Rabu, 16 Desember 2015

Amat Disayangkan, YISC Seolah Tercerabut dari Akarnya

Raudah Institute, Lembaga Alumni YISC
Harus diakui Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar adalah organisasi yang paling berkesan buat saya. Saya cukup lama aktif di sana, hampir 10 tahun. Selama itu saya pernah menjadi Pemimpin Redaksi Berita YISC (BY), Ketua Departemen Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat (P2M), Majelis Dinamika Organisasi (MDO) dan terakhir Ketua Lembaga Pembinaan Adik Asuh YISC (PAYISC).

Satu hal yang membuat saya betah di YISC adalah budaya keterbukaan dan keberagaman yang dikembangkan di sana. Terbuka terhadap berbagai latarbelakang, pemikiran, pandangan agama, bahkan mazhab. Dengan budaya tersebut hampir tidak ada pernyataan atau tuduhan sesat kepada orang-orang yang berbeda dengan kita. Pendapat disanggah dengan pendapat, pemikiran di-counter dengan pemikiran.

Dalam forum-forum kajian, baik di kelas maupun di forum lainnya, diskusi sering berlangsung seru tapi tetap menjaga persaudaraan. Sebagai contoh, dalam suatu forum ada dua orang berdebat. Mereka saling berargumen dan mengatakan pendapatnya punya rujukan dalam Al-Quran. Sementara peserta lain menyimak, tiba-tiba kedua orang tersebut beranjak. Mereka bergegas ke sekretariat untuk mencari Al-Quran. Mereka pun kembali sambil nenteng Al-Quran, setelah itu saling menunjukkan ayat yang menjadi rujukannya, kepada lawan debatnya dan peserta lainnya. Setalah perdebatan selesai mereka kembali akur.

Saat itu kejadian seperti itu hal biasa. Kami punya prinsip, kalau memang tidak ada titik temu maka kami akan bersepakat untuk tidak sepakat, setelah itu urusan menjadi selesai. Karena prinsip itu siapapun yang berdebat setelah selesai akan haha hihi kembali, dilanjut  menuju tempat makan atau aktifitas lainnya. Tanpa menyisakan tuduhan sesat, kafir atau apapun yang mendiskriminasikan orang lain. 

Dengan budaya yang terbuka tersebut, spektrum kajian di YISC juga menjadi luas, tidak hanya berkutat masalah agama dan perjodohan. Walaupun tentu saja tema perjodohan selalu ada sesi khusus, bahkan waktunya bisa lebih lama dari kajian-kajian lainnya.

Selain dua tema tersebut, forum-forum diskusi di YISC bisa bicara tentang isu politik, ekonomi, hukum, pemberdayaan ekonomi rakyat, perempuan, pemberdayaan konsumen, media, anak-anak, psikologi, luar negeri, dan lain-lainnya. 

Yusril IM, sering menjadi narasumber
Dengan luasnya konsen kajian YISC saat itu, maka banyak tokoh-tokoh nasional yang menjadi narasumber di forum-forum kajian YISC. Dari mulai tokoh LSM Adi Sasono, pakar Hukum, Dimyati Hartono, Ismail Sunni, Yusril Ihza Mahendra, Jimly Asshidiqi. Kajian ekonomi menghadirkan Sri Mulyani, Faisal Basri. 

Kajian perempuan dan pemberdayaan konsumen menghadirkan Nursyahbani Katjasungkana dan Zoemrotin yang saat itu menjadi ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan banyak tokoh lainnya yang saya tidak ingat. 

Semantara tokoh-tokoh agama seperti Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Nasaruddin Umar, Arifin Ilham, Hidayat Nurwahid, Said Agil Siraj, Din Syamsuddin dan lain-lain beberapa kali mengisi forum-forum di YISC.

YISC saat itu dianggap organisasi yang berbeda, karena bisa menyajikan kajian-kajian yang bukan agama masuk dalam pembahasan di lingkungan masjid. Sampai sering para narasumber merasa supprise, kok bisa bukan tema agama dibahas di masjid. 

Beberapa narasumber perempuan yang sebenarnya tidak memakai jilbab, saat berbicara di YISC memakai jilbab, tanpa perlu diminta pengurus. Yang lebih unik lagi, beberapa narasumber meminta khusus untuk difoto, sebagai kenang-kenangan bagi mereka. Mereka bangga menjadi pembicara di masjid.

Kajian lainnya yang bisa dihadirkan saat itu adalah Kajian Filsafat Islam.  Kajian ini diadakan atas kesadaran bahwa di dunia Islam ilmu filsafat juga berkembang. Ada banyak filsuf  Islam masa lalu yang memberikan kontrubusi bagi peradaban dunia. dari mulai bidang kesehatan, matematika, apalagi agama dan moral. 

Selama ini banyak dari kita enggan menggalinya karena ada stigma belajar filsafat akan menjauhkan kita dari agama, dari Tuhan. Tapi kita tidak sadar banyak hal pengetahuan, kontruksi sosial dan perilaku kita dibentuk oleh teori-teori filsafat-filsafat dari Barat. Keterbukaan cara berpikir membuat pengurus YISC saat itu berani mendobrak stigma itu. Maka dalam beberapa seri kajian Filsafat Islam bisa diadakan. 

Basari Husna (tengah), Pendiri YISC
Selain kesadaran atas keberagaman pemikiran, pengurus saat itu menyadari juga akan keberagaman latar belakang anggotanya. Baik latarbelakang ekonomi, sosial dan pemahaman agama. Dalam hal pemahaman agama, pengurus menyadari banyak anggota yang  sudah mendalami agama, tapi lebih banyak yang baru belajar. Bahkan baru tumbuh kesadaran beragama. Karena itu tidak ada pemaksaan atau pengkondisian agar anggota misalnya untuk mengenakan jilbab.

Suasana dibuat sedemikian rupa agar anggota nyaman. Termasuk buat teman-teman YISC yang datang ke sekretariat setelah pulang kerja dengan mengenakan  rok mini. Kegiatan YISC saat itu memang bukan hanya di hari Sabtu dan Minggu.  

Hampir setiap hari YISC selalu semarak. Hari kerja ada Kajian Lepas Kerja. Juga ada Kajian Buku, dan seabreg rapat-rapat. Sivitas YISC saat itu emang doyan rapat., sampai tutup pintu sekretariat saja harus dengan rapat.

Sekretariat YISC sepi hanya hari Senin, karena hari Minggunya sivitas banyak yang pulangnya malam, atau capai seharian beraktifitas di YISC.

Kesemarakan seperti itu sirna setelah orang-orang dengan paham tertentu menjadi pengurus YISC. Mereka menganggap berbeda itu sesat, yang tidak sepaham itu musuh, terbuka itu adalah libaral. Secara bertahap mereka menyingkirkan pengajar-pengajar sebelumnya, dan menghadirkan pengajar-pengajar baru dari luar YISC yang  tidak paham dengan kultur YISC. 

Bahkan selanjutnya YISC pun seolah menjadi basis partai tertentu. Kalau ada agenda partai tersebut sering menjadi titik kumpul mereka. Dengan leluasa mereka mengenakan atribut partai di sekratariat YISC, yang dulu "diharamkan".

Silaturrahmi di rumah Lukman Saifuddin
Silaturrahmi dengan alumni seakan diputus. Mereka  hanya mengundang orang-orang yang sepaham dengan mereka dalam agenda-agenda silaturrahmi organisasi. Akhirnya sekarang YISC seolah a historis. Dia tidak kenal masa lalunya. Dia tidak tahu latarbelakang didirikannya. YISC tercerabut dari akarnya.

Bulan Desember ini saya dengar YISC menyelenggarakan Musyawarah Lengkap (Musleng), untuk merumuskan kembali AD/ART dan pergantian pengurus. Ada suara mereka ingin menelusuri kembali sejarah YISC. Ingin membangun kembali silaturrahmi dengan alumni-alumninya terdahulu. Saya kira itu niat yang baik, dan mudah-mudahan memang bukan hanya sekedar niat, tapi direalisasikan dengan langkah-langkah yang jelas.

Sebagai orang yang menyintai YISC, saya harap ini benar. Dan saya yakin banyak alumni yang lain juga punya harapan yang sama. Semoga.

1 komentar:

  1. 5 stars article. Kembalikan YISC ke khittahnya sebagai lembaga kajian yang mengusung ide "sepakat untuk tidak sepakat"

    BalasHapus