Sabtu, 21 Juli 2012

PERSPEKTIF BARU KATAGORI BERPUASA

Saat mengunjungi Juli Nasution yang habis melahirkan bersama beberapa teman alumni Youth Islamic Study Club (YISC) Al Azhar, Diana Sarahsanti salah satunya bercerita; “Gue baru beli buku, judulnya bagus, pasti lu suka kak”, ujarnya. “Apa?”, tanya ku. “Tuhan Pun Berpuasa, yang nulis Emha Ainun Najib”, jawabnya. Aku tidak otomatis memutuskan untuk membelinya juga. Baru beberapa hari kemudian, setelah berpikir sepertinya aku perlu membeli buku tentang puasa.

Beberapa kali Ramadhan terakhir ini saya mendampingkan aktivitas berpuasa dengan sebuah buku, mencoba menstimulus makna-makna yang bisa saya dapatkan selama berpuasa. Tidak mesti sebuah buku tentang puasa, atau buku Islam, bisa juga buku-buku umum, tapi yang saya anggap bisa seiring memandu perbaikan perilakuku. Sebelumnya saya kembali membaca buku Seven Habits dari Stephent R. Covey. Beberapa kali Ramadhan didampingi dengan buku 30 Sajian Ruhani dari Nurcholish Madjid. Pernah juga dengan tafsir Al Misbah yang dikarang oleh Quraish Shihab.

Nah sehari menjelang memasuki bulan Ramadhan, aku memutuskan untuk membeli buku Tuhan Pun Berpuasa seperti direkomendasikan oleh Diana Sarahsanti. Dan segera saya membaca beberapa bagian dari buku itu. Kesimpulannya: “Lu enggak rugi beli buku itu”, SMS Diana ke handphone ku. Setuju!

Selama ini kita kita sering mendengar ceramah para ustad atau ulama bahwa ada tiga katagori orang berpuasa. Berikut adalah uraian tiga katagori yang saya kutip dari Hidayatullah.com. Pertama, mereka yang dikelompokkan sebagai orang awam. Kelompok ini berpuasa tidak lebih dari sekadar menahan lapar, haus, dan hubungan seksual di siang hari Ramadhan. Sesuai dengan namanya, sebagian besar kaum muslimin berada dalam kelompok ini.

Kelompok kedua adalah mereka yang selain menahan lapar, haus dan hubungan suami isteri di siang hari, mereka juga menjaga lisan, mata, telinga, hidung, dan anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan maksiat dan sia-sia. Mereka menjaga lisannya dari berkata bohong, kotor, kasar, dan segala perkataan yang bisa menyakiti hati orang. Mereka juga menjaga lisannya dari perbuatan tercela lainnya, seperti ghibah, mengadu domba, dan memfitnah. Mereka hanya berkata yang baik dan benar atau diam saja.

Kelompok kedua ini juga bisa menjaga mata dari melihat segala sesuatu yang dilarang syari’at. Matanya tidak dibiarkan liar memandang aurat perempuan atau lelaki yang tidak halal, baik secara langsung, maupun melalui tontonan televisi, gambar dan foto.

Mereka juga menjaga telinga dari mendengar segala sesuatu yang menjurus kepada maksiyat. Mereka yang termasuk kelompok ini tidak akan asyik duduk bersama orang-orang yang terlibat dalam perbincangan yang sia-sia.

Di bulan Ramadhan, kelompok ini juga menutup telinganya rapat-rapat dari segala suara yang dapat mengganggu konsentrasinya dalam mengingat Allah. Sebaliknya, mereka membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengar ayat-ayat suci al-Qur’an, mendengar majelis ta’lim, mendengar kalimat-kalimat thayibah, dan mendengar nasehat-nasehat agama. Ketekunan dan kesibukan menyimak kebaikan dengan sendirinya akan mengurangi kecendrungan mendengar sesuatu yang sia-sia, apalagi yang merusak nilai ibadahnya.

Selebihnya, mereka juga menjaga tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuhnya dari segala yang dilarang syari’ah. Mereka menjaga tangannya dari memegang sesuatu yang tak halal. Mereka juga mengendalikan kakinya dari melangkah ke tempat yang haram. Demikian juga terhadap perutnya, mereka menjaga agar perutnya hanya diisi makanan yang halal saja. Baik ketika sahur maupun pada saat berbuka puasa.

Adapun kelompok ketiga adalah mereka yang berada dalam kategori khususul khusus atau al-Khawwas. Mereka tidak saja menjaga telinga, mata, lisan, tangan, dan kaki dari segala yang menjurus pada maksiyat kepada Allah, akan tetapi mereka juga menjaga hatinya dari selain mengingat Allah. Mereka mengisi rongga hatinya hanya untuk mengingat Allah semata-mata. Mereka tidak menyisakan ruang sedikitpun dalam hatinya untuk urusan duniawi. Mereka benar-benar mengontrol hatinya dari segala detakan niat yang menjurus pada urusan duniawi.

Pertanyaannya, masuk dalam kelompok mana kita? Saya sendiri tidak bisa menjawab. Kalau menjawab kelompok pertama, sia-sia banget puasa saya. Sementara kalau menjawab kelompok kedua, berarti saya sudah masuk ke dalam golongan orang-orang suci. Jujur; enggak banget. Karena kalau saya sudah bisa melakukan berbagai perilaku itu, rasanya saya tidak berada di zaman seperti ini. Sepertinya saya berada di negeri entah berantah. Apa lagi masuk dalam katagori kelompok ketiga. Sudah pasti, saya seorang sufi.

Bukan salah katagorinya, cuma rasanya pilihan-pilihan itu tidak dekat dengan saya.

Membaca buku Tuhan Pun Berpuasa membuat saya mendapat perspektif baru tentang katagorisasi berpuasa. Dan ini menurut saya lebih bisa diterima oleh suasana keimanan saya. Tiga katagori tersebut berdasarkan kepentingan-kepentingan kita berpuasa.

Katagori pertama adalah memosisikan puasa sebagai metode, cara, atau persyaratan memperoleh sesuatu yang bersifat duniawi.

Saat saya kecil, sering orang-orang tua saya menyampaikan bahwa kalau saya ingin sukses, mempunyai banyak kekayaan, maka rajinlah berpuasa. Petuah itu biasanya disertai oleh rujukan bahwa kekayaan yang dimiliki keluarga saat ini adalah hasil dari rajinnya kakek buyut saya berpuasa. Maka sejak kecil selain puasa pada bulan Ramadhan saya mengenal puasa mutih. Sampai SMP saya melakukan dua puasa tersebut. Puasa mutih saya lakukan saat ada tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai. Yang paling diingat adalah saat ujian sekolah. Apakah puasa Ramadhan bisa diposisikan seperti puasa mutih? Jawabannya, bisa!

Katgori kedua adalah puasa untuk kepentingan ukhrawi. Kita berpuasa tidak untuk kepentingan dunia kita, tidak untuk kemapanan ekonomi kita. Tidak untuk mendapat jabatan tertentu, tapi untuk mendapatkan tempat yang mulia di surga kelak, demi mendapatkan pahaya yang sebanyak-banyaknya.

Tingkat kedua ini ini tetap mengorientasikan tujuan berpuasa pada kepentingan kita, tetapi dengan objek berbeda, sukses ukhrawi. Ini tentu lebih mulia, dalam kalimat Emha: “Kalau engkau berada di tingkat mutu puasa yang kedua ini, alhamdulillah, karena engkau sudah memberi harga lebih mahal kepada perbuatan puasa. Engkau sudah tidak meremehkan kesucian dan ketinggian ibadah puasa untuk hal-hal yang remeh-temeh di dunia.

Katagori atau tingkat ketiga adalah puasa untuk kepentingan ilahiyah murni. Di tingkat ini termuat makna Al-Ikhlas. Katakan bahwa Allah itu satu. Bahwa Allah itu satu-satunya dan sekaligus segala-galanya, yang dihadapan-Nya engkau lebur dan lenyap. Itulah yang disebut tauhid penyatuan diri dengan-Nya. Peleburan, pelarutan, dan peniadaan diri, sehingga yang ada hanya Allah, yang penting hanya Allah.

Dengan tiga katagori ini rasanya saya lebih bisa memilih. Pertanyaannya di katagori atau tingkat mana kita akan memosisikan puasa Ramadhan kali ini? Silahkan pilih. Tapi kalau mau meningkatkan kualitas hidup kita, mestinya kita tidak memilih katagori pertama, walaupun dalam katagori ini hasilnya bukan hanya sekedar dapat haus dan lapar.

Depok, 1 Ramadhan 1433/21 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar