Kamis, 22 Januari 2009

HEE AH LEE KEAJAIBAN CINTA SEORANG IBU


Hujan deras yang mengguyur Jakarta sekitar pukul enam malam, tidak menghalangi warga Jakarta untuk menyaksilan kepiawaian Hee Ah Lee memainkan piano. Semua tempat duduk terisi penuh bahkan banyak yang rela berdiri. Semua penonton terlihat antusias menyaksikan pertunjukan tersebut. Disetiap jeda permainan, selalu diikuti gemuruh sorak sorai penonton yang kagum atas kemahiran Hee Ah Lee.

Hee Ah Lee seorang pianis asal Korea Selatan yang hanya mempunyai empat jari tangan dan kaki sebatas lutut. Tetapi dengan keterbatasan fisik yang dia miliki, tidak menghalangi Hee Ah Lee untuk mahir memainkan piano. Kedatangannya ke Indonesia saat ini dalam rangka peluncuran buku yang diterbitkan oleh Penerbit Hikmah, kelompok penerbit Mizan. Buku tersebut ditulis oleh Kurnia Effendi.

Dalam acata tersebut tampil juga Sherina yang membawakan lagu My Heart Will Go On yang diiringi permainan piano Hee Ah Lee. Selain itu hadir juga Dwiki Dharmawan yang diminta untuk memberikan komentar atas buku dan permainan piano Hee Ah Lee.

Selama ini Hee Ah Lee telah memainkan komposisi bukan saja lagu-lagu populer, tetapi juga karya-karya klasik dari komposer terkenal. Tentu hal itu telah menghadirkan rasa kagum masyarakat, bukan saja masyarakat biasa tetapi bahkan para pemusik terkenal.

Menurut Dwiki Dharmawan musik klasik adalah musik yang tidak bisa dimainkan dengan asal-asalan. Musik klasik mempunyai kompleksitas yang rumit untuk dimainkan bahkan oleh orang yang mempunyai sepuluh jari. Kerena itu Dwiki sangat kagum terhadap Hee Ah Lee yang bisa memainkan musik klasik dengan hanya empat jari tangan yang dia miliki. ”Hee Ah Lee tidak lagi bermusik dengan fisik tetapi dengan spirit, dengan hati, dengan cinta”. Ungkapnya memberikan komentar.

Perjalanan hidup Hee Ah Lee memang sebuah kisah yang mengharukan dan menggugah spirit yang membacanya. Lahir dengan keterbatasan dan penolakan keluarga atas kelahirannya, tetapi berhasil mengatasi tantangan itu.

Hee Ah Lee sudah diketahui akan terlahir cacat ketika masih dalam kandungan. Karena kondisi tersebut dokter dan keluarga menyarankan kepada Woo Kap Sun, ibu Hee Ah untuk tidak melanjutkan kelahiran putrinya. Tetapi Woo Kap Sun tetap bersikukuh. ”Bagaimanapun juga, janin ini anak saya. Darah daging saya sendiri. Tak mungkin saya gugurkan.” Ungkapan cinta seorang ibu kepada anaknya.

Kehadiran seorang anak sesuatu yang Woo Kap Sun dambakan selama tujuh tahun pernikahannya. Karena itu dia bertekad melahirkan dan membesarkan anaknnya. Sebuah hadiah dari Tuhan, anggapnya.

Tantangan Woo Kap Sun berikutnya kembali datang dari keluarga besarnya. Mereka menganggap ketidak sempurnaan bayi yang dilahirkan Woo Kap Sun merupakan aib. Mereka meminta Hee Ah diserahkan ke panti asuhan. Mereka berpikir bahwa mungkin hidup sang bayi akan lebih baik jika diadopsi keluarga lain. Woo Kap Sun tidak bergeming, dia bersikukuh mempertahankan bayinya.

Ketika usia Hee Ah menginjak tujuh tahun, Woo Kap Sun berinisiatif melatih otot motorik jari Hee Ah. Dia gunakan piano kecil di rumahnya. Kesulitan lain muncul, kakinya yang hanya sebatas lutut tidak bisa menjangkau pedal piano. Sang ibu mencari akal, akhirnya dia mendapat informasi bahwa di Jepang ada yang membuat dan menjual pedal khusus. Diapun berangkat ke Jepang dan membeli pedal tersebut.

Ketekunan, kegigihan dan kesabaran Woo Kap Sun membuahkan hasil. Hee Ah Lee, anak berhasil dan mahir memainkan piano. Bukan hanya itu, Hee Ah Lee bahkan telah manggung dan tampil dalam banyak pertunjukan. Hee Ah Lee sudah menjadi pianis terkenal. Walaupun semula, tidak terpikir oleh Woo Kap Sun ingin menjadikan Hee Ah sebagai pianis terkenal.

Perjalanan kehidupan belum usai. Tantangan berat kembali dihadapi oleh Woo Kap Sun dan Hee Ah Lee. Semua bermula dari rasa bosan Hee Ah. Bosan untuk kembali berlatih. Bosan untuk kembali memenuhi undangan-undangan pertunjukan. Bosan untuk kembali memainkan piano yang selama ini menjadi harapan keduanya. Sebagai lambang prestasi dan kemandirian mereka. Saat itu Hee Ah Lee menginjak usia 13 tahun.

Bujukan Woo Kap Sun tidak bisa menggugah Hee Ah Lee. Piano yang semula menjadi nafas kehidupannya menjadi barang yang menakutkan. Bahkan hanya sekedar untuk melihatnya. Setiap kali guru lesnya datang, Hee Ah langsung menjerit-jerit memilukan, berteriak, tak mau berlatih lagi.

Woo Kap Sun merenung. ”Apakah cita-citaku untuk membentuk Hee Ah sebagai seorang pianis salah?” Apakah yang dilakukannya selama ini sebuah pemaksaan dirinya atau demi kebahagiaan Hee Ah? Pertanyaan-pertanyaan itu sering hadir dalam dirinya dan menciptakan kegelisahan yang tiada ujung.

Sampai akhirnya sebuah mukjizat Tuhan hadir dalam keluarga itu. Sebuah pertanyaan dari seorang wartawan yang tiada lagi mendengar dentingan piano dalam rumahnya. ”Tidak Ada Lagu Seindah Ini Lagi.” Headline sebuah koran.

Sorot mata Hee Ah berbinar lagi. Senyum Hee Ah ceria lagi. Hee Ah terkenang dengan sorot lampu yang menyirami penampilannya di atas panggung. Dengan tepuk tangan riuh yang mengelu-elukan dirinya.

Gairah Hee Ah bangkit. Semangat Woo Kap Sun menggelora kembali. Kedua ibu dan anak itu kembali menjemput harapannya, kembali meraih kebahagiaanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar