Rabu, 07 Desember 2011

MASJID SAID NAUM, MERAIH AGA KHAN AWARD

BAGIAN PERTAMA DARI DUA TULISAN
Matahari sudah tidak tampak lagi, tapi lembayung masih cukup menerangi langit Jakarta walau terhalang oleh banyaknya bangunan tinggi. Waktu maghrib tinggal beberapa menit lagi, Tapi itu masih cukup dimanfaatkan oleh sekumpulan anak untuk bermain layang-layang di halaman Masjid Said Naum. Ini adalah sebuah masjid di Jalan Kebon Kacang Tanah Abang, Jakarta Pusat. Masjid itu memang memunyai halaman luas, salah satu ciri khas dari Masjid tersebut.

Anak-anak yang bermain tersebut adalah siswa dari Taman Pendidikan Al Quran (TPA), di bagian samping dari komplek masjid Said Naum. Beberapa menit sebelum adzan maghrib, anak-anak itu telah menyelesaikan belajarnya. Sebagian anak-anak langsung mengambil wudhu dan masuk ke masjid. Sebagaian lain bermain layang-layang. Tidak ada hardikan dari guru mereka. Mereka tampak gembira memanfaatkan waktu yang tersedia untuk bermain. Saat adzan berkumandang, otomatis mereka mengakhiri permainan mereka dan lantas mengikuti teman lainnya untuk berwudhu dan segera menuju masjid untuk menunaikan sholat maghrib.

TPA adalah salah satu kegiatan yang diselenggarakan oleh pengurus Masjid Said Naum. Keberadaan TPA merupakan bentuk keperdulian sosial terhadap pendidikan Islam untuk masyarakat di sekitar masjid tersebut. Sebagian besar anak-anak yang belajar di TPA tersebut adalah anak dari kalangan tidak mampu. Mereka tidak dikenakan biaya untuk belajar di TPA tersebut. Ada sekitar 120 anak yang belajar di TPA Masjid Said Naum.

Foto ARCHNET
Mendapatkan Penghargaan Aga Khan Award
Memasuki areal Masjid Said Naum, kita akan merasa seperti berada di dunia lain. Halaman masjid yang luas membuat bangunan masjid tersebut seolah “terasing” dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Tapi itu justru membuat kita akan merasakan hawa sejuk berada di halaman dan teras masjid tersebut.

Foto ARCHNET
Begitupun saat memasuki ruangan dalamnya. Kita akan melihat ruangan sholat yang lapang dengan tanpa tiang di tengahnya, sebagaimana lazimnya banyak masjid. Kondisi tersebut membuat kita akan jelas melihat mihrab, dan ruangan sholat terasa lebih luas.

Sirkulasi udara ruangan salat berasal dari jendela-jendela kayu yang berada disetiap dinding masjid tersebut. Ada lima buah jendela di setiap dindingnya, semuanya tidak menggunakan daun jendela, hanya barisan kayu berukir/ulir dengan jarak tertentu berjejer secara vertikal. Pilihan jendela seperti itu membuat angin bebas bertiup ke dalam bangunan, dan itu menjadi salah satu unsur yang membuat nyaman berada di dalam ruangan masjid tersebut.

Menurut Bambang Setia Budi, dosen arsitektur Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam blognya (B. S. B'SPLACE), daya tarik dari segi arsitektur yang menjadi ciri khas masjid itu adalah bentuk atap yang mengadopsi atap tumpang bangunan sakral Jawa atau Bali. Tetapi arsiteknya, Adhi Moersid, mengubah perwujudan baru atap tersebut dengan memutar 90 derajat dari bentuk massa masjidnya.

Perubahan itu memperlihatkan usaha menarik dalam menampilkan gagasan baru untuk merevitalisasi bentuk atap lokal/tradisional tersebut. Bentuk seperti itu berkembang lebih lanjut di kemudian hari pada bangunan masjid-masjid modern lainnya di Indonesia, seperti Masjid Al-Markaz Al-Islami di Makassar dan Masjid Pusdai (Islamic Center) di Bandung.

Dalam pandangan Bambang, Masjid Said Naum, baik dari segi penampilan masjid dalam ruang dan bentuk, tata letak dan penataan lanskap, mendekati ideal. Kehadirannya begitu nyaman bagi kegiatan ritual ibadah seperti salat, itikaf (berdiam diri di dalam masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah), merenung, hingga muhasabah (mengevaluasi diri).

Klik Website Aga Khan
Selain itu, menurut Bambang, arsitek Masjid Said Naum berhasil merepresentasikan karakter arsitektur tradisional, yang cocok dengan lingkungan sekitar, dan menggunakan material lokal. Atas alasan itu pulalah bangunan masjid yang selesai pembangunannya pada 1977 ini mendapatkan penghargaan Honourable Mention dari Aga Khan Award for Architecture pada 1986.

Karena penghargaan Aga Khan Award itu, keberadaan Masjid Said Naum semakin di kenal orang, terutama bagi para pemerhati arsitekur. Bukan hanya para arsitek dalam negeri, tetapi juga arsitek luar negeri. Pada sekitar 1984/85, Masjid Said Naum mendapat kunjungan dari Pengeran Amir Salman Bin Sulton Bin Abdul Azis, salah seorang pengeran dari kerajaan Arab Saudi.

“Kami kaget ketika kami mendapat telepon dari kedutaan Arab Saudi yang menyampaikan akan ada keluarga kerajaan yang akan berkunjung ke Masjid Said Naum,” ungkap Abdullah Djaidi.

“Beberapa minggu setelah itu, pangeran tersebut datang. Pangeran Sulton ternyata seorang arsitek. Kemudian kami ajak pengeran tersebut keliling sambil berdialog. Dari dialog tersebut kami akhirnya mengetahui, pengeran Sulton mengetahui Masjid Said Naum dari sebuah majalah di Amerika,” lanjutnya.

Foto ARCHNET
“Pengeran Sulton takjub dengan arsitektur masjid Said Naum, terutama ruang salat yang tanpa tiang. Menurutnya seluruh masjid di Arab Saudi menggunakan tiang. Setelah melihat ruangan dalam, kami ajak dia berkeliling melihat lingkungan sekitar masjid. Setelah berkeliling memutari masjid dia berkata kepada kami, masjid Said Naum pantas menadapatkan penghargaan Aga Khan Award, karena baik dari segi arsitektur maupun artistiknya menakjubkan,” urainya.

Mencari Bingkisan Cantik untuk Ulang Tahun Anak Anda, Klik di SINI

Tulisan terkait:
Masjid Said Naum, Pembangunannya Diawali Kontroversi-Bagian Kedua dari Dua Tulisan
Masjid Alatif Bagian Pertama dari Dua Tulisan
Masjid Alatief Bagian Kedua dari Dua Tulisan
Mencari Mal Ramah Islam
Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru
Masjid Sunda Kelapa Menteng
Dari Haram Jadah, Menjadi Hamparan Sajadah
Masjid Cut Meutiah Menteng


Saya tunggu komentar atau rating Anda. Apapun komentarnya atau berapapun ratingnya berharga bagi saya.

Terima Kasih
Warsa Tarsono
HP: 0818 995 214/021-96318167
Email: wtarsono@yahoo.com
FB: Warsa Tarsono
Twitter: @wtarsono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar