Minggu, 11 Desember 2011

TELEVISI JURU DONGENG YANG BURUK

Di banyak rumah, ada pendongeng setia yang sangat disukai anak-anak. Namanya televisi.
Anak-anak dan TV adalah perpaduan yang sangat kuat. Tak banyak hal lain dalam kebudayaan kita yang mampu menandingi kemampuan TV yang luar biasa untuk menyentuh anak-anak dan mempengaruhi cara berpikir serta perilaku mereka.

Anak memiliki rasa ketertarikan yang besar terhadap TV. Berbeda dengan banyak media lain, TV adalah medium anak-anak. TV bisa menggenggam anak-anak, padahal media lain tak mampu melakukannya. Anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton TV daripada untuk kegiatan apa pun lainnya, kecuali tidur.

Si “juru dongeng modern” ini sangat berjaya sebagai pendongeng, yang setia menceritakan berbagai kisah yang tak henti-hentinya dari pagi hingga malam. Adalah Marie Winn, penulis The Plug-In Drug (1977) yang menyebut anak-anak sebagai “passive, zombie-like” saat berada di depan pesawat TV. Winn menganalogikan TV sebagai drugs, yang sebagaimana obat bius atau alkohol, membuat pemirsa ketagihan.

Melalui tayangan-tayangan mimpinya, TV tidak sekedar mendongeng tapi juga memberi informasi apa saja. Dan jika bosan atau tidak suka, seorang penonton TV dapat memilih mana saja tayangan yang dianggapnya bagus.

Jika dongeng semata-mata dipandang sebagai hiburan, pastilah TV dapat menggusur dongeng. Karena dengan kelebihan audio-visualnya, TV sangat-sangat menarik sebagai media hiburan. Apalagi, teknologi TV makin lama makin maju sehingga daya pikatnya pun makin besar.
***

Banyak orangtua sering tidak menyadari bahwa TV sebenarnya adalah pendongeng yang buruk. Memang, jika dibandingkan dongeng, TV jelas memiliki satu keunggulan: sifatnya yang audio-visual. Namun justru karena kesederhanaan “teknologi”nya, dongeng memiliki keunggulan yang jauh lebih banyak dibandingkan TV.

Banyak sekali acara TV yang bertema antisosial, muatan yang tidak sehat bagi anak. Tema-tema kekerasan dalam banyak pengamatan dan penelitian terbukti menjadi tema utama tayangan TV. Milton Chen, ahli pertelevisian anak-anak, secara sangat impresif menunjukkan betapa masyarakat telah terkepung oleh materi-materi kekerasan di rumah sendiri oleh benda bernama TV. Saat ia menulis tentang kekerasan di TV, ia menulis sub-judul: “Anda Ingin Menyaksikan Pembunuhan? Hidupkan TV: Pelayanan 24 Jam!”

Sebaliknya, dongeng justru menampilkan tema-tema prososial, muatan yang sehat bagi anak. Buku dongeng anak-anak secara umum tidak mengemukakan tema-tema seks, cinta yang erotis, kebencian, kekejaman, prasangka, serta masalah hidup dan mati --tema-tema yang justru banyak diangkat dalam banyak acara TV kita. Kalau pun segi-segi buruk kehidupan diangkat menjadi persoalan ---misalnya tentang kemiskinan atau kejahatan— maka amanatnya biasanya disederhanakan dengan menyediakan akhir kisah yang indah. Misalnya, kisah Bawang Merah dan Bawang Putih atau Cinderella.

Tambahan lagi, dongeng anak tidak sekedar menampilkan tema prososial. Dongeng anak itupun sangat banyak memasukkan pesan-pesan moral semacam kesetiakawanan, cinta kasih, sikap berbakti kepada orangtua, kecintaan kepada alam, kejujuran dan ketabahan menghadapi kehidupan, dan mementingkan kepentingan orang banyak.

Cara penyajian dongeng dari orangtua ke anak memiliki fungsi sosial yang dahsyat. Posisi dialogis dalam mendongeng mempererat hubungan emosi antara orangtua dan anak. Komunikasi dalam dongeng berkembang dua arah, karena anak berkesempatan untuk bertanya atau berkomentar. Ini tak dijumpai pada TV yang arus komunikasinya berjalan satu-arah.

Apalagi, dongeng memungkinkan anak membentuk imajinasi bebas dari apa yang diceritakan. Imajinasi atau fantasi merupakan salah satu kebutuhan intrinsik bagi pertumbuhan anak-anak, karena fantasi merupakan unsur yang memungkinkan dan mendukung kreativitas.
Kebebasan berfantasi, yang notabene adalah kebebasan menafsirkan simbol-simbol, yang tumbuh tatkala mendengar dongeng tidak akan didapatkan dari TV. Kotak ajaib itu justru mengabsolutkan simbol.

Berbeda dengan dongeng yang memungkinkan anak dapat mengabstraksikan secara bebas apa pun yang didengarnya, kesempatan itu ditiadakan oleh TV. Media ini menutup kemungkinan proses tawar-menawar untuk menafsirkan realitas. Simbol-simbol yang ditampilkan demikian dimutlakkan dan dijalin dalam story board yang tak putus-putus. Karenanya tidak ada peluang berpikir alternatif atas suatu simbol yang muncul. Kalau toh ada jeda dalam TV, itu diisi oleh iklan.
Mendongeng menjadi bermakna karena dua hal: makna yang diberikan oleh cerita itu sendiri dan aktivitas (perilaku) mendongeng. Kegiatan dongeng sangat diwarnai nuansa emosional dan manusiawi. Mendongeng adalah manifestasi rasa peduli dan kasih sayang orangtua kepada anak. Ini sangat bermanfaat dalam perkembangan kepribadian anak.

Dengan menjadi juru cerita bagi anak-anak, orangtua telah mengarahkan secara aktif perkembangan mental anak-anak, sikap hidupnya, dan ekspresi emosinya. Tanpa terasa dongeng dapat membantu anak-anak untuk tumbuh sebagaimana yang didambakan orangtua. Dengan mengingat banyaknya acara TV yang buruk, bayangkanlah jika yang menjadi juru cerita ini adalah televisi!

Mendongeng adalah suatu proses kreatif. Dengan bercerita seseorang menciptakan suatu dunia yang lain dan mengharapkan dapat menggiring para pendengarnya untuk dengan penuh keyakinan membenarkan dunia yang diceritakan. Dengan beberapa patah kata saja, seperti “Pada zaman dahulu kala...”, pendengar dongeng seolah-olah dilontarkan kepada suatu dunia tanpa batas waktu. Para pendengar akan tercekam dan terserap oleh kata demi kata yang diucapkan si pendongeng dan imajinasi mereka mengembang sesuai keinginan si pendongeng. Kebiasaan menumbuhkan kreativitas melampaui ruang dan waktu ini dibutuhkan saat anak belajar di bangku sekolah.***

Demikian pentingnya dongeng bahkan sudah teruji sampai ke tingkat yang lebih makro. Adalah David McClelland yang membuktikan bahwa dongeng sangat penting bagi kemajuan perekonomian suatu bangsa.

Teori McClelland tentang Motivasi Berprestasi merupakan karya klasik teori modernisasi. Ia menekankan signifikansi yang utama dari masalah kepribadian dan sosialisasi dari anggota masyarakat yang mau membangun. Teori ini menerapkan metode proyeksi untuk mengukur motivasi berprestasi seseorang.

Dalam diri seseorang terdapat need for achievement (n-Ach), yakni suatu motivasi individual untuk menegakkan bagi dirinya sendiri sesuatu yang harus dicapainya dan kemudian ukuran (standar) kecemerlangan untuk itu. Dengan kata lain, n-Ach adalah kebutuhan untuk dinilai berhasil pada beberapa pengukuran keunggulan internal. Hal tersebut menunjukkan keinginan individu untuk melakukan sesuatu dengan baik, untuk menemukan dan mengatasi tantangan, untuk diuji, untuk berusaha sekuat tenga, dan untuk berhasil.

McClelland menguji n-Ach antara lain dengan mengkaji bacaan anak yang populer dalam suatu masyarakat. Melalui studinya, McClelland menemukan bahwa negara-negara di mana bacaan anaknya menekankan kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach) dan kepedulian pada pihak lain, memiliki tingkat pertumbuhan tiga kali lipat dibandingkan negara-negara di mana dimensi-dimensi tersebut hanya memperoleh perhatian sedikit.

McClelland memusatkan perhatian pada “pengalaman di masa pertumbuhan anak”. Menurutnya, pada masa itulah, kemandirian, kepercayaan diri, dan kemampuan manusia dibentuk. Seorang anak yang memperoleh sosialisasi nilai-nilai kemandirian – diteorikan terutama melalui berbagai dongeng dari beragam sumber -- akan mampu menempati peran-peran kewiraswastaan saat ia dewasa kelak. Dan adalah kehadiran para sumberdaya manusia yang kompetitif seperti itulah yang dibutuhkan pada pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.***

Jika sudah demikian halnya, apa kita masih mau menyerahkan anak-anak kita pada televisi, si juru dongeng yang buruk?***

* Nina M. Armando adalah Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Dosen Komunikasi di Universitas Indonesia dan Aktivis di Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA).

Artikel ini pernah dimuat di Majalah Madina, di-posting di Blog ini dengan izin yang bersangkutan.

Bingkisan Cantik Untuk Ulang Tahun Anak Anda

Tulisan lain:
Rasid Memungut Sampah Sebagai Panggilan Hati
Kisah Inspiratif dari Chicken Soup for The Soul
Aksi Mahasiswa UI Menjadi Sesuatu Banget
Ucapkan Selamat dan Doa Ulang Tahun Lewat Lagu
Ali Sadikin Ngotot, Masjid Said Naum Berdiri
Mencari Mal Ramah Islam

Terima Kasih
Warsa Tarsono
HP: 0818995214/02196318167
Email: wtarsono@yahoo.com
FB: Warsa Tarsono
Twitter: @wtarsono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar