Kamis, 19 Juli 2012

NIAT RAMADHAN DARI KYAI DI KAMPUNG

Nama lengkapnya Jaenudin, tapi saya dan orang-orang disekitarnya memanggilnya Ejen. Karena dia merupakan saudara tua keluarga saya, maka saya memanggilnya dengan membubuhi kata Wa, yang berarti paman. Orang lain memanggilnya dengan menambahi kata Ma. Dalam bahasa sunda di daerah kami, pengucapan Ma adalah ungkapan untuk orang yang lebih tua, kurang lebihnya artinya mang, bang atau paman, dalam arti yang umum.

Tapi jangan salah pengucapannya, bunyi huruf E dalam kata Ejen, mesti dengan bunyi ‘eu’ seperti kita mengucapkan kata empat. Menambahkan huruf E dalam tutur sunda daerah saya mungkin adalah kekhasan tersendiri. Penambahan itu biasanya saat kata yang diucapkan hanya terdiri satu suku kata dan diawali dengan huruf konsonan. Baik kata itu terkait dengan panggilan nama seseorang maupun sebuah kata benda.

Contoh lain panggilan nama selain Jen adalah Lin. Nama teman saya Parlina Ermawati, lumrahnya, panggilannya adalah Lina atau Wati. Tapi semua orang di daerah saya memanggilnya dengan Elin, dengan pengucapan huruf E mendekati ke bunyi ue. Contoh kata benda adalah kata jok mobil. Kami menyebutkannya dengan ejok mobil, sama seperti kata lainnya bunyinya mendekati ‘eu’.

Saya menduga pengucapan seperti itu terkait dengan pengenalan huruf-huruf saat masih kecil. Di daerah saya (saya enggak tahu daerah sunda lainnya), ketika menyebutkan huruf-huruf konsonan hampir semuanya dengan menambahkan huruf ‘E’ di depannya. Huruf B menjadi EB, C menjadi EC, D menjadi ED. Ini juga mungkin bisa menjadi penjelasan mengapa kebanyakan orang sunda agak kesulitan mengucapkan huruf F. Menjadi susah mengucapkan huruf F dengan menambahkan huruf E di depannya tetapi huruf E nya dibunyikan dengan suara EU. Coba saja!

Selain huruf F, huruf yang lainnya adalah Z dan X. Hampir tidak ditemukan kata-kata dalam bahasa sunda yang diawali dengan huruf F, Z dan X. Maka Jaenudin yang kalau mengikuti bahasa asalnya mesti menggunakan Z menjadi huruf J. Fatimah menjadi Patimah. Bagi orang-orang sunda yang sudah melek sih mereka sudah mulai menggunakan dengan huruf-huruf yang semestinya, walaupun pengucapanya tetap, Ep dan Ej.

Kembali ke Wa Ejen. Dia adalah guru ngaji saya dan orang-orang kampung saya, guru dalam arti bukan semata mengajarkan membaca Al Quran, tapi orang yang memberi pemahaman bagaimana beragama Islam. Di banyak daerah lain mengistilahkannya dengan ustad. Bukannya kami tidak tahu kata ustad, mungkin karena belum menjadi kultur pengistilahan ustad tidak dilekatkan pada guru-guru ngaji ataupun imam-imam mushala di daerah kami. Kami mengunakan istilah-istilah Ma atau Pak. Ma lebih banyak dilekatkan pada ‘ustad’ yang lulusan pesantren, Pak untuk para ‘ustad’ yang lulusan pendidikan formal, mereka kebanyakan guru agama di sekolah-sekolah. Gelar keagamaan lain yang dikenal adalah Kyai.

Wa Ejen ‘ustad’ datang dari tetangga desa. Berpindah karena pernikahannya dengan pemilik mushala di dekat rumah saya. Salah satu kekhasan dia saat memberikan ceramah di mushola adalah dengan bercerita kisah-kisah yang bersumber dar kitab kuning. Bahkan dia bisa berceramah lagaknya Kyai Balap. Kyai yang berceramah dengan cerita dan bertuturnya seperti orang bernyanyi.

Bagi saya Wa Ejen adalah orang yang memberikan pondasi keagamaan saya. Banyak petuah dia yang diberikan langsung kepada saya, maupun saya dapat saat dia ceramah. Salah satu yang tidak terlupakan adalah saat dia menyuruh saya bersimpuh meminta maaf kepada Ibu dan Bapak, setelah saya ‘bertengkar’ dengan orang tua saya. (Pertengkaran dengan orang tua saya bisa dibaca di tulisan: Jejak Kerja Keras Bapakku).

Yang lainnya adalah ajaran dia terkait dengan bagaimana menyambut bulan puasa. Menurut dia niat berpuasa itu bukan hanya niat harian yang diucapkan setelah sahur atau sebelumnya. Niat berpuasa itu sudah dimulai sesaat setelahmemasuki bulan puasa. Niatnya adalah berpuasa sebulan penuh. Sederhana, tapi bagi saya itu ajaran yang sangat baik. Menjelang Ramadhan saya selalu ingat dan mengucapkan niat seperti yang dia ajarkan.

Terinspirasi oleh ajarannya, saya mencoba mengembangkan niat Ramadhan bukan semata niat berpuasa. Saya meniatkan hal-hal spesifik, terkait dengan sesuatu yang ingin saya perbaiki dalam perilaku saya maupun dalam ibadah-ibadah saya. Saya niatkan berbarengan dengan niat berpuasa sebulan penuh. Pernah saya meniatkan khatam Al Quran selama bulan Ramadhan, berbuka puasa dan sahur dengan makanan yang sederhana, tidak melewatkan shalat subuh berjamaah, teraweh berjamaah full selama sebulan dan lain-lain. Mengawali dengan itu menjalani Ramadhan seperti memberi kekuatan, walaupun beberapa Ramadhan hal-hal tidak terpenuhi, kemudian saya tekadkan di Ramadhan berikutnya.

Ramadhan ini ada dua niat yang saya sertakan berbarengan dengan niat puasa saya, yaitu khatam Al Qur’an dua kali dan shalat subuh berjamaah selama sebulan penuh. Saya telah mencoba mengevaluasi diri saya sendiri, hasilnya saya merasa tahun ini untuk urusan shalat subuh dan membaca Al Qur’an sangatlah mengecewakan. Karena itu di bulan Ramadhan ini saya ingin melatih dan membiasakannya kembali. Saya berharap ini akan memperbaiki hal-hal lainnya terkait religiusitas, kerpibadian dan perilaku saya. Semoga Allah mempermudahnya.

Selamat Ramadhan, dan menikmati keberkahan dan kemurahan Allah. Mohon maaf lahir dan Bathin.
Depok, 19 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar