Minggu, 22 Juli 2012

Target Ramadhan, Komitmen dan Pengorbanannya

SEBUAH EVALUASI BERPUASA DI HARI PERTAMA RAMADHAN.
Memasuki Ramadhan kali ini, saya membuat dua buah resolusi, yaitu khatam dua kali membaca Al-Quran dan selalu shalat subuh berjamaah. Dengan dua resolusi itu saya ingin fokus melakukan perbaikan dalam dua hal itu. Selanjutnya saya membuat perencanaan bagaimana hari-hari Ramadhan akan dilalui.

Hal pertama yang saya lakukan adalah membuat rencana bagaimana mengatur waktu, kapan saya membaca Al Quran, waktu-waktunya di mana. Saya mencoba mengingat kembali bagaimana Ramadhan tahun-tahun sebelumnya. Untuk urusan membaca Al-Quran pada bulan Ramadhan, saya hampir selalu membuat target minimal khatam satu kali. Sayangnya tidak setiap Ramadhan target itu tercapai.

Ramadhan tahun lalu tidak tercapai, tapi Ramadhan tahun sebelumnya selesai, bahkan sudah khatam beberapa hari menjelang Ramadhan berakhir. Saya ingat-ingat apa yang membuat saya berhasil dan apa yang membuat saya gagal.

Tahun ini, saya targetkan dua kali khatam, artinya saya harus lebih disiplin. Satu kali saja tidak selalu berhasil, bagaimana kalau dua kali. Tetapi tetap saya lakukan, saya ingin meningkatkan kualitas saya. Di buku-buku motivasi, salah satu kiat agar kita mengalami peningkatan kualitas adalah dengan merentangkan target kita. Membuat target lebih dari yang pernah kita lakukan, karena itu saya lakukan itu. Mengenai kok meningkatkan kualitas Ramadhan dengan membaca Al-Qur,an, mudah-mudahan saya bisa menuliskannya di artikel selanjutnya.

Setela mengingat dan menganalisa perilaku saya di Ramadhan tahun sebelumnya, saya langsung menentukan waktu-waktu kapan saya akan membaca Al-Quran. Berikut perencanaan saya: Sehabis Shalat Terawih satu Juz, setelah shalat subuh enam-delapan halaman,setelah shalat dzuhur enam halaman, dan setelah ashar enam halaman. Saya membuat target-target dengan jumlah halaman, karena seingat saya satu juz jumlah halaman Al-Qurannya kisaran 18-20 halaman.

Untuk urusan target shalat subuh berjamaah, mungkin sederhana, hanya mengatur waktu tidur dan bangun untuk sahur. Tapi karena kesederhanaanya tersebut, beberapa kali Ramadhan target ini lebih sering gagal dari pada khatam Al-Quran. Godaannya tidur setelah sahur. Agar tak terulang saya harus cukup waktu tidurnya. Nah untuk itu saya membuat rencana tidur mulai pukul 23.00 dan bangun setengah empat pagi. Saya setting alarm handphone jam 03.30. Pekerjaan tambahan untuk urusan ini adalah, makanan untuk sahur disiapkan sebelum tidur, hanya tinggal menghangatkan.

Apakah perencanaan itu berjalan lancar? Jawabnya; target terpenuhi, tapi gagal total mengikuti jadual-jadual yang telah ditentukan.

Setelah shalat terawih, sesampai di rumah saya reflek melucuti sarung dan baju shalat saya, ingat untuk membaca AL-Quran setelah saya berpakaian celana pendek dan kaos. Wudhu saya pun sudah batal. Sebenarnya kalau niatnya kuat itu bukan alasan, saya tinggal wudhu kembali dan mengenakan tambahan pakaian, sarung misalnya. Tapi suara yang lainnya berkata, "Sudah nanti saja setelah shalat subuh, kalau satu juz saja sih bisa selesai. Mendingan kamu lanjutkan saja kerjaan kamu. Kamu sudah janji kan sama orang, secepatnya mau menyerahkan hasil kerjaanmu."

Ada pertarungan dalam pikiran saya, apakah saya akan membaca Al-Quran atau melanjutkan kerjaan yang sebelumnya sedang saya kerjakan. Akhirnya saya melanjutkan kerjaan, dan menunda untuk membaca Al-Quran.

Untuk urusan memenuhi jadwal tidurpun tidak terpenuhi. Karena "khushyu" nya saya mengerjakan kerjaan, saya lupa waktu. Saat waktu menunjukkan pukul 12 malam, hati saya berkata; "Sudah jam 12 neeh, sudah waktunya tidur". Berulang itu kali suara hati saya mengingatkan. Sejenak saya berhenti, tetapi saya tak juga beranjak dari depan komputer. "Tanggung!" suara lain menyela. Sampai akhirnya waktu memasuki jam satu dini hari. Saya pun menguatkan diri untuk tidur.

Tapi tetap saja godaan lain muncul. "Cek dulu FB mu, kali aja ada pesan untuk mu". :) Saya pun menunda mematikan komputer, segera membuka Facebook. Setelahnya baru beranjak.

Untuk sahur dan shalat subuh alhamdulillah tidak ada 'pelanggaran' berarti. Bangun saat alarm berbunyi, sahur dan kemudian subuh. Tapi menunggu waktu subuh setelah sahur sungguh sesuatu yang menggoda. Karena telat tidur, saya bangun dengan kondisi yang mengantuk. Rencana untuk menghangatkan makanan terlebih dahulu saya abaikan. Cukup saya rasa makanan tidak basi, langsung saya embat. Makan dengan cepat, setelahnya kembali beranjak ke tempat tidur.

Saya bangun terkaget saat mengetahui jam menunjukkan pukul 04.35. Langsung berkemas, mandi dan bergegas menuju masjid. Sehabis shalat subuh saya berjuang melawan kantuk untuk menyelesaikan bacaan Al Quran satu Juz. Selesai. Saya lega.

Godaan muncul lagi saat waktu dzuhur. Suara adzan berkumandang, saya berada di depan komputer. Pekerjaan belum juga usai. "Shalat dulu", suara hati saya berkata. "Nanti saja, kan kerjaanmu belum selesai", suara yg hati yang lain. "Kan bisa dilanjutkan setelah shalat dan membaca Qur'an". "Tapi kan shalat dzuhur tepat waktu dan berjamaah di masjid bukan target kamu". Saya tidak beranjak dari depan komputer.

Dialog yang sama muncul saat ashar tiba. Lagi-lagi saya lebih mementingkan melanjutkan kerjaan. Walaupun shalat dan target membaca Al Qur'an tetap dilaksanakan dan memenuhi target. Tapi waktunya jauh melenceng.

Saya merenung, mengevaluasi perilaku hari pertama saya berpuasa. Tidak ada tantangan berarti dalam melawan haus dan lapar. Bahkan kalaupun hari itu waktu buka puasa diperpanjang, saya yakin saya mampu. Tapi melawan anasir-anasir mewujudkan target, masih banyak kalahnya. Saya kalah oleh godaan-godaan abstrak untuk menyelesaikan kerjaan. Yang nyatanya sampai menjelang maghribpun belum selesai.

Saya merenung karena kekalahan-kekalahan itu. "Cita-cita sekecil apapun memerlukan komitmen, kadang pengorbanan". Kalimat itu muncul begitu saja dalam pikiran saya. Menjadi petuah yang tepat bagi saya. Ya, perlu komitmen dan pengorbanan untuk mewujudkan target-target saya. Yang kadang-kadang bentuk pengorbanan itu hanya menaggalkan angan dan persepsi abstrak tentang target pekerjaan kita. Tapi kalau tidak waspada, kita akan kalah. Mudah-mudahan tidak terjadi terhadap teman-teman, kalah oleh hal-hal sepele tadi. Dan semoga saya bisa memperbaikinya. Sebuah pelajaran buat saya!

Warsa Tarsono
Depok, 2 Ramadhan 1433 H/22 Juli 2012

Baca selengkapnya......

Sabtu, 21 Juli 2012

PERSPEKTIF BARU KATAGORI BERPUASA

Saat mengunjungi Juli Nasution yang habis melahirkan bersama beberapa teman alumni Youth Islamic Study Club (YISC) Al Azhar, Diana Sarahsanti salah satunya bercerita; “Gue baru beli buku, judulnya bagus, pasti lu suka kak”, ujarnya. “Apa?”, tanya ku. “Tuhan Pun Berpuasa, yang nulis Emha Ainun Najib”, jawabnya. Aku tidak otomatis memutuskan untuk membelinya juga. Baru beberapa hari kemudian, setelah berpikir sepertinya aku perlu membeli buku tentang puasa.

Beberapa kali Ramadhan terakhir ini saya mendampingkan aktivitas berpuasa dengan sebuah buku, mencoba menstimulus makna-makna yang bisa saya dapatkan selama berpuasa. Tidak mesti sebuah buku tentang puasa, atau buku Islam, bisa juga buku-buku umum, tapi yang saya anggap bisa seiring memandu perbaikan perilakuku. Sebelumnya saya kembali membaca buku Seven Habits dari Stephent R. Covey. Beberapa kali Ramadhan didampingi dengan buku 30 Sajian Ruhani dari Nurcholish Madjid. Pernah juga dengan tafsir Al Misbah yang dikarang oleh Quraish Shihab.

Nah sehari menjelang memasuki bulan Ramadhan, aku memutuskan untuk membeli buku Tuhan Pun Berpuasa seperti direkomendasikan oleh Diana Sarahsanti. Dan segera saya membaca beberapa bagian dari buku itu. Kesimpulannya: “Lu enggak rugi beli buku itu”, SMS Diana ke handphone ku. Setuju!

Selama ini kita kita sering mendengar ceramah para ustad atau ulama bahwa ada tiga katagori orang berpuasa. Berikut adalah uraian tiga katagori yang saya kutip dari Hidayatullah.com. Pertama, mereka yang dikelompokkan sebagai orang awam. Kelompok ini berpuasa tidak lebih dari sekadar menahan lapar, haus, dan hubungan seksual di siang hari Ramadhan. Sesuai dengan namanya, sebagian besar kaum muslimin berada dalam kelompok ini.

Kelompok kedua adalah mereka yang selain menahan lapar, haus dan hubungan suami isteri di siang hari, mereka juga menjaga lisan, mata, telinga, hidung, dan anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan maksiat dan sia-sia. Mereka menjaga lisannya dari berkata bohong, kotor, kasar, dan segala perkataan yang bisa menyakiti hati orang. Mereka juga menjaga lisannya dari perbuatan tercela lainnya, seperti ghibah, mengadu domba, dan memfitnah. Mereka hanya berkata yang baik dan benar atau diam saja.

Kelompok kedua ini juga bisa menjaga mata dari melihat segala sesuatu yang dilarang syari’at. Matanya tidak dibiarkan liar memandang aurat perempuan atau lelaki yang tidak halal, baik secara langsung, maupun melalui tontonan televisi, gambar dan foto.

Mereka juga menjaga telinga dari mendengar segala sesuatu yang menjurus kepada maksiyat. Mereka yang termasuk kelompok ini tidak akan asyik duduk bersama orang-orang yang terlibat dalam perbincangan yang sia-sia.

Di bulan Ramadhan, kelompok ini juga menutup telinganya rapat-rapat dari segala suara yang dapat mengganggu konsentrasinya dalam mengingat Allah. Sebaliknya, mereka membuka telinganya lebar-lebar untuk mendengar ayat-ayat suci al-Qur’an, mendengar majelis ta’lim, mendengar kalimat-kalimat thayibah, dan mendengar nasehat-nasehat agama. Ketekunan dan kesibukan menyimak kebaikan dengan sendirinya akan mengurangi kecendrungan mendengar sesuatu yang sia-sia, apalagi yang merusak nilai ibadahnya.

Selebihnya, mereka juga menjaga tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuhnya dari segala yang dilarang syari’ah. Mereka menjaga tangannya dari memegang sesuatu yang tak halal. Mereka juga mengendalikan kakinya dari melangkah ke tempat yang haram. Demikian juga terhadap perutnya, mereka menjaga agar perutnya hanya diisi makanan yang halal saja. Baik ketika sahur maupun pada saat berbuka puasa.

Adapun kelompok ketiga adalah mereka yang berada dalam kategori khususul khusus atau al-Khawwas. Mereka tidak saja menjaga telinga, mata, lisan, tangan, dan kaki dari segala yang menjurus pada maksiyat kepada Allah, akan tetapi mereka juga menjaga hatinya dari selain mengingat Allah. Mereka mengisi rongga hatinya hanya untuk mengingat Allah semata-mata. Mereka tidak menyisakan ruang sedikitpun dalam hatinya untuk urusan duniawi. Mereka benar-benar mengontrol hatinya dari segala detakan niat yang menjurus pada urusan duniawi.

Pertanyaannya, masuk dalam kelompok mana kita? Saya sendiri tidak bisa menjawab. Kalau menjawab kelompok pertama, sia-sia banget puasa saya. Sementara kalau menjawab kelompok kedua, berarti saya sudah masuk ke dalam golongan orang-orang suci. Jujur; enggak banget. Karena kalau saya sudah bisa melakukan berbagai perilaku itu, rasanya saya tidak berada di zaman seperti ini. Sepertinya saya berada di negeri entah berantah. Apa lagi masuk dalam katagori kelompok ketiga. Sudah pasti, saya seorang sufi.

Bukan salah katagorinya, cuma rasanya pilihan-pilihan itu tidak dekat dengan saya.

Membaca buku Tuhan Pun Berpuasa membuat saya mendapat perspektif baru tentang katagorisasi berpuasa. Dan ini menurut saya lebih bisa diterima oleh suasana keimanan saya. Tiga katagori tersebut berdasarkan kepentingan-kepentingan kita berpuasa.

Katagori pertama adalah memosisikan puasa sebagai metode, cara, atau persyaratan memperoleh sesuatu yang bersifat duniawi.

Saat saya kecil, sering orang-orang tua saya menyampaikan bahwa kalau saya ingin sukses, mempunyai banyak kekayaan, maka rajinlah berpuasa. Petuah itu biasanya disertai oleh rujukan bahwa kekayaan yang dimiliki keluarga saat ini adalah hasil dari rajinnya kakek buyut saya berpuasa. Maka sejak kecil selain puasa pada bulan Ramadhan saya mengenal puasa mutih. Sampai SMP saya melakukan dua puasa tersebut. Puasa mutih saya lakukan saat ada tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai. Yang paling diingat adalah saat ujian sekolah. Apakah puasa Ramadhan bisa diposisikan seperti puasa mutih? Jawabannya, bisa!

Katgori kedua adalah puasa untuk kepentingan ukhrawi. Kita berpuasa tidak untuk kepentingan dunia kita, tidak untuk kemapanan ekonomi kita. Tidak untuk mendapat jabatan tertentu, tapi untuk mendapatkan tempat yang mulia di surga kelak, demi mendapatkan pahaya yang sebanyak-banyaknya.

Tingkat kedua ini ini tetap mengorientasikan tujuan berpuasa pada kepentingan kita, tetapi dengan objek berbeda, sukses ukhrawi. Ini tentu lebih mulia, dalam kalimat Emha: “Kalau engkau berada di tingkat mutu puasa yang kedua ini, alhamdulillah, karena engkau sudah memberi harga lebih mahal kepada perbuatan puasa. Engkau sudah tidak meremehkan kesucian dan ketinggian ibadah puasa untuk hal-hal yang remeh-temeh di dunia.

Katagori atau tingkat ketiga adalah puasa untuk kepentingan ilahiyah murni. Di tingkat ini termuat makna Al-Ikhlas. Katakan bahwa Allah itu satu. Bahwa Allah itu satu-satunya dan sekaligus segala-galanya, yang dihadapan-Nya engkau lebur dan lenyap. Itulah yang disebut tauhid penyatuan diri dengan-Nya. Peleburan, pelarutan, dan peniadaan diri, sehingga yang ada hanya Allah, yang penting hanya Allah.

Dengan tiga katagori ini rasanya saya lebih bisa memilih. Pertanyaannya di katagori atau tingkat mana kita akan memosisikan puasa Ramadhan kali ini? Silahkan pilih. Tapi kalau mau meningkatkan kualitas hidup kita, mestinya kita tidak memilih katagori pertama, walaupun dalam katagori ini hasilnya bukan hanya sekedar dapat haus dan lapar.

Depok, 1 Ramadhan 1433/21 Juli 2012

Baca selengkapnya......

Kamis, 19 Juli 2012

NIAT RAMADHAN DARI KYAI DI KAMPUNG

Nama lengkapnya Jaenudin, tapi saya dan orang-orang disekitarnya memanggilnya Ejen. Karena dia merupakan saudara tua keluarga saya, maka saya memanggilnya dengan membubuhi kata Wa, yang berarti paman. Orang lain memanggilnya dengan menambahi kata Ma. Dalam bahasa sunda di daerah kami, pengucapan Ma adalah ungkapan untuk orang yang lebih tua, kurang lebihnya artinya mang, bang atau paman, dalam arti yang umum.

Tapi jangan salah pengucapannya, bunyi huruf E dalam kata Ejen, mesti dengan bunyi ‘eu’ seperti kita mengucapkan kata empat. Menambahkan huruf E dalam tutur sunda daerah saya mungkin adalah kekhasan tersendiri. Penambahan itu biasanya saat kata yang diucapkan hanya terdiri satu suku kata dan diawali dengan huruf konsonan. Baik kata itu terkait dengan panggilan nama seseorang maupun sebuah kata benda.

Contoh lain panggilan nama selain Jen adalah Lin. Nama teman saya Parlina Ermawati, lumrahnya, panggilannya adalah Lina atau Wati. Tapi semua orang di daerah saya memanggilnya dengan Elin, dengan pengucapan huruf E mendekati ke bunyi ue. Contoh kata benda adalah kata jok mobil. Kami menyebutkannya dengan ejok mobil, sama seperti kata lainnya bunyinya mendekati ‘eu’.

Saya menduga pengucapan seperti itu terkait dengan pengenalan huruf-huruf saat masih kecil. Di daerah saya (saya enggak tahu daerah sunda lainnya), ketika menyebutkan huruf-huruf konsonan hampir semuanya dengan menambahkan huruf ‘E’ di depannya. Huruf B menjadi EB, C menjadi EC, D menjadi ED. Ini juga mungkin bisa menjadi penjelasan mengapa kebanyakan orang sunda agak kesulitan mengucapkan huruf F. Menjadi susah mengucapkan huruf F dengan menambahkan huruf E di depannya tetapi huruf E nya dibunyikan dengan suara EU. Coba saja!

Selain huruf F, huruf yang lainnya adalah Z dan X. Hampir tidak ditemukan kata-kata dalam bahasa sunda yang diawali dengan huruf F, Z dan X. Maka Jaenudin yang kalau mengikuti bahasa asalnya mesti menggunakan Z menjadi huruf J. Fatimah menjadi Patimah. Bagi orang-orang sunda yang sudah melek sih mereka sudah mulai menggunakan dengan huruf-huruf yang semestinya, walaupun pengucapanya tetap, Ep dan Ej.

Kembali ke Wa Ejen. Dia adalah guru ngaji saya dan orang-orang kampung saya, guru dalam arti bukan semata mengajarkan membaca Al Quran, tapi orang yang memberi pemahaman bagaimana beragama Islam. Di banyak daerah lain mengistilahkannya dengan ustad. Bukannya kami tidak tahu kata ustad, mungkin karena belum menjadi kultur pengistilahan ustad tidak dilekatkan pada guru-guru ngaji ataupun imam-imam mushala di daerah kami. Kami mengunakan istilah-istilah Ma atau Pak. Ma lebih banyak dilekatkan pada ‘ustad’ yang lulusan pesantren, Pak untuk para ‘ustad’ yang lulusan pendidikan formal, mereka kebanyakan guru agama di sekolah-sekolah. Gelar keagamaan lain yang dikenal adalah Kyai.

Wa Ejen ‘ustad’ datang dari tetangga desa. Berpindah karena pernikahannya dengan pemilik mushala di dekat rumah saya. Salah satu kekhasan dia saat memberikan ceramah di mushola adalah dengan bercerita kisah-kisah yang bersumber dar kitab kuning. Bahkan dia bisa berceramah lagaknya Kyai Balap. Kyai yang berceramah dengan cerita dan bertuturnya seperti orang bernyanyi.

Bagi saya Wa Ejen adalah orang yang memberikan pondasi keagamaan saya. Banyak petuah dia yang diberikan langsung kepada saya, maupun saya dapat saat dia ceramah. Salah satu yang tidak terlupakan adalah saat dia menyuruh saya bersimpuh meminta maaf kepada Ibu dan Bapak, setelah saya ‘bertengkar’ dengan orang tua saya. (Pertengkaran dengan orang tua saya bisa dibaca di tulisan: Jejak Kerja Keras Bapakku).

Yang lainnya adalah ajaran dia terkait dengan bagaimana menyambut bulan puasa. Menurut dia niat berpuasa itu bukan hanya niat harian yang diucapkan setelah sahur atau sebelumnya. Niat berpuasa itu sudah dimulai sesaat setelahmemasuki bulan puasa. Niatnya adalah berpuasa sebulan penuh. Sederhana, tapi bagi saya itu ajaran yang sangat baik. Menjelang Ramadhan saya selalu ingat dan mengucapkan niat seperti yang dia ajarkan.

Terinspirasi oleh ajarannya, saya mencoba mengembangkan niat Ramadhan bukan semata niat berpuasa. Saya meniatkan hal-hal spesifik, terkait dengan sesuatu yang ingin saya perbaiki dalam perilaku saya maupun dalam ibadah-ibadah saya. Saya niatkan berbarengan dengan niat berpuasa sebulan penuh. Pernah saya meniatkan khatam Al Quran selama bulan Ramadhan, berbuka puasa dan sahur dengan makanan yang sederhana, tidak melewatkan shalat subuh berjamaah, teraweh berjamaah full selama sebulan dan lain-lain. Mengawali dengan itu menjalani Ramadhan seperti memberi kekuatan, walaupun beberapa Ramadhan hal-hal tidak terpenuhi, kemudian saya tekadkan di Ramadhan berikutnya.

Ramadhan ini ada dua niat yang saya sertakan berbarengan dengan niat puasa saya, yaitu khatam Al Qur’an dua kali dan shalat subuh berjamaah selama sebulan penuh. Saya telah mencoba mengevaluasi diri saya sendiri, hasilnya saya merasa tahun ini untuk urusan shalat subuh dan membaca Al Qur’an sangatlah mengecewakan. Karena itu di bulan Ramadhan ini saya ingin melatih dan membiasakannya kembali. Saya berharap ini akan memperbaiki hal-hal lainnya terkait religiusitas, kerpibadian dan perilaku saya. Semoga Allah mempermudahnya.

Selamat Ramadhan, dan menikmati keberkahan dan kemurahan Allah. Mohon maaf lahir dan Bathin.
Depok, 19 Juli 2012

Baca selengkapnya......