan perahunya, kemudian memulai memunguti sampah-sampah plastik yang melintas. Tengah hari dia akan naik ke darat untuk makan siang dan istirahat sejenak, setelah itu melanjutkannya sampai antara jam empat atau jam lima. "Kadang-kadang saya mulai dari jam enam, tergantung saya sedang sehat atau enggak, tapi rata-rata jam tujuhlah saya mulai," ucapnya menerangkan aktifitas kesehariannya.

Rasid memunguti sampah plastik sebagai mata pencaharian. Dari plastik-plastik yang dia kumpulkan dia menggantungkan hidupnya. Sudah lama dia melakukan itu, semenjak krisis moneter menerjang Indonesia. "Semula saya pekerja serabutan, kadang-kadang sebagai sebagai kuli bangunan atau pekerjaan apa saja yang penting halal," ucapnya. "Beberapa kali saya juga dagang, pernah jualan bubur ayam, es kelapa muda dan jualan yang kalau dapat gopek aja tepuk tangan".

"Apa itu Pak?" Tanya saya spontan dengan nada heran. "Jualan abu gosok. Kalau ada orang beli berapapun kan kita merawuknya. Dia beli gopek ya kitarawuk abu gosok seharga gopek, setelah itu saya bertepuk tangan," jelasnya dengan serius. "Oh iya ya," timpal saya sambil tertawa terkekeh mendengar penjelasannya. "Bener Mas, orang lain dapat 500 juta saja belum tentu tepuk tangan, kita dapat gopek pasti tepuk tangan mas," lanjutnya.

Semula Rasid menekuni pekerjaan mengumpulkan sampah plastik di kali Ciliwung sebagai kegiatan sambilan. Dia lakukan setelah pulang jualan atau pulang kerja di bangunan, atau saat dia tidak jualan atau tidak ada pekerjaan. Dengan menggunakan alat seadanya, sebuah perahu yang terbuat dari styrofoam dia mengapung di kali Ciliwung. Kedalaman kali yang mencapai empat meter dan derasnya tidak dia pedulikan. Tidak ada rasa takut dalam diri Rasid kalaupun perahu yang dia gunakan tidak memadai. "Seperti sudah menjadi panggilan hati saya, kalau ada sedikit saja waktu luang, saya pasti turun ke kali Mas," ucapnya.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, Rasid telah menekuni perkerjaan memungut sampah plastik di kali Ciliwung ini sebagai pekerjaan utama. Saat ini, dia telah memiliki perahu yang terbuat dari papan yang dia beli seharga 1,5 juta yang dibayar dengan cara mencicil. "Kalau mesti kontan saya tidak sanggup, seberapa sih penghasilan saya dari ini," ungkapnya menjelaskan.

Rasid mengapung di kali Ciliwung setiap harinya selama tujuh sampai delapan jam. Dalam sehari dia bisa mengumpulkan satu karung sampai dua karung sampah plastik. "Tergantung, kalau lagi ramai bisa dua karung, kalau lagi sepi kadang sekarung juga kurang," ucapnya lagi menjelaskan.
Rasid, istri dan perahunya

Setelah terkumpul banyak dia dibantu istrinya memilah-milah jenis-jenis plastik yang dia dapat. Dia pisah-pisahkan berdasarkan katagorinya. Menurut Rasid ada sekitar 10 katagori berdasarkan jenisnya. Plastik berupa botol minuman dia kumpulkan tersendiri, berupa botol obat atau botol minuman energi seperti kratingdaeng dikumpulkan tersendiri juga. "Pokoknya sekitar sepuluh jenis, saya lupa rinciannya," ucapnya.
Rasid dan sampah yang sudah dirapikan 

Setelah plastik yang dia kumpulkan sudah banyak dan sudah sesuai katagorinya dia menghubungi pembelinya. Dalam sebulan, penghasilan Rasid berkisar antara 300 ribu - 500 ribu rupiah. Uang sebesar itu yang dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Makan, sandang dan membiayai pendidikan anak-anaknya. Tapi buat Rasid dan keluarganya uang sebesar itu tetap dia syukuri, manurutnya yang penting dia dan keluarganya tidak kelaparan.

Rasid berasal dari Tegal. Dia menikah dengan perempuan betawi. Dari pernikahannya mempunyai anak empat. Anaknya yang paling besar saat ini sudah berkeluarga, yang lainnya belum. Anak yang paling kecil saat ini masih SMP. Pendidikan paling tinggi dari keempat anaknya adalah SMP. "Yang keempat ini saya ingin dia sekolah lebih tinggi lagi, tapi tergantung nanti rejekinya bagaimana. Kalau punya uang dilanjutkan, kalau enggak lihat nanti," ucapnya dengan pelan. Terlihat ada nada sesal, tidak bisa memberikan membiayai anak-anaknya untuk sekolah lebih tinggi.

Rasid adalah potret masyarakat kecil di negera kita. Dia menjalani hidup apa adanya. Tidak mempunyai ambisi yang besar atau cita-cita yang muluk. Tapi Rasid juga bukan seorang pemalas. Dia sudah bekerja saat sebagian orang mungkin masih berleha lehe di rumahnya. Dia berani menantang bahaya, saat orang lain takut.

Rasid menjalani pekerjaannya dengan sepenuh hati. Dia jalani dengan tanpa keluh kesah. Berapapun atau apapun yang dia dapatkan dia nikmati dengan rasa syukur. "Mungkin ini sudah nasib saya," ujarnya pasrah.***

Catatan:
Saya ingin menulis cerita orang-orang "kecil" lainnya. Silahkan usulkan dan berikan nomor kontek yang bisa dihubungi. Saya juga mengharap teman-teman berkenan memberikan komentar atau rating terhadap cerita atau tulisan ini. Apapun komentarnya atau berapapun ratingnya sangat berguna untuk perbaikan saya.

Tulisan lain klik di SINI


1 komentar:

  1. Makasih sudah berkunjung di blog saya. http://kisahkisahislamiah.blogspot.com

    BalasHapus