Senin, 06 Desember 2021

Disparitas Harga Hasil Pertanian

Petani membuang hasil panennya
Salah satu yg menjadi kegundahan petani adalah jauhnya perbedaan antara harga jual dari petani dan harga beli di konsumen. Bisa berlipat-lipat sampai 400 persen.
Sebagai contoh, harga jagung manis saat saya mendapatkan harga 500 rupiah perkilo, harga di konsumen 1,000 rupiah perbuah. Di mana satu kilo jagung isinya antara 2-3 buah. Artinya kalau dihitung sekilo dua buah saja sudah 400 persen.

Saat saya mendapat harga terbaik yg pernah saya dapat, sebesar 3,800 perkilo, harga jualnya 5.000-6.000 perbuah. Begitu juga dengan harga cabai.

Beberapa waktu lalu saya bertanya harga cabai kepada teman saya yg punya warung makan. Saat itu dia beli dengan harga 20 ribu perkilo. Sedangkan harga jual cabai dari petani hanya 5,000.

Saat harga cabai mencapai 120,000 perkilo harga jual dari petani antara 40,000 - 60,000 perkilo. Walaupun mungkin ini belum berdasarkan penelitian yg valid, hanya sebatas pengalaman saya.

Kembali ke persoalan, pertanyaannya, kenapa perbedaan harganya jauh? Menurut saya karena panjangnya rantai distribusi. Setidaknya ada lima rantai distribusi sampai produk pertanian ke konsumen. Pertama petani jual ke pengepul kecil, bahasa kami bakul. Selanjutnya bakul ke pengepul besar.

Pengepul besar ke pasar Induk. Pasar Induk ke Pasar di level kecamatan. Dari situ ke pasar-pasar yg lebih kecil atau penjual sayur keliling. Nah baru dari situ sampai ke konsumen.

Tentu di setiap rantai akan bertambah harganya. Pertanyaan berikutnya bisakah diperpendek? Kalau kita membandingkan dengan negara lain, bisa. Sebut saja Jepang.

Seperti yang saya lihat di YouTube, petani di sana bisa langsung mendistribusikan hasil taninya ke swalayan-swalayan dan pasar-pasar tradisional.

Ada koperasi petani yang berjalan dengan baik. Ada kontrol kualitas dan lain sebagainya. Tentu semua itu terjadi karena jauh sebelumnya pemerintah melakukan edukasi kepada para petaninya.

Nah ini yg tidak terjadi di Indonesia. Sejak dulu petani seperti dibiarkan. Keterlibatan pemerintah hanya seadanya. Seolah selesai hanya dengan memberi traktor, selesai hanya dengan ngasih pupuk subsidi, selesai dengan membangun irigasi dll.

Dan seringkali pemerintah hanya baik kebijakan tapi jelek diimplementasi. Contohnya pupuk subsidi.

Tidak ada edukasi bagaimana petani mendistribusikan hasil taninya. Bagaimana mengembangkan pertanian sebagai bisnis yang menguntungkan.

Tidak heran kalau kemudian sangat sedikit generasi muda yg melihat pertanian sebagai bidang pekerjaan yg menjanjikan.

Bayangkan, di negara agraris, tapi kita susah menemukan lembaga-lembaga pendidikan terkait dengan pertanian.

Begitulah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar