Selasa, 25 November 2008

Si Jago Merah



Film Si Jago Merah saat ini sedang diputar di bioskop-bioskop. Beberapa teman yang sudah menonton mengatakan cukup menghibur. Saya sebenarnya terpikir juga untuk menontonnya, walaupun belum terbayang kapan waktunya. Tetapi bukan kerena film tersebut saya membuat tulisan ini. Secara kebetulan Play Group Sahabat Kecil yang kami kelola hari Jum'at kemarin (21/11) mengadakan kunjungan ke markas pemadam kebakaran Jakarta Selatan di daerah Lebak Bulus. Tidak jauh dari terminal bus Lebak Bulus.

Saat para pengajar di sahabat kecil menyampaikan kepada saya bahwa anak-anak akan diajak melakukan kunjungan ke pemadam kebakaran, dalam hati ada rasa takjub terhadap gagasan mereka. Sebelumnya saya tak terbayang ada program seperti itu. Para guru berinisiatf mengenalkan pemadam kebakaran kepada anak-anak usia dini, dengan harapan anak-anak akan care terhadap profesi tersebut. Profesi yang tidak semua orang mau berada di posisi itu, termasuk juga kita, saya. Bahkan bisa jadi bukan hanya tidak mau berprofesi diposisi itu, lebih dari itu kita tidak care terhadap keberadaannya. Tidak mau tahu alamat pemadam kebakaran terdekat dari rumah atau kantor kita, tidak mau tahu nomor yang bisa kita hubungi kalau tetangga atau rumah kita terbakar.

Yang terjadi kita akan panik, kita akan menyalahkan orang-orang sekitar kita. Mengapa tidak ada yang tahu? Kita akan menyalahkan ketua RT/RW, kita akan menyalahkan orang kelurahan. Ironisnya kita tidak akan menyalahkan diri kita sendiri, mengapa kita tidak tahu? Tapi sudahlah, tidak dalam kontek itu saya menulis ini. Saya hanya ingin bercerita.

Saat saya sampai di lokasi, anak-anak sudah duduk di kursi dan menghadap ke petugas yang sedang menjelaskan apa dan bagaimana pemadam kebakaran bekerja. Mereka memutarkan film kartun tantang pemadam kebakaran. Sambil menonton petugas memberikan penjelasan lebih detail film yang diperlihatkan. Dalam tayangan tersebut dijelaskan bagaimana anak-anak untuk hati-hati terhadap api, untuk tidak main korek api atau lilin. Juga anjuran kepada orang tua untuk selalu tidak lupa mematikan kompor. Saat terlihat dalam tayangan seorang bapak membuang puntung rokok ke sampah, petugas berkata. "Itu untuk bapak-bapak, adik-adik bilang sama bapak agar jangan buang puntung rokok sembangarangan, karena hal itu bisa mengakibatkan kebakaran". Ungkapnya dengan semangat.

"Nah kalau sudah terjadi kebakaran adik-adik secepanya telepon ke nomor 113, nomor berapa adik-adik? Tanya petugas. "Satu-satu tiga" Jawab anak-anak serempak. "Nomor berapa"? Petugas mengulang pertanyaan. "Satu satu tiga". Jawab anak-anak serentak sambil mengacungkan tangan.

Seteleh tayangan selesai petugas mulai menyampaikan berbagai jenis mobil yang dioperasikan oleh pemadam kebakaran. Disini anak-anak mulai tidak konsen, bukan karena petugas kurang menarik tetapi karena istilah-istilah mobil tersebut banyak yang menggunakan bahasa inggris, sehingga mereka merasa asing.

Setelah memperkanalkan jenis-jenis mobil, petugas mulai memperkenalkan alat-alat yang digunakan petugas pemadam kebakaran. Bukan hanya memperlihatkan mereka juga mempraktekkan. Mulai dari memakai baju sampai memperagakan penggunaan alat alat tersebut. Saat petugas memakai baju lapangan, beberapa anak ketakutan bahkan sampai ada yang menangis. Walaupun ada juga anak yang berani memegang-megang baju petugas. "Kalau baju yang warna merah ini tahan panas tapi bukan api. Nah baju yang warna perak ini tahan api, tetapi kalau dibaka dalam waktu yang lama, bisa kebakar juga". Jelasnya. Beberapa anak yang berani meminta foto bersama dengan para petugas yang memakai baju pemadam.

"Nah sekarang adik-adik ingin naik mobil pemadam? Tanya petugas. "Mau" jawab anak-anak. "Tetapi om mau tanya dulu, kalau bisa jawab pertanyaan om, nanti adik-adik boleh naik mobil. Pertanyaannya berapa nomor telepon pemadam? Tanyanya. "Satu satu tiga". "Kurang keras". "Satu-satu tiga". Jawab mereka kembali. "Om gak denger ya". Celetuk salah satu anak. Petugas hanya mesem.

Setelah itu anak-anak diajak naik mobil, didampingi para pengajar. Saat anak-anak sudah di dalam mobil, sirine mobil dibunyikan, saat inilah kemudian beberapa anak ketakutan lagi, bahkan ada yang menangis. Tapi kemudian para pengajar meyakinkan anak-anak bahwa bunyi itu tidak masalah. Beberapa anak masih menangis, mobil tetap jalan. Setelah mobil memasuki jalan raya anak-anak sudah tidak ada yang menangis. Bahkan mereka mulai berteriak menunjuk-nunjuk mobil disekitarnya. Beberapa saat kemudian guru dan petugas pemadam kebakaran mengajak anak-anak menyanyi. Mobilpun menjadi meriah. Masyarakat di sekitar jalan yang dilewati mobil pemadam kebakaran terlihat heran kok ada anak-anak kecil berada di mobil pemadam kebakaran.

Kurang lebih sepuluh menit kemudian mobil pemadam kembali ke tempat semula. Terlihat wajah-wajah ceria anak-anak saat mereka keluar dari mobil. Tidak lama kemudian petugas kembali mengajak anak-anak, kali ini anak-anak diajak untuk menggunakan air penyemprot api.

Tanpa komando anak-anak sudah berlarian menuju selang penyemprot api. Mareka berebut untuk menggunakan. Petugas sigap dan kemudian mengatur anak-anak. Secara bergilir anak-anak mulai menggunakan selang penyemprot api. Bak seorang pemadam kebakaran.

Saya merasa bangga bukan saja kepada gagasan para pengajar di sahabat kecil. Saya juga apriciet terhadap para petugas pemadam kebakaran. Saat mereka menemani anak-anak, terlihat kesungguhan mereka, bahkan saat anak-anak mulai terlihat tidak konsentrasi, mereka tetap menerangkan dengan semangat. Tidak terlihat muka risih dari wajah mereka. Malah mereka terlihat bangga di kunjungi oleh anak-anak.

Bercerita tantang petugas pemadam kebakaran, saya jadi teringat salah satu kisah dalam buku Chicken Soup for the Soul. Cerita tentang sebuah keluarga yang bapaknya berprofesi sebagai petugas pemadam kebakaran. Suatu kali ibu dari keluarga itu menemani anaknya bermain dengan teman-temannya. Saya agak lupa mulai ceritanya dari mana, tetapi suatu kesempatan anak tersebut mendapatkan pertanyaan tentang profesi bapaknya. Saat mendapatkan pertanyaan seperti itu, anak tersebut enggan menyebutkan profesi bapaknya. Kejadian itu diketahui oleh ibunya. Ibunya tertegun melihat kejadian itu, dan ada marah saat anaknya malu mengatakan profesi bapaknya. Walaupun demikian tidak lantas dia memarahi anaknya. Baru setelah mereka berdua pulang ke rumah, ibunya mengajak anaknya untuk bicara.

"Nak kenapa kamu tidak menyebutkan pekerjaan bapakmu". Tanya ibunya. "Saya malu". Jawabya. "Kenapa malu"? Tanyanya kembali. "Pekerjaan Bapak kan bukan pekerjaan penting, bukan pekerjaan yang bisa dibanggakan". Jawabnya. "Nak semua profesi itu penting, dan semua bisa dibanggakan. Ibu bangga terhadap profesi ayahmu, dia berani mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan banyak orang. Dia berani mengambil resiko. Dan itu berarti Bapakmu berani mati untuk membiayai hidup kita, memberi makan kita dan membiayai sekolah kamu. Jadi profesi bapakmu penting, dan kamu harus bengga terhadap itu".

Anak itu tertegun menatap ibunya, air matanya berlinang, dan sesaat kemudian anak tersebut menghampiri ibunya dan memeluknya sambil berkata. "Maafkan saya Bu, sekarang saya tahu bapak adalah orang penting, dan saya bangga". Beberapa saat mereka perpelukan. Tak dapat ditahan ibunyapun meneteskan air matanya. (Ceritanya tidak persis sama, garis bersarnya seperti itu seingatku)

Wassalam

wtarsono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar